Bab 20.

1586 Words
Perusahaan Jaquine--Ekuador “Ge, apa kamu belum menemukan dimana Rion sekarang? Perasaanku tidak enak.” Geraldo meraih pena di sisi meja, lalu membubuhkan tanda tangan di atas dokumen yang sudah selesai ia baca. Dia mendengar apa yang Alice bicarakan selama tiga menit kedatangan kakak iparnya itu, tapi, Geraldo sama sekali belum memberikan respon. “Geraldo.” Suara Alice meninggi. Dia kesal karena Geraldo masih juga belum mengalihkan perhatian dari kertas-kertas di atas meja. Kedua tangan Alice menumpu di tepi meja kerja Geraldo. Dia sengaja mendatangi perusahaan untuk bisa bicara dengan Geraldo. Rion benar-benar menghilang. Putranya itu pergi meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Bagaimana caranya dia bisa tetap tenang? Satu bulan Rion menghilang. Dia ingin melaporkan ke polisi, tapi, Geraldo menahannya. Geraldo bilang dia akan mencari Rion sampai dapat. Tapi nyatanya apa? Sampai sekarang Rion masih belum kembali. “Pulanglah, Alice. Jangan membuatku pusing. Aku akan menemukannya. Kamu hanya perlu menunggu.” “Menunggu? Menunggu berapa lama lagi? Apa kamu tidak khawatir putramu itu mungkin saja saat ini kelaparan? Atau sakit? Atau dalam bahaya?” Alice membesarkan kedua matanya. Bagaimana bisa Geraldo setenang ini setelah dia tahu Rion itu darah dagingnya, dan Rion pergi meninggalkan rumah entah kemana dengan membawa kemarahan. “Apa karena Rion lahir dari rahimku, makanya kamu tidak peduli padanya? Aku yakin, kalau yang hilang itu anakmu dari Lethicia, kamu pasti sudah gila. Kamu tidak akan bisa diam duduk setenang ini menandatangani kertas-kertas tidak berguna itu.” Alice benar-benar sudah emosi. Napas wanita itu terengah setelah menyelesaikan kalimat panjangnya. Dengan menekan-nekan katupan geraham hingga kedutan terlihat di sekitar rahangnya, sang taipan mengangkat kepala. Sepasang mata tajam pria itu menatap lurus netra perempuan yang pernah singgah dalam hidupnya, namun sekarang berstatus sebagai kakak iparnya. “Sepertinya kamu lupa berkaca, Alice,” kata Geraldo dengan nada rendah, namun penuh tekanan. “Sejak kapan kamu merasa lebih peduli pada Rion dibanding aku, hah?” Kulit wajah Geraldo perlahan berubah warna ketika pria itu mulai tersulut emosi. Sepasang mata pria itu menatap marah perempuan yang masih berdiri sedikit membungkuk di depannya. “Pergi dari sini, dan jangan pernah mempertanyakan perhatianku pada Rion lagi,” ujar Geraldo mengusir Alice secara terang-terangan. Napas pria itu tertarik dan berhembus lebih cepat. Dia sedang menahan diri. Dia diam bukan berarti dia tenang. Pikirannya juga tidak tenang, Dia khawatir pada Rion. Bukan! Bukan khawatir Rion akan kelaparan. Dia yakin Rion bisa bertahan. Namun, dia khawatir Rion mendapat masalah di luar sana. Anak itu sedang emosi. Belum lagi dia juga memikirkan istrinya. Dia sudah jujur, mengaku di hadapan Lethicia jika dirinyalah ayah biologis Rion. Itu adalah hal paling menakutkan dalam hidupnya. Selama ini dia menahan diri untuk menjaga semuanya. Menjaga hubungan Alice dan kakaknya. Terlebih menjaga hati Lethicia. Dia khawatir Lethicia akan sakit hati dan hal yang paling menakutkan baginya adalah ditinggal pergi oleh Lethicia. Bagi Geraldo, Lethicia adalah penerang dalam hidupnya. Lethicia segalanya untuknya. Dia akan jatuh tanpa Lethicia. Beruntung hal tersebut tidak terjadi. Lethicia tidak pergi. Dia bisa maklum saat Lethicia marah dan mendiamkan dirinya. Sampai sekarang dia masih terus meminta maaf pada istrinya itu, dan menunggu sang istri mau bicara lagi dengannya. Geraldo menghentak keras karbondioksida keluar dari celah mulut yang sedikit terbuka. “Keluar sekarang juga, Alice.” Alice yang juga sudah tersulut emosi, membalas tatapan Geraldo sama tajam. “Se-ka-rang, kataku.” Geraldo menekan setiap suku kata dengan kuat. Pria itu menggeram hingga Alice akhirnya menarik tubuhnya, memutar langkah, lalu berjalan sambil menghentak heels ke lantai. Geraldo mengepal kedua telapak tangannya seraya menatap kepergian Alice. Membuka sedikit mulutnya, hembusan napas panjang keluar dari tempat tersebut. Alice sudah akan meraih handel pintu ketika benda persegi di depannya terketuk dari luar, lalu terdorong detik berikutnya. Refleks, Alice menarik langkah ke samping—menghindari daun pintu yang bisa saja mengenai dirinya. “Tuan, saya sudah menemukan posisi tuan muda Rion.” “Di mana putraku sekarang?” Alice langsung bertanya hingga membuat Eric—orang kepercayaan Geraldo terkejut, karena pria itu tidak menyadari keberadaan Alice di belakang pintu. Eric menoleh, namun tidak langsung menjawab pertanyaan Alice. Sementara Alice masih bertahan menatap bertanya Eric. Sementara Geraldo langsung beranjak hingga membuat kursi beroda yang ia duduki terdorong ke belakang. Pria itu langsung berjalan keluar dari balik meja. “Kita pergi sekarang, Ric,” perintah Geraldo pada sang tangan kanan. Tanpa mengatakan apapun pada Alice, Geraldo berjalan keluar dan Eric langsung mengikuti. Membiarkan Alice menahan kesal karena dia tidak tahu di mana putranya sekarang berada. **** Peru. Sandra berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Gadis itu berulang kali mengumpat. Dia tidak pernah menyangka orang tuanya akan melibatkan sahabatnya—Frida. Orang tuanya tega menyandera Frida agar dirinya mau pulang ke rumah. Karena mengkhawatirkan kondisi Frida, mau tidak mau Sandra akhirnya ikut pulang. Dan sekarang dia dan Frida di kunci di kamarnya. Tidak masalah dia di kunci di kamarnya, akan tetapi, yang kini membuat Sandra cemas bukan kepalang adalah Rion. Pemuda yang berstatus sebagai suaminya itu ikut diseret dari tempat tinggalnya. Berbeda dengan dirinya yang berjalan sendiri keluar dari kediaman Rion, suaminya itu dihajar tanpa bisa melawan karena mereka memegangi Rion, lalu benar-benar diseret keluar hingga menjadi bahan tontonan banyak orang. “San, berhentilah mondar-mandir. Kamu membuatku pusing,” ujar Frida jengah melihat sang teman--lebih dari sepuluh menit dia menghitung, terus saja bergerak tanpa berhenti. Sandra memutar langkah. Ayunan kakinya kini berhenti. Gadis itu menatap sang teman dengan kedua alis berkerut. “Bagaimana aku bisa tenang hanya duduk sepertimu, sementara aku tidak tahu apa yang sekarang terjadi pada suamiku.” “Wah … kamu sekarang sudah terbiasa memanggil si pembalap gila itu suami?” “Berhenti bercanda, Frida. Aku sedang mencemaskan nasib suamiku,” ujar Sandra kala melihat sang teman mengulum senyum. Sandra menarik napas panjang, lalu menghembuskan keras keluar dari celah mulut yang terbuka. “Bagaimana kalau terjadi hal buruk pada Rion? Bagaimana kalau papa membunuhnya?” “Itu tidak mungkin, Sandra. Mana mungkin papamu tega membunuh menantunya sendiri. Lagipula, dia pasti juga tidak mau di penjara. Jadi, jangan berpikir yang aneh-aneh. Mungkin saja saat ini mereka justru sedang minum bersama.” Kening Sandra mengernyit mendengar sahutan sang teman. “Maksudku Rion dan papamu. Dua pria itu mungkin saja saat ini sedang minum bersama.” Frida menjelaskan. Sandra seketika mendengkus. “Itu jelas tidak mungkin. Kamu tidak melihat seperti apa marahnya papa saat tahu aku sudah menikah dengan Rion.” Sepasang mata Sandra membesar. Gadis itu menirukan ekspresi wajah papanya saat marah. “Bukan hanya itu, papa juga menghajar suamiku.” Sandra kembali menghentak napasnya. Gadis itu kini meremas-remas kaitan jemarinya. Dia sungguh cemas. “Apa benar?” Frida terkejut. “Papamu sampai menghajar si pembalap gila?” “Berhenti memanggil suamiku pembalap gila.” Sandra memberi ancaman dengan sepasang mata membesar. “Dan ya, papa menghajarnya.” Sandra memutar sedikit langkahnya, lalu kedua tangannya memijit kepala. “Ya Tuhan, kamu tidak melihatnya.” Frida beranjak dari tepi ranjang tidur Sandra. Gadis itu berjalan menghampiri sang teman. “Lalu sekarang bagaimana? Apa kamu tidak bisa bicara baik-baik dengan orang tuamu?” Sandra menelan ludah. “Aku tidak berpikir papa akan segila ini sampai menyakiti Rion. Ya Tuhan, aku merasa bersalah.” “Hei … kamu hanya perlu meyakinkan orang tuamu kalau kamu mencintai Rion. Cuma Rion. Aku yakin mereka akan mengerti. Rion itu tampan. Apa iya mereka tidak suka punya menantu tampan?” “Masalahnya tampan saja tidak cukup bagi mereka. Mereka mau menantu yang kaya raya, pintar, berpendidikan tinggi, yang kelak bisa mengurus bisnis mereka.” Sandra menjelaskan panjang lebar. Tarikan napas dalam gadis itu lakukan, sebelum sepasang bibirnya kembali terbuka. “Sementara Rion … asal usulnya tidak jelas, dan dia … ah, tidak satupun kriteria itu Rion miliki. Di mata papa dan mama, Rion itu hanya … berandalan dengan masa depan tidak jelas.” **** Rion membuka mata. Pemuda itu meringis saat berusaha untuk menarik kedua tangan yang terikat di belakang tubuh. Sialan, batin Rion. Rion mencoba menggerakkan tubuh yang terikat di atas kursi. Kedua kakinya juga diikat. Rion berdecak. Mereka hanya berani main keroyok, batin Rion seraya berdecak. Coba kalau berani satu lawan satu. Dia tidak akan kalah. “Hei … lepaskan aku sialan! Ayo, lawan aku kalau berani. Dasar pengecut. Kalian semua pengecut!” Rion berteriak. Rion memutar kepala—memperhatikan tempatnya berada. Menggelengkan kepala, Rion kemudian berdecih. Mereka mengurungnya di gudang. Sialan memang. Rion mengedarkan pandangan matanya ke lantai. Mencari sesuatu yang mungkin bisa ia gunakan untuk melepaskan ikatan di tangannya. Melihat botol minuman di sudut ruangan, Rion mencoba menggerakkan kursi kayu yang melekat dengan tubuhnya. Rion menggeser sedikit demi sedikit. Sesekali bola mata pria itu bergulir ke arah daun pintu yang tertutup. Berharap tidak ada orang yang membuka daun pintu itu, sebelum dia berhasil melepas ikatan di tangan dan kaki. Rion terkekeh saat sedikit lagi kursi yang melekat dengan tubuhnya akan mencapai tempat beberapa botol kaca minuman itu berada. Lihat saja nanti, permainan akan semakin seru, batin Rion. Rion tidak menyesal menerima tawaran Sandra setelah menerima pukulan dan tendangan dari papa Sandra. Sebaliknya, dia justru senang. Dia merasa memiliki permainan baru untuk ia taklukkan. Bukan hanya balapan yang ingin selalu ia menangkan. Kini, permainannya dengan papa Sandra juga ingin ia menangkan. Rion memutar kursi, kemudian menendang botol kaca tersebut hingga terjatuh dan pecah. Setelahnya, Rion membanting tubuhnya sendiri hingga terjatuh ke samping. Tangan pria itu bergerak meraih potongan kaca, kemudian menggesekkan tepi pecahan kaca ke tali yang mengikat kedua tangannya. Rion meringis ketika kulit tangannya terkena pecahan kaca tersebut. Bola mata Rion bergerak ketika telinganya mendengar suara yang semakin mendekat. Sementara tangannya menggesek lebih cepat ikatan yang menyatukan kedua tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD