‘BRAK! BRAK! BRAK!’ Sandra memukul daun pintu kamarnya. “Buka pintunya! Aku harus bicara dengan orang tuaku. Buka!”
“BRAKK!” Kesal karena teriakan tidak direspon oleh pengawal orang tuanya yang dia yakin sebenarnya ada di luar kamarnya, Sandra menendang keras daun pintu hanya untuk meringis kemudian.
“Ishh … sial.” Sandra memegangi ujung kakinya yang sakit setelah ia adu dengan kerasnya kayu jati grade A. Kualitas terbaik dalam dunia kayu jati.
Frida gantian memukul-mukul daun pintu sambil berteriak minta dibuka. “Buka pintunya! Perutku sakit! Hei … aku harus ke toilet sekarang juga. Buka pintunya!” teriak Frida sambil terus memukul daun pintu.
“Aduh. Kamu apa-apain, sih, San?” Menoleh ke arah sang teman yang baru saja menjitak kepalanya, Frida melotot. Gerakan tangannya memukul daun pintu sudah berhenti.
“Kamu yang apa-apaan.” Sandra balas mendelik. “Toilet ada di sana.” Sandra menunjuk ke arah kamar mandi yang juga dilengkapi dengan toilet. Sepasang mata gadis itu kembali membesar ketika sang teman memperlihatkan ringisan. “Sudah sadar, sekarang?”
“Maaf, San. Panik, jadinya aku lupa kalau di kamarmu sudah ada toilet.” Frida menyengir, lalu berdehem. “Lalu sekarang bagaimana? Apa kita akan diam saja?”
“Tentu saja tidak. Aku harus menyelamatkan suamiku,” kata Sandra. Kening gadis itu mengernyit saat sedang berusaha untuk memikirkan sesuatu.
Sementara Sandra sedang memikirkan cara agar bisa segera keluar dari kamarnya, Rion menarik lepas ikatan tali di kedua tangannya. Pemuda itu kemudian dengan cepat membuka ikatan kakinya. Dia bisa mendengar suara beberapa orang di luar ruangan yang semakin jelas.
Begitu berhasil melepas ikatan pada kaki, Rion segera berdiri. Rion menekuk tubuhnya ke kanan, lalu kiri untuk melemaskan otot-otot tubuhnya. Menggerakkan kepala ke kiri dan kanan menyerupai patahan, lalu mengangkat kursi kayu yang semula ia duduki. Mendengkus merasakan udara pengap di sekitarnya.
Rion bergegas menuju ke arah daun pintu—satu-satunya akses keluar masuk tempat tersebut.
Bersiap dengan kursi yang siap ia ayunkan, Rion menendang pelan daun pintu dua kali. Dia hanya perlu membuat suara agar orang-orang di luar ruangan tersebut segera membukanya. Dan benar saja, tak lama setelah Rion menendang benda persegi tersebut, suara kuncian terbuka terdengar.
Rion membulatkan mulut untuk menghembus karbondioksida keluar, sementara kakinya terhela ke samping. Pintu terbuka dan Rion tanpa basa-basi langsung mengayun kursi kayu di tangannya.
‘BRAKKK!’
“Arggghhhh” Suara erang kesakitan dua orang yang berniat masuk langsung terdengar memenuhi ruangan besar penuh dengan barang-barang tak terpakai itu.
Rion tidak berhenti sampai di situ. Melempar kursi kayu ke lantai hingga menimbulkan suara keras, Rion ganti mengayun kepalan tangan kanan kemudian menendang.
‘BRUK! BRAKKK!’ dua orang pengawal terdorong lalu terjatuh ke lantai. Keduanya meringis sambil mengerang—memengangi bagian tubuh yang sakit.
Rion berlari keluar. Menoleh ke kanan kiri, lalu kembali berlari.
“Hey, jangan pergi! kejar! Jangan sampai tawanan itu melarikan diri. Tuan akan membunuh kita kalau tawanan itu sampai lepas! Kejar!”
“Kemana? Lari kemana tawanannya?!” tanya dua orang yang baru saja tiba setelah mendengar suara keras teriakan temannya.
“Dia lari ke sana! Ke lantai atas! Cepat … cepat tangkap lagi.” Pria yang masih kesakitan itu berusaha berdiri seraya memberi perintah pada teman-temannya yang lain. Tuan mereka pasti akan marah besar jika tawanan itu lepas. Bisa-bisa mereka semua langsung dipecat, dan dihajar habis-habisan.
“Arghh … sialan orang itu. Kepalaku berdarah,” ujarnya sambil menatap darah di tangan yang baru saja ia gunakan untuk mengusap kepala yang terasa basah.
“Bantu aku berdiri. Pinggangku sakit sekali,” pinta sang teman yang juga mengalami nasib naas yang sama. Sebelah tangannya terangkat meminta bantuan temannya.
“Ayo, cepat. Jangan sampai tuan tahu orang itu lepas. Habis kita nanti.” Sambil memegangi kepalanya yang bocor, pria itu berjalan cepat diikuti temannya yang kesusahan berjalan.
Rion berlari sambil mengedarkan pandangan matanya. Begitu melihat tongkat baseball di sudut ruangan, pemuda itu membelokkan arah larinya lalu mengambil tongkat tersebut. Dua orang yang berlari mengejarnya refleks menghentikan gerak kaki mereka saat melihat Rion berbalik dengan memegang tongkat baseball.
Sambil menahan perih karena sudut bibirnya pecah, Rion menyeringai. Menelengkan kepala ke kiri, lalu kanan, Rion melangkah mendekati dua pengawal sambil menarik tongkat baseball. Ujung tongkat itu menimbulkan suara ketika bergesekan dengan lantai.
“Dimana nona kalian?” tanya Rion seraya terus melangkah mendekati dua orang dengan pakaian serba hitam tersebut.
“Apa kamu pikir kami akan memberitahu di mana nona kami?” Seorang pria dengan rahang dan janggut penuh rambut. Pria itu menarik belati dari belakang pinggangnya, kemudian menodongkan belati itu ke depan.
Rion hanya menggelengkan kepala melihat apa yang dilakukan oleh lawannya. Rion memegang pangkal tongkat baseball dengan dua tangan lalu mengangkat. Langkah kaki pria itu terhela lebih lebar.
Sang lawan yang semula terlihat garang, kini menarik langakh ke belakang.
“Kenapa? Takut terkena pukulan tongkat ini?” tanya Rion yang sudah siap menggunakan tongkat tersebut untuk menghantam lawannya. Rion dengan cepat menggerakkan tongkat begitu sang lawan melempar belati ke arahnya.
Beruntung refleks Rion bagus hingga tongkat yang ia ayun berhasil menepis belati yang meluncur ke arahnya. Belati itu melayang kemudian terjatuh ke lantai. Suara nyaring terdengar ketika benda keras itu menghantam lantai marmer.
Rion kembali mengayun langkah mengejar dua orang yang terlihat sedang mencari sesuatu untuk digunakan melawannya. Rion berlari lalu tanpa pikir panjang, Rion memukul salah seorang pengawal dengan keras. Pengawal itu berusaha menghindar dengan menurunkan tubuhnya hingga akhirnya ayunan tongkat Rion mengenai udara kosong.
Sang pengawal sudah akan tertawa senang setelah berhasil menghindar, namun satu pukulan keras dengan cepat menghantam betisnya. Tidak jadi tertawa, pria itu berakhir mengumpat sambil meringis menahan sakit. Pria itu refleks bergerak mundur. Berusaha menghindari Rion.
Pengawal lain yang melihat sang teman mengerang kesakitan itu menarik langkah ke belakang setiap kali melihat Rion bergerak maju. Dia ngilu membayangkan tongkat kayu itu menghantam tubuhnya.
Rion terus menarik langkah ke depan. Tanpa sadar, pengawal yang Rion kejar tiba di ujung tangga. Sadar satu langkah kakinya tidak memijak lantai ketika ia ayun ke belakang, refleks pria itu menoleh dan seketika sepasang matanya membesar.
'BRUK!'
Suara benda berat menggelinding jatuh dari satu undakan ke undakan lainnya terdengar. Rion berdecak sambil menggelengkan kepala.
“Dasar pengecut,” katanya sambil memperhatikan tubuh lawannya terguling hingga akhirnya jatuh ke lantai satu. Menggelengkan kepala, Rion memutuar langkat. Satu lawan lainnya masih terperangah melihat temannya jatuh ke lantai satu.
Begitu melihat Rion mengangkat tongkat baseball di tangannya, pria yang baru saja terkejut melihat temannya terjatuh itu buru-buru berlari menuruni anak tangga sambil terpincang.
“Kalian berdua sama saja. Pengecut!” ujar Rion melihat lawannya lari terbirit menjauh darinya. Pemuda itu kemudian memutar langkah.
“Sandra! Dimana kamu! Sandra! Alexandria!” Rion berteriak sambil berlari menghampiri satu per satu ruangan yang ada di lantai dua.
“Sandra! Alexandria! Dimana kamu?!” Rion kembali berteriak ketika masih belum mendengar sahutan dari orang yang dipanggil.
“Sandra!”
Di dalam kamarnya, Sandra mengernyit ketika mendengar suara memanggilnya.
“Alexandria!”
“Rion?” Sandra beranjak lalu berlari ke arah pintu, meninggalkan Frida yang sedang menyambung-nyambung kain untuk mereka gunakan turun dari jendela kamarnya. Sandra kemudian memukul-mukul daun pintu sekeras yang ia bisa agar Rion mendengar. Dia tidak peduli tangannya memerah.
“Rion! Aku di sini!” Sandra kembali memukul daun pintu. 'BRAK! BRAK!'
“Rion! Rion! Di sebelah sini!” Senyum mengembang di bibir gadis itu. Perasaannya sungguh lega mendengar suara Rion memanggilnya.
“Rion! Sebelah sini!”
'BRAK! BRAK!'
"Sebelah sini, Rion! Istrimu di sini!"
****
Bandara Internasional Jorge Chavez.
“Apa saja yang sudah kamu temukan tentang Rion, Ric?” tanya Geraldo pada sang tangan kanan. Dua orang itu baru saja turun dari pesawat pribadi. Keduanya berjalan bersisian.
“Tuan muda Rion terlibat balapan liar, Tuan. Dan sekarang dia terlibat dengan satu-satunya pewaris Broddy Yoseph. Pria paling berbahaya di kota ini.”