'Aku sudah berhasil membuat Cahaya di pecat dari kantor ini, jadi sekarang lakukan apa yang ingin kau lakukan, dan nikahi dia secepatnya,' kata Kaila dari balik telpon.
'.....'
'Aku memberikan seluruh gajiku untuk membayar orang, jadi hutangku padamu sudah lunas. Jangan lagi kau berani menghubungiku, aku sangat berharap kau dan Cahaya bisa bersama.'
'.....'
'Meski aku setia pada Cahaya, apa bisa Cahaya membayar hutangku dan pergi dari kehidupanku?'
'.....'
'Aku memang sudah lama membencinya, bahkan sejak sekolah. Dia selalu menjadi yang utama dan menggeserku. Berteman dengannya hanya sandiwara agar aku bisa lebih cepat menyingkirkan dia.'
'.....'
'Dia akan kembali ke Banjarmasin besok pagi.'
'.....'
'Baiklah. Aku harap kau lakukan tugasmu dengan baik, jangan sampai Cahaya kembali ke Jakarta.'
'.....'
'Hem. Aku dan kamu end, ingat itu, Jamil,' kata Kaila lalu memutuskan sambungan telpon.
Dibalik pintu darurat, Erlando mendengar apa yang dikatakan Kaila, ternyata semua hanya jebakan wanita itu.
Erlando lalu melangkah meninggalkan pintu tersebut, awalnya ia akan mencari udara segar dan merokok di tangga darurat, namun karena mendengar perbincangan Kaila lewat telpon, Erlando menghentikan langkah kakinya dan mendengarkan semuanya.
Cahaya tengah mempacking barangnya di kost Kaila, ia packing semuanya dengan air matanya, ia tak menyangka akan menyerah secepat ini, tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain pasrah pada takdirnya.
Suara ponselnya terdengar, nomor tak di kenal, semoga saja bukan Kang Jamil.
Erlando masuk ke ruangannya, dan duduk di sofa, Damian menghampiri atasannya.
"Apa Anda sudah selesai merokok?" tanya Damian.
"Oh iya, aku mau tanya, Cahaya tinggal bersama siapa?"
"Dia tinggal bersama temannya yang dari kampung."
"Siapa namanya?"
"Kaila Mayasari," jawab Damian.
Erlando menganggukkan kepala.
"Apa Anda masih penasaran tentang Cahaya."
"Sepertinya aku memilih Cahaya untuk menjadi pengantin bayaranku," kata Erlando, membuat mata Damian membulat. "Hanya pengantin bayaran, karena itu kita harus menolongnya untuk membuatnya berhutang padaku."
"Bukan Nona Jennyfer?"
Erlando menggelengkan kepala. "Hanya sampai Jennyfer kembali dari India."
Damian menganggukkan kepala.
"Aku anggap pertemuanku dengan Cahaya adalah takdir, dia akan menolongku, dan aku akan menolongnya, meski pertolonganku lebih besar dari pertolongannya. Namun, aku anggap itu sebagai bala bantuan yang harus ku berikan pada orang yang tidak mampu. Bukankah begitu, Damian?"
"Benar, Tuan."
"Jadi, sekarang temui staf yang jatuh ke lantai, dan tekan dia agar mengakui semuanya. Dia itu di bayar untuk membuat Cahaya di pecat dari perusahaan ini, lakukan apa pun agar Cahaya bisa kembali bekerja, dan namanya bisa bersih. Setelah semuanya selesai, aku akan muncul membawa surat perjanjian."
"Apa Anda yakin Cahaya mau?"
"Dia pasti mau, Damian. Dia itu wanita miskin yang membutuhkan banyak uang. Apalagi kau tahu sendiri, dia akan menikah dengan rentenir jika tak membayar hutang piutangnya. Aku baru menemukan gadis yang banyak beban dan masalah seperti dia." Erlando menggelengkan kepala. "Aku harus cepat membuat Grandpa tidak mencampuri urusanku. Aku juga membutuhkan seorang wanita yang akan menemaniku bertemu Tuan Burhan dan istrinya ketika penandatanganan proyek itu."
"Baik, Tuan, akan saya urus semuanya." Damian membungkukkan badannya, lalu berjalan meninggalkan atasannya.
Sepeninggalan Damian, Erlando menyandarkan tubuhnya di atas sofa, ia menatap langit-langit kamar, sesekali membayangkan wajah Jennyfer yang pergi tanpa pamit seperti biasa.
***
Cahaya masuk ke kantor, membuat semua mata tertuju padanya, ada yang berbisik dan tak jarang yang langsung mengatainya dan menyindirnya didepan wajahnya.
Cahaya menghela napas dan langsung menemui Rinda sang manager.
Cahaya mengetuk pintu, membuat semua mata tertuju padanya.
"Ada apa, Bu?" tanya Cahaya, membuat Rinda menaruh dokumen yang ada di tangannya.
"Kamu kemana sejak tadi?" tanya Rinda.
"Saya pulang. Bukankah saya sudah di pecat?"
"Saya belum menandatangani surat pemecatan kamu."
"Maksud Ibu?"
"Kembali bekerja, dan sekarang tugasmu bukan di lobby lagi, tapi di lantai 17, khusus ruangan CEO dan staf nya," jawab Rinda, membuat Cahaya menautkan alis.
"Ibu sendiri yang memecat saya, kenapa saya—"
"Mau atau tidak? Jika tidak mau, silahkan pergi."
"Baik, Bu, saya mau," jawab Cahaya.
"Ya sudah. Kembali bekerja," kata Rinda membuat Cahaya menganggukkan kepala.
Cahaya lalu meninggalkan meja kerja Rinda. Sepeninggalan Cahaya, beberapa rekan kerja Cahaya lalu menghampiri atasan mereka.
"Bu, kenapa Cahaya kembali bekerja?"
"Iya, Bu, kenapa sih dia kembali bekerja? Dia kan sudah—"
"Husstt. Jangan mengatakan itu," kata Rinda.
"Tapi, Bu—"
"Cahaya tidak sengaja melakukannya, saya sudah mengecek CCTV, Mbak Dara saja yang tidak melihat papan lantai basah itu, jadi Cahaya tetap akan bekerja di sini," sambung Rinda.
"Lalu kenapa dia malah ditugaskan di ruangan CEO dan stafnya? Apa itu masuk akal? Kok bisa ya? Kita aja yang udah bertahun-tahun kerja di sini, nggak pernah ditugaskan bersih-bersih di ruangan CEO dan stafnya."
"Apa kalian sekarang sedang berusaha membangkang keputusan saya?"
"Bukan begitu, Bu, tapi aneh aja."
"Itu sudah keputusan dari atas."
"Bukannya yang harus bekerja di ruangan CEO dan stafnya itu harus orang yang berpengalaman?"
"Pengalaman atau nggak yang penting dia tahu cara bersih-bersihnya," jawab Rinda. "Kembali bekerja. Dan, jangan menanyakan apa pun lagi."
Cahaya tersenyum dengan lega, ia akhirnya tidak jadi pulang ke Banjarmasin, jika saja jadi, ia pasti akan menikah dengan Kang Jamil yang memang menginginkannya sejak dulu.
Cahaya sampai di lantai 17, ia langsung masuk ke ruangan staf, semua staf sedang makan siang, jadi ruangan saat ini sedang kosong. Cahaya lalu membereskan semuanya dan merapikan semua meja lalu menyusun yang berantakan, ia segera mengepel semua lantai di ruangan staf sambil menyanyi.
Cahaya bersyukur sekali dipanggil kembali bekerja. Ia belum tahu jika Kaila lah yang sudah menjebaknya dan membuatnya seperti ini, harusnya semua berjalan lancar, namun tak ada yang berjalan lancar ketika Kaila menjadi penghalangnya.
Erlando keluar dari ruang kerjanya, dan menoleh melihat Cahaya tengah berjoged seraya mengepel lantai, Erlando tersenyum melihatnya, ia berdiri bersandar didepan pintu ruangannya dan menatap Cahaya yang begitu bahagia.
Setidaknya, Cahaya bisa membuatnya tersenyum, meski Erlando sesaat menyadarinya dan menggelengkan kepala.
Erlando lalu berjalan dan sesekali menengok menatap Cahaya yang masih berjoged. Erlando menggelengkan kepala dan berjalan menuju ke kamar mandi. Ia memang jarang makan siang diluar, Damian lah yang selalu memesan makanan dan Erlando akan memakannya diruangannya. Karena sudah selesai makan, Erlando membutuhkan air.
Erlando lalu mencuci tangannya dan membasuh wajahnya, ia tersenyum ketika membayangkan Cahaya yang berjoged riang didepannya. Ia baru pertama kali melihat seorang wanita sebahagia itu. Ia yakin jika Cahaya begitu senang kembali bekerja.
.
.
Bersambung.
IG Irhendirga91