Bab 7 ~ Siasat

1017 Words
Cahaya tersenyum ketika melihat notif di ponselnya jika uang yang dijanjikan Erlando sudah masuk ke rekeningnya, Cahaya senang sekali dan itu melegakan, ia pikir Erlando tak akan membayar jasanya mengingat perlakuannya pada Erlando tak bisa dimaafkan, akhirnya Cahaya bisa bernapas lega dan ia bisa menyuruh Kanaya dan neneknya ke Jakarta. Jumlah yang di berikan Erlando begitu besar dan itu lebih dari cukup untuk menyewa rumah kontrakkan dan uang tiket Kanaya dan neneknya ke Jakarta. Bruk... Seorang wanita terjatuh di lantai, membuat Cahaya membulatkan matanya penuh ketika melihat seseorang jatuh karena lantai yang ia pel masih sangat basah. Semua mata tertuju padanya. "Maafkan saya," kata Cahaya mengulurkan tangannya. Wanita itu memegang pinggangnya begitu kuat, dan berteriak, "Aowww sakit," katanya. Cahaya menoleh dan melihat papan yang ia taruh, papan yang menunjukkan bahwa lantai sedang basah. Namun, mengapa staf wanita ini bisa menginjak lantai yang basah dan mempermalukan dirinya sendiri? "Aku minta maaf, aku sudah menaruh papan ini di sini, tapi aku nggak tahu mengapa kamu—" "Ra, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya teman lainnya yang datang setengah berlari menghampiri wanita bernama Dara itu. "Sakit, Sis, sakit banget pinggangku," kata Dara, meringis sakit, membuat semua mata tertuju padanya. "Kamu bisa berdiri?" tanya Sista. "Nggak bisa, sakit banget ini," lirih Dara, membuat Sista bingung, sedangkan Cahaya merasa sangat bersalah, ia bersujud didepan Dara dan Sista. "Ya ampun, tolong!" teriak wanita bernama Sista itu. Semua orang datang menghampiri Dara. "Ada apa?" "Tolong antarkan Dara ke rumah sakit terdekat," kata Sista, membuat dua lelaki lainnya menggendong Dara dan membawanya meninggalkan tempatnya terjatuh. "Kamu akan bertanggung jawab atas semua ini," tunjuk Sista pada Cahaya. Cahaya merasa begitu bersalah, meski sebenarnya ia tak salah karena sudah benar menaruh papan lantai basah di sini. Namun, tak ada yang akan membelanya, ia siapa di sini, ia bukan siapa-siapa, bahkan posisinya jauh lebih rendah di banding orang lain. *** Damian membawa beberapa dokumen kehadapan Erlando yang tengah duduk di kursi kebesarannya, semuanya terlihat berantakan, Erlando tengah mengamati jalannya perusahaan yang berada dibawah kepemimpinannya. Karena itu, Erlando tak punya waktu bertemu dengan Jennyfer dimanapun Jennyfer meminta bertemu, karena kesibukan dan pekerjaan yang begitu banyak yang harus Erlando lakukan, Erlando tak punya waktu liburan atau pun menghabiskan waktu di luar seharian tanpa bekerja. "Kamu sudah mengirimkan uang pada Cahaya?" tanya Erlando pada Damian yang berdiri dihadapannya. "Iya, Tuan, sesuai jumlah yang Tuan beritahukan kepada saya," jawab Damian. "Baiklah." "Tapi—" "Tapi apa?" tanya Erlando sesaat mendongak menatap asistennya. "Ada masalah yang menimpa Cahaya, Tuan." "Masalah? Masalah apa?" Damian lalu menceritakan kepada Erlando tentang Dara yang terjatuh ketika Cahaya mengepel lantai, semua yang Astrid ceritakan kepadanya, Damian ceritakan kepada Erlando. "Lalu bagaimana selanjutnya?" tanya Erlando. "Cahaya di suruh bertanggung jawab dengan membayar seluruh pengobatan." Erlando menganggukkan kepala. "Lagian dia sudah mendapatkan uang dari jasanya." Damian menganggukkan kepala. "Lalu apa ada lagi yang terjadi pada Cahaya?" tanya Erlando, berubah memperhatikan Cahaya ketika semalam menghabiskan malam dengan mengobrol. Damian memicingkan mata. "Maksudku, sebenarnya latar belakang Cahaya itu seperti apa?" Erlando meralat perkataannya. Ia tak ingin terdengar memperdulikan Cahaya. "Dia anak pertama dari dua bersaudara, Tuan, dan dia juga anak yatim piatu, sekarang ia hidup dengan nenek dan adiknya yang sakit keras," jawab Damian. "Dan ... uang yang Anda berikan atas jasanya menemani Anda di acara Tuan Dermawan itu untuk pengobatan adiknya. Dan, Cahaya juga memiliki banyak hutang kepada rentenir, hutang almarhuma ibunya. Jika tidak ia lunasi, Cahaya akan menjadi istri dari rentenir tersebut." Erlando mendengarnya meski terlihat sedang sibuk. "Bagaimana, Tuan?" tanya Damian. "Bagaimana apanya, Damian?" Erlando berbalik bertanya. "Maksud saya—" "Aku hanya bertanya bukan ingin tahu tentangnya," kata Erlando memperbaiki ucapannya. Damian menganggukkan kepala. *** Tangga darurat menjadi saksi bisu untuk seorang wanita yang tengah menangis sejadi-jadinya, dunianya seakan runtuh, kepercayaan orang lain padanya menghilang begitu saja. Ia di pecat dan kehilangan segala tujuan hidupnya. Cahaya tak pernah menyangka akan mengalami hal seperti ini dalam hidupnya, dulu kehidupannya sangat sempurna, meski tak kaya, namun hidup sederhana dan berkecukupan membuatnya lupa bahwa dunia ternyata bisa sekeras ini. Baru saja ia senang dengan apa yang sudah ia raih, mendapatkan uang dari hasil kerjanya, dan ternyata uang yang harusnya menjadi miliknya harus menjadi milik orang lain. Bahkan bukan hanya uangnya yang sudah tiada, namun orang lain telah membencinya karena apa yang telah ia lakukan pada Dara. Sepertinya Cahaya tak memiliki pilihan lain, ia memang ditakdirkan menikah dengan Kang Jamil untuk melunasi hutang-hutangnya. Bukan hanya hutang yang harus Cahaya lunasi, namun pengobatan adiknya yang membutuhkan obat dari penyakit yang dideritanya. 'Kamu di pecat! Kami tidak membutuhkan pegawai sepertimu yang bisa saja membunuh orang lain.' Rinda menunjuk kasar ke arah Cahaya yang tengah menundukkan kepala. Perkataan itu terus saja membayangi Cahaya, membuat wanita itu merasa semua yang ingin ia raih hilang begitu saja. Cahaya menyeka air matanya, ia harus kuat, awalnya ia ingin mendekati Erlando dan membuat Erlando jatuh hati kepadanya agar semua yang ingin ia dapatkan dan raih bisa ia dapatkan dengan mudah. Konyol sekali pikirannya. Ia memang sudah sangat putus asa, sehingga merencanakan hal yang tidak masuk akal dan tidak akan pernah terjadi. Kaila melihat Cahaya tengah duduk ditangga darurat, Kaila segera menghampiri Cahaya dan berdeham seraya duduk disamping temannya itu. "Aku udah denger semuanya, Ya, dan aku sangat menyayangkan itu," kata Kaila, membuat Cahaya menganggukkan kepala. "Aku harus gimana lagi, La, aku udah menaruh papan lantai basah di situ, namun Mbak Dara masih saja menginjaknya dan dia terjatuh," kata Cahaya. Hanya pada Kaila ia bisa menjelaskan ini, sedangkan pada orang lain yang membencinya, ia memilih tak menjelaskan apa pun dan membiarkan mereka berpikir sesuai apa yang mereka lihat. "Jangan selalu membela diri, Ya, lihat apa yang terjadi. Ada jalan yang lebih mudah, namun kamu memilih jalan yang sulit seperti ini," geleng Kaila, membuat Cahaya menghela napas panjang. "Kenapa nggak nikah saja sih sama Kang Jamil? Aku kasihan loh melihatmu kayak gini," kata Kaila. "Aku juga kasihan sama diriku sendiri, La, tapi mau gimana lagi," lirih Cahaya. "Lalu sekarang? Mau bertahan di sini?" Cahaya menggelengkan kepala. "Aku akan pulang ke Banjarmasin dan menikah dengan Kang Jamil. Sepertinya itu takdir yang harus ku terima." Kaila tersenyum dan memeluk Cahaya, menepuk punggung temannya itu lembut. . . Bersambung. IG irhendirga91
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD