Bab 6 ~ Malu

1416 Words
Akhirnya mereka sampai di Jakarta, pagi menunjukkan pukul 8, Cahaya duduk disamping Damian, sedangkan Erlando duduk dibelakang. "Maaf, Pak, saya turun di sini saja," kata Cahaya. "Kenapa, Cahaya?" tanya Damian. "Nggak enak dilihat orang lain, Pak, biar saya turun di sini, dan saya akan berjalan kaki, lagian kantor juga sudah dekat," jawab Cahaya. "Oh begitu? Ya sudah." Damian menghentikan mobilnya didekat bahu jalan yang tak jauh dari kantor. Sampai Cahaya turun, Erlando tak mengatakan apa pun, ia terus saja diam sejak tadi. Banyak hal yang ada dikepalanya saat ini. Termaksud tentang Jennyfer yang pergi pagi ini. Cahaya membungkukkan badannya, lalu berjalan kaki menuju kantor, ia juga butuh pernapasan karena sejak tadi perjalanan begitu menegangkan, tak ada obrolan disepanjang perjalanan. Sampai di kantor, Erlando disambut hangat, semua orang yang melintasinya dan melihatnya membungkukkan badan mereka. Seperti biasa Damian berjalan dibelakangnya. Erlando menaiki lift pribadi miliknya. Tak butuh waktu lama, Erlando dan Damian sampai di lantai atas. Astrid melihat atasannya dan membungkukkan badannya. "Tuan, di dalam ada Tuan besar," kata Astrid. Erlando menganggukkan kepala. Tuan besar yang dimaksud Astrid adalah sang Kakek. "Sudah lama Tuan besar ada di sini?" tanya Damian. "Lumayan lama, sekitar satu jam yang lalu," jawab Astrid. Semalam, Astrid langsung pulang ke Jakarta setelah pesta yang berlangsung selesai. Erlando membungkukkan badannya didepan sang Kakek, lalu duduk dihadapan kakeknya. "Sepertinya kamu berhasil menghindariku, Erlando," kata Ericksan, menggelengkan kepala. "Maafkan aku, Grandpa," ucap Erlando. "Aku sengaja tidak pulang karena Grandpa selalu memaksaku menikah." "Ya. Kamu memang harus menikah, tujuanku kemari menemuimu alasannya tetap sama. Kamu harus menikah agar kamu makin kuat dalam dunia bisnis," kata Ericksan, membuat Erlando menghela napas panjang. "Grandpa, meski aku tidak menikah, aku tetap kuat dalam dunia bisnis, Grandpa tahu itu." "Jangan banyak alasan, Erlando. Grandpa sudah tua, kamu harus menikah sebelum Grandpa tutup usia," kata Ericksan, membuat Erlando menggaruk tengkuknya, salah satu kelemahannya adalah ketika Ericksan menyebut tentang usia kakeknya yang sudah menua. "Baiklah. Beri aku waktu 1 minggu, aku akan mengenalkan Grandpa dengan wanita yang akan aku nikahi," kata Erlando. "Betul itu? Kau tak menipu Grandpa, 'kan?" "Iya." "Baiklah. Jawaban itu yang Grandpa tunggu." Ericksan tersenyum. "Atau kamu mau bersama Bella?" "Bella? Dia sudah ku anggap adik, Grandpa. Wanita lain yang akan aku nikahi, bukan Bella," geleng Erlando mendengar perkataan sang Kakek. "Ya sudah. Aku serahkan semuanya ke kamu, Erlando, jika dalam seminggu kamu tidak membuatku bertemu dengan wanitamu itu, aku akan menikahkanmu dengan Bella," kata Ericksan lalu beranjak dari duduknya. "Grandpa tunggu, dan sebaiknya ini yang terakhir kau menipuku. Malu lah pada Gaston yang sudah menikah dan bahagia." Ericksan melangkah meninggalkan Erlando yang masih berperang dengan pikirannya. Diluar sana sudah ada dua bodyguard yang terus Ericksan bawa dimana pun ia pergi. Semua yang ada di jabatan tertinggi menghampiri Ericksan yang hendak pergi, mereka membungkukkan badan menghormatinya dan berbondong-bondong menyapanya. "Ketua, silahkan duduk dulu, jika kami tahu Anda di sini, kami pasti akan menyiapkan semuanya." "Tidak perlu. Saya akan langsung pulang." "Baik, Ketua," ucap semuanya dan mereka semua membungkukkan badan mereka menghormati sang empunya. Sedangkan Erlando mengelus puncak kepalanya dan masih setia duduk mengabaikan Damian yang tengah mengatur dokumen yang akan ia tanda tangani. Rekaman ingatannya yang semalam pun berputar-putar di kepalanya. Flashback ON. Erlando menatap Jennyfer dari cermin yang kini memantulkan wajah kekasihnya itu, Jennyfer hanya memakai piyama, memperlihatkan kecantikan yang benar-benar terpancar diwajahnya. “Jen,” lirih Erlando. Jennyfer tersenyum mendengar suara Erlando yang kini memanggilnya dengan mesra. Jennyfer beranjak dari duduknya dan duduk disamping Erlando, merangkul lengannya dan mendongak sesekali. “Hem?” “Kapan kau akan kembali? Aku akan segera melamarmu dan menikahimu,” tanya Erlando, membuat Jennyfer mendongakkan wajah dan melepas rangkulannya. “Kenapa membahas ini lagi, Sayang? Aku sudah mengatakan, aku ingin mengembangkan bisnisku di beberapa negara, yang sudah menjadi impianku selama ini. Aku belum siap untuk menikah, dan aku sudah katakan, aku akan kembali sebentar lagi, namun untuk menikah, aku belum memikirkannya," jawab Jennyfer menundukkan kepala. “Kenapa kau selalu saja menolakku? Apa kau pikir hubungan kita akan bertahan ketika kau terus saja menolakku? Jadi buat apa hubungan ini dibangun tanpa komitmen?” tanya Erlando, menaruh majalah bisnis yang kini ia pegang di atas meja. “Sayang, komitmen apa yang kamu maksud? Bukankah kamu juga sudah janji tidak akan membahas pernikahan dulu sampai bisnisku selesai?” tanya Jennyfer, menatap Erlando yang sedang marah. “Ya. Aku memang sudah janji, tapi janjiku itu sudah 2 tahun yang lalu, apa setelah 2 tahun terlewati tidak juga membuatmu berpikir, mau dibawa kemana hubungan kita ini?” tanya Erlando lagi. Ia harus menikah untuk membuang sang Kakek mengakuinya. “Sayang, kamu tahu ‘kan apa saja impianku. Aku ingin menjadi pengusaha sukses, dan mengembangkan bisnisku dimana-mana. Aku tidak ingin terbebani dan membagi waktu dengan pernikahan, karena aku tidak akan fokus melakukan bisnis. Apa kau tak paham juga? Tidak bisakah kau mengerti aku, hem? Lagian aku sedang menikmati waktuku sebagai designer," kata Jennyfer. “Mengerti? Sepertinya aku sudah cukup mengerti selama ini. Apa yang kamu cari? Kesuksesan? Kesuksesan itu sudah kamu dapatkan. Apa kamu belum puas dengan itu? Berarti kamu memang hanya ingin menghindari pernikahan yang ku inginkan. Bukankah kau harus kembali berpikir bahwa kita memang tidak di takdirkan bersama?” tanya Erlando, lalu beranjak dari duduknya. “Sepertinya kau terlalu mengedepankan kesuksesan yang sudah kau raih, dan kau tak pernah puas dengan itu. Berarti kita memang tidak bisa bersama,” kata Erlando mengacak rambutnya frustasi, sudah sangat sering Jennyfer menolaknya dan itu selalu mengecewakan hatinya. "Sayang, aku mohon, kita sudah sering membahasnya, apa bertemu dan tidak membahas masalah lain itu berat? Please. Aku ingin menikmati malam bersamamu tanpa membahas hal lain." "Aku tidak membahas hal lain, Jen, aku membahas tentang kita. Kita sudah sama-sama dewasa. Kita harus berbicara tentang masa depan," kata Erlando, menghelan napas. "Sudah lah, sepertinya jika terus begini, kita tidak akan menemukan titik temu." Erlando hendak melangkah meninggalkannya. “Kamu mau kemana? Apa kau tak bisa memberiku waktu sedikit lagi? Aku akan menyelesaikan pekerjaanku di Spanyol, dan pindah ke India, setelah itu aku akan kembali ke Indonesia,” pintah Jennyfer. “Kembali ke Indonesia untuk mengembangkan bisnismu yang lain? Bukankah begitu?” “Hanya tiga tahun, setelah tiga tahun, kita akan menikah, aku janji,” lirih Jennyfer. “Pikirkan saja apa yang benar-benar kau inginkan. Kita selalu bertemu seperti ini dan berpisah tanpa berjabat tangan, meski kita bersama malam ini, kau pasti pergi tanpa pamit padaku esok hari. Bukankah itu yang selalu kau lakukan selama ini? Menganggapku sebagai persinggahanmu saja.” Erlando melangkah meninggalkan Jennyfer yang masih diam tergugu. Malam menunjukkan pukul 11. Sudah sangat lama Erlando meninggalkan kamar dan meninggalkan Jennyfer. Setelah Erlando mengobrol dengan Cahaya di cafe, Erlando lalu kembali ke kamarnya, begitu pun dengan Cahaya. Di kamar Erlando melihat Jennyfer sudah tertidur pulas, terlihat jelas jika selama Jennyfer mengembangkan bisnisnya di luar negeri, wanita itu tidak pernah tidur dengan nyenyak. Erlando naik ke ranjang dan menghela napas panjang, pada akhirnya hubungannya terus seperti ini, bertemu secara tak terduga dan menginap di kamar yang sama, lalu berdebat karena masa depan yang diinginkan Erlando. Erlando mencoba memejamkan matanya dan menyusul Jennyfer yang sejak dua jam lalu tertidur. Erlando menatap langit-langit kamar hotel, menghela napas panjang dan sesekali menoleh menatap kekasihnya. *** Esok paginya ketika Erlando terbangun, lagi-lagi yang ia temukan adalah secarik memo yang berisi bahwa Jennyfer sudah meninggalkan tempat ini. Seperti ini lah hubungannya yang sebenarnya, didepan orang lain mereka memang bahagia, namun ternyata ini lah yang terjadi. Erlando selalu menjadi tempat persinggahan saja bagi Jennyfer, mereka akan bertemu secara kebetulan tanpa direncanakan, dan berpisah pun selalu seperti ini. Erlando memukul kepalanya pelan. Cahaya masuk ke kamar atasannya dan melihat Erlando tanpa pakaian, yang kini duduk di atas ranjang dengan wajah frustasi. Cahaya berteriak dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya, Erlando terkejut karena melihat Cahaya di kamarnya. "Mau apa kamu kemari?" tanya Erlando. "Saya di suruh Pak Damian untuk membawakan pakaian Anda," jawab Cahaya, masih menutup wajahnya. "Tolong, Tuan, berpakaian lah." Erlando lalu mengambil kaos yang semalam ia kenakan. "Kemana Damian?" "Pak Damian sedang mengurus sesuatu. Jangan memarahi Pak Damian, Tuan, saya yang menawarkan diri untuk membawakan pakaian Anda ini," kata Cahaya. "Ya. Taruh saja di situ," kata Erlando. "Dan, kamu bisa membuka mata." Cahaya membuka matanya dan menggaruk tengkuknya, ia terkejut ketika melihat Erlando tanpa baju, namun merasa senang melihat tubuh indah atasannya. “Wah. Sepertinya Tuan melewatkan malam yang indah,” kekeh Cahaya. “Tidak seperti yang kau pikirkan," jawab Erlando, lalu beranjak dari duduknya. “Saya lihat pacar Anda sudah meninggalkan hotel." "Iya. Dia memang wanita yang sibuk," jawab Erlando. "Kamu bisa kan keluar dari sini? Aku mau mandi dan bersiap." Cahaya menganggukkan kepala lalu setengah berlari meninggalkan sang CEO. Flashback OFF. . . Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD