bc

DANGEROUS LOVE (Rion dan Alexandria)

book_age18+
61
FOLLOW
1.1K
READ
love-triangle
friends to lovers
kickass heroine
heir/heiress
drama
bold
campus
city
lies
actor
like
intro-logo
Blurb

SPIN-OFF BEAUTIFUL SURRENDER (Dikerjar Taipan Gila)

Rion Alexander Jaquine. Salah satu ahli waris kerajaan bisnis keluarga Jaquine di Ekuador. Pria berusia 23 tahun yang gila balapan. Bukan tanpa alasan Rion menyukai balapan. Tujuannya adalah untuk … terluka. Dengan terluka, rasa sakit di hatinya bisa berkurang.

Rasa sakit luar biasa yang ditorehkan oleh orang tua kandungnya sendiri. Terlebih sang papa. Pria yang sangat dia hormati dan sayangi. Yang ternyata justru menyembunyikan identitas dirinya yang sebenarnya. Membiarkannya berpikir jika dia adalah anak dari Alfonso Jaguine.

Geraldo Thedor Jaquine, pria yang saat ini sangat ia benci.

Alexandria Guina Yoseph, gadis berusia 19 tahun yang sedang berontak pada kedua orang tuanya yang terlalu sibuk dengan pekerjaan. Berpikir jika memberinya banyak uang sudah cukup. Bukan itu yang Sandra inginkan. Sandra hanya menginginkan sedikit perhatian dari mereka.

Dua orang dengan luka hati itu bertemu di arena balapan.

“Menikahlah denganku dan bantu aku balas dendam pada orang tuaku,” ucap Sandra sambil menatap sepasang manik hitam sepekat malam tanpa bintang.

“Apa yang aku dapat dari membantumu?”

“Diriku, dan harta orang tuaku.”

Apa yang akan terjadi dengan mereka berdua? Yuk, ikut ceritanya. Jangan lupa tap love.

chap-preview
Free preview
Bab 1.
Dengan wajah penuh kemarahan, Rion melempar amplop bertuliskan nama sebuah rumah sakit ke atas meja kerja papanya. Ya, papa. Rion memanggil pria yang terlihat begitu terkejut itu dengan panggilan papa. Pria yang selama 23 tahun masa hidupnya berstatus sebagai pamannya. Adik dari daddynya—Alfonso Jaquine. “Ada apa Rion? Apa ini?” tanya Geraldo yang benar-benar terkejut melihat Rion langsung masuk ke dalam ruang kerjanya, lalu melemparkan amplop ke depannya. “Baca sendiri dan jelaskan padaku,” ujar Rion dengan d*da bergerak naik turun dengan cepat. Kedua tangan pria muda itu mengepal kuat. Geraldo meraih amplop seukuran kertas A4 dengan kening mengernyit. Pria itu segera membukanya. Tak butuh detik terlewat setelah baris kata pertama dibaca, sepasang mata pria itu membesar. “Jelaskan padaku sekarang! Jelaskan!” Geraldo meremas kertas di tangannya. Dia tidak merasa perlu untuk membaca isi dokumen tersebut. Dokumen yang seharusnya sudah lenyap belasan tahun lalu setelah ia sendiri melihatnya. “Bagaimana kamu mendapatkan ini?” “Apa itu penting sekarang?! Aku membenci Papa! Aku membencimu, Geraldo Jaquine. Kamu … kamu menyakitiku dan mama. Aku benci kamu.” Rion menyapukan tangan kanannya ke atas meja sang papa hingga barang-barang yang semula ada di atas meja tersebut jatuh berhamburan ke lantai. Rion menatap penuh kebencian sang papa. Geraldo beranjak lalu melangkah keluar dari balik meja kerjanya. Pria itu menghampiri Rion. “Akan kujelaskan padamu. Tenanglah.” “Tenang? Tenang kata Papa?!” Wajah Rion merah padam. Pria muda itu meraih krah kemeja sang papa. Dengan kemarahan berapi-api, Rion berucap. “Bagaimana bisa kalian melakukannya? Kalian berdua mengkhianati daddy! Apa mama tahu kebusukan kalian berdua?” Rion mendorong sang papa. Lala detik berikutnya kepalan kanan Rion terangkat dan terayun keras. ‘BUGH!’ d**a pria muda yang sedang dikuasai oleh emosi itu bergerak turun naik dengan cepat. Rion menarik langkah ke depan kemudian sekali lagi menghantam keras sisi wajah sang papa sebelah kiri. Langkah kaki Geraldo terdorong ke kanan ketika satu kali lagi pukulan keras Rion menghantam wajahnya. Meskipun merasakan nyeri luar biasa, namun pria itu sama sekali tidak membalas. Geraldo menatap sedih sang putra. Bukan hal mudah bagi Geraldo menyembunyikan kenyataan itu selama belasan tahun setelah ia mengetahuinya. Namun, dia melakukan semuanya demi keutuhan keluarga Jaquine. Keutuhan rumah tangga kakaknya, dan juga keutuhan rumah tangganya sendiri. “Katakan. Apa mama Lethicia tahu Papa mengkhianatinya? Bagaimana bisa Papa menyakiti mama? Menyakiti daddy?” Rion semakin marah. “Jawab pertanyaanku. Jangan hanya diam! Apa mama Cia tahu?” “Tidak.” Jawaban Geraldo membuat amarah Rion semakin menjadi. Melangkah ke depan, Rion kembali memukul papanya. Kali ini tidak hanya satu kali, tapi, berkali-kali. ‘BUGH! BUGH! BUGH!’ Dan Rion semakin tidak bisa mengendalikan emosi yang sudah meluap-luap itu, kala tidak ada perlawanan apapun dari papanya. Rion memukul papanya tanpa henti sambil berteriak untuk melampiaskan kemarahannya. Dadanya begitu sesak. Sepasang mata pria muda itu berkaca-kaca. Dengan napas yang sudah memburu, Rion menghentikan pukulannya. “Arghhhh! Aku benci Papa!” Rion berteriak sekeras mungkin sambil menatap membunuh sang papa yang masih berdiri dengan wajah babak belur. Sudut bibir dan hidung pria itu berdarah, namun masih tetap diam tanpa menahan pukulan, apalagi membalas. Geraldo mengatur tarikan dan hembusan napasnya pelan. Pria itu menatap sang putra. “Papa … minta maaf.” Sudah sangat lama Geraldo ingin mengucapkannya. “Maaf? Jangan berharap maaf dariku.” Rion menunjuk sang papa dengan sorot mata yang memperlihakan kemarahan dan juga kekecewaan. “Selamanya aku tidak akan pernah mengakuimu. Sama seperti kamu tidak mengakuiku sebagai … anak biologismu, Geraldo Jaquine!” Setelah menyelesaikan kalimat tersebut, Rion memutar tubuh lalu berjalan cepat meninggalkan sang papa. Rion membanting pintu setelah keluar dari ruangan sang papa. Tidak. Dia tidak hanya menggertak. Dia sungguh-sungguh dengan ancamannya. Keluar dari gedung perusahaan Jaquine, Rion menaiki motor balapnya. Pria itu menoleh ke arah bangunan di belakangnya, sebelum kemudian melajukan kendaraan roda duanya dengan kencang, keluar dari halaman perusahaan. Rion memacu lebih kencang motor balapnya. Dia akan meninggalkan semuanya. Meninggalkan mansion dan keluarganya. Berada di sekitar mereka hanya akan membuatnya semakin sakit. **** “Sandra! Alexandria Guina Yeseph!” Sandra menekan tombol bergambar telepon warna merah dengan ekspresi wajah marah. Mamanya. Yang baru saja berteriak keras melalui sambungan telepon itu adalah mamanya yang sedang berada di belahan bumi yang lain. Mereka berdua seharunya pulang hari ini setelah tiga bulan lamanya tidak pernah berada di rumah. Namun, saat Sandra sudah sangat sedang karena hari yang dinanti tiba, kedua orang tiu tidak juga muncul. Dan ketika dia menghubungi, jawaban sang ibu membuat hatinya patah untuk yang ke seribu kali. “Maaf, Sandra. Pekerjaan papa belum selesai. Mama belum bisa kembali. Mungkin bulan depan.” “Omong kosong,” ujar Sandra sambil menyambar jaket kulit hitam dari gantungan lalu segera memakainya. Gadis yang baru genap berusia 19 tahun dua hari lalu itu berderam mengambil kunci di atas mobil kemudian keluar dari kamarnya. Sandra menuruni tangga sambil setengah berlari, sementara kedua tangannya meraup semua hela rambutnya kemudian mengingat menjadi satu. Tida di lantai satu, Sandra berbelok, mengayun langkah cepat menuju pintu yang akan membuatnya bisa kembali bernapas setelah melewatinya. Saat ini d*danya terasa begitu sesak. “Non … Nona Sandra. Nona mau kemana malam-malam begini?” Sandra mendengar panggilan tersebut, namun sama sekali tidak berniat untuk menoleh atau menjawab. Pun menghentikan langkah kakinya. “Nona.” Kali ini akhirnya langkah kaki Sandra berhenti lantaran sebuah tangan mencekal lengannya. Mendesah, Sandra menoleh. “Ada apa?" “Nona mau kemana malam-malam begini? Sebentar lagi jam 12. Waktunya tidur, Non.” “Bibi sendiri kenapa belum tidur? Bibi sudah berumur. Istirahatlah,” sahut Sandra seraya menghentak napasnya. “Saya tidak bisa tidur kalau Nona belum tidur. Saya harus memberi laporan pada nyonya.” Sepasang mata Sandra terbuka lebih lebar. “Bibi bisa mengarangnya. Yang penting tidak membuat mama marah, kan? Sudah, aku harus pergi.” Sandra menarik lepas tangan yang masih mencengkram kuat lengannya. “Tapi, Non—” “Aku justru akan cepat mati kalau terus berada di dalam rumah yang seperti kuburan ini,” ujar Sandra dengan sorot mata redup. Membuat sang Bibi akhirnya urung untuk kembali menahan tangan sang nona. Wanita yang sudah berusia pertengahan abad itu hanya mengikuti Sandra hingga Sandra keluar rumah. Berdiri di teras, wanita berumur itu menatap kepergian sang Nona yang kini sudah melesatkan mobil sedan warna merahnya, keluar dari gerbang besi yang menutup akses rumah besar lantai dua majikannya. Sandra menekan pedal gas lebih dalam. Wanita itu memasang earbud ke telinga kiri, sementara tatapan matanya masih fokus pada jalanan di depannya. Bebreapa saat Sandra menunggu hingga akhirnya teleponnya tersambung. Sandra mengernyit kala mendengar suara berisik. “Kamu di mana? Aku mau ke apartemenmu.” “Aduh, San. Aku lagi tidak di apartemen. Lagi ada di tempat balapan.” “Dimana?” tanya Sandra dengan kening yang masih mengernyit. “Katakan pada mereka, aku ikut.” Begitu mendengar jawaban dari orang yang dihubungi, Sandra melepas earbud lalu melemparnya ke kursi penumpang di sebelahnya. Gadis itu menekan pedal gas lebih dalam lagi. Kendaraan roda empat yang dikemudikan oleh Sandra melesat cepat melewati dua mobil yang melaju di depannya. Sandra menghentak keras karbondioksida dari mulut yang ia bulatkan. Dia butuh melampiaskan emosinya, dan balapan terdengar begitu menjanjikan baginya. Wanita itu menekan pedal gas lebih dalam lagi. Melirik ke arah spion, tangannya bergerak cepat memutar kemudi, dan kakinya kembali menekan pedal gas. Mobil itu melesat semakin cepat.

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook