Bab 9 ~ Di Usir

1116 Words
Cahaya masuk ke kamar inap Dara, keluarga Dara langsung beranjak dari duduknya dan menghampiri Cahaya, ibunya Dara menggenggam tangan Cahaya dan membelainya. "Kamu Cahaya, 'kan?" "Iya, Bu," jawab Cahaya. "Saya—" "Kami semua minta maaf atas kelakuan Dara, Nak, kami tidak percaya ia melakukan semua ini hanya karena di suruh oleh temannya. Maafkan dia, ya," kata wanita tua itu. Cahaya sangat bingung atas perlakuan keluarga Dara padanya, bukan makian yang Cahaya terima tapi permintaan maaf. "Maafkan aku, Cahaya," ucap Dara, membuat Cahaya menautkan alis. "Sebenarnya ada apa, Mbak Dara?" "Sebenarnya aku sengaja terjatuh, bukan karena lantainya basah, aku juga sudah melihat papan lantai basah yang kamu taruh," kata Dara menjelaskan. "Tapi kenapa kamu melakukan itu?" "Kaila yang menyuruhku melakukan itu," jawab Dara. "Kaila?" "Iya. Dia sepertinya ingin menyingkirkanmu, karena itu dia menyuruhku melakukan hal seperti itu, dan bodohnya aku suka tawaran dia, karena dia akan memberikan sejumlah uang padaku," terang Dara. Cahaya seperti di sambar gledek, ia tak bisa mengatakan apa pun, entah ia harus percaya atau tidak, namun satu hal yang pasti Dara tidak mungkin berbohong padanya. Apa untungnya jika Dara berbohong? Pantas saja selama ini, Kaila selalu memaksanya menikah dengan Jamil, agar hutangnya lunas, tak Cahaya sangka ternyata sejauh ini Kaila membencinya. Cahaya menghela napas panjang dan berkata, "Cepat sembuh, ya, Mbak, sekali lagi aku minta maaf," lirih Cahaya. "Bukan kamu yang salah, Ya," jawab Dara. *** Cahaya sampai di kontrakkan Kaila, Cahaya mencoba tersenyum pada Kaila yang sejak tadi menunggunya. "Kamu belum tidur, Kai?" tanya Cahaya, menghela napas dan duduk disamping Kaila. "Belum. Aku menunggumu, aku sempat khawatir kamu kembali ke Banjarmasin tanpa pamit padaku, tapi untung saja kopermu masih didalam jadi aku menunggumu. Kamu darimana saja?" tanya Kaila. "Aku sepertinya nggak akan pulang, Kai," kata Cahaya. "Kenapa?" Ekspresi Kaila berubah serius. "Aku masih harus bekerja." "Apa? Kok bisa? Bukannya kamu udah dipecat?" tanya Kaila. "Udah sih. Tapi, tadi Bu Rinda menyuruhku kembali bekerja," jawab Cahaya, berusaha menahan amarah yang tersimpan dihatinya sejak di rumah sakit. Cahaya telah percaya pada orang yang salah, dan itu sangat mengecewakan hatinya. Selama ini, ia sangat percaya pada Kaila, namun nyatanya Kaila menusuknya dari belakang. "Kok bisa sih, Ya? Jangan donk. Aku berharap banget kamu pulang ke kampung dan menikah dengan Kang Jamil, agar hidupmu lebih mudah. Jangan menyusahkan dirimu, Cahaya, ingat tak semua hal yang kau kerjakan bisa kau dapatkan," kata Kaila mencoba meyakinkan Cahaya. "Kamu tidak mungkin bisa melunasi hutang pada Kang Jamil jika kamu bekerja sebagai office girl. Butuh waktu bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun untuk melunasi hutangmu." Cahaya menganggukkan kepala, ia sekarang percaya bahwa Kaila yang membuat jalannya tidak mudah. "Seharusnya sebagai teman, kamu mendukungku, Kaila," kata Cahaya. "Karena aku mendukungmu makanya aku minta kamu menikah saja dengan Kang Jamil, semua itu juga bisa memudahkan segalanya untuk dirimu." "Kai, selama ini aku percaya padamu, bahkan kamu sudah ku anggap saudaraku, namun nyatanya aku salah menilaimu," lirih Cahaya. "Apa maksudmu?" Kaila menatap wajah Cahaya penuh amarah. Ingin sekali ia marah, namun "Aku sudah tahu semuanya, Kai, kamu yang membayar Mbak Dara untuk jatuh disaat aku sedang mengepel lantai," kata Cahaya. Mata Kaila membulat, ia tak menyangka dengan apa yang barusan ia dengar. "Bukan begitu maksudku, Cahaya," kata Kaila mencoba menjelaskan. "Nggak perlu menjelaskan apa pun, Kai, aku udah tahu semuanya," kata Cahaya. "Aku selalu berusaha nggak mempercayai Mbak Dara, namun melihatmu selalu memaksaku kembali ke Banjarmasin, aku jadi tahu siapa kamu sebenarnya." Kaila menyeringai mengerikan, dan berkata, "Syukurlah jika kamu udah tahu semuanya, aku malah seneng sekali." "Kenapa kamu melakukan itu, Kai? Apa salahku sama kamu? Aku nggak pernah loh nyakitin kamu." Kaila beranjak dari duduknya dan menyeret koper milik Cahaya dan melemparkannya ke depan rumah. Membuat Cahaya membulatkan matanya. "Jika kamu udah tahu, silahkan tinggalkan rumahku, kamu juga tinggal di sini gratis kok, aku itu pengen kamu kembali ke Banjarmasin karena kamu hanya menghalangi jalanku, kamu selalu saja menjadi penghalang, selalu kamu yang utama, apa yang aku inginkan selalu kamu yang dapatkan. Aku menyukai Farhan dan Farhan malah menyukaimu. Aku itu nggak suka sama kamu sejak dulu, hanya saja aku bersikap seolah-olah teman yang baik, agar aku bisa cepat membuatmu pergi dan menghilang dari mataku," tunjuk Kaila. "Jadi ... kamu iri pada apa yang aku dapatkan?" "Ya. Meski kamu di kantor hanya menjadi office girl, namun aku itu nggak suka melihatmu berkeliaran didepanku," kata Kaila. "Sebenarnya ... lowongan kerja itu ada sebagai staf, tapi karena aku nggak mau kamu kerja bersamaku, jadinya ku lempar kamu menjadi tukang bersih-bersih." "Tega sekali kamu, Kai. Simpan saja sikap irimu itu. Menjadi seperti ini, apa nggak membuatmu puas?" Kaila menarik Cahaya dan mendorongnya keluar dari teras rumahnya. "Pergi dari sini. Aku itu nggak suka melihatmu ada di sini, lakukan apa yang ingin kau lakukan di luar sana, menjadi p*****r pun terserah padamu, ingat hutangmu pada Kang Jamil, kamu harus membayarnya." "Kaila, selama ini aku menganggapmu sebagai teman itu sangat tulus, aku nggak pernah merasa kamu seperti orang lain, namun nyatanya aku salah menilaimu, kamu membuatku terpukul atas apa yang menimpaku ini." "Jangan banyak bicara. Pergi dari sini dan jangan berbalik. Pergi!" teriak Kaila. Cahaya mengambil kopernya, dan menyeretnya meninggalkan halaman rumah Kaila. Kaila bersedekap dengan seringai mengerikan. "Semoga ketika mendengar kabarmu, kamu sudah menikah dengan Kang Jamil, atau setidaknya kamu menjadi p*****r diluar sana," gumam Kaila, lalu masuk ke rumahnya dan menutup pintu rumahnya. Cahaya menitikkan air mata. Untung saja ia tak jadi membayar biaya rumah sakit Dara, dan ia juga sudah mengirim semua uangnya pada neneknya untuk membawa Kanaya ke rumah sakit, dan menyicil hutangnya pada Jamil. Awalnya, Cahaya ingin membawa adiknya ke rumah sakit besar di sini, namun karena neneknya menolak, jadinya ia hanya akan mengirim uang untuk biaya pengobatan adiknya. Cahaya menghela napas panjang dan duduk di taman seraya menatap koper miliknya, ia harus mencari kost dimana sedangkan malam menunjukkan hampir pukul 11, uang didompetnya juga sisa 50ribu. Sejak tadi, Damian mengikuti Cahaya dan ini kesempatan baginya untuk membawa Cahaya kehadapan Erlando. "Cahaya!" Sebuah suara terdengar membuat Cahaya menoleh dan melihat Damian. "Pak Damian, Bapak ngapain di sini?" "Kamu kenapa di luar sini? Dan, kenapa kopermu ini?" Damian pura-pura bertanya meski ia tahu wanita itu di usir oleh temannya sendiri. "Oh ini, saya—" "Ya sudah. Kamu ikut saya," kata Damian, mengambil koper Cahaya dan memasukkannya kedalam mobil. "Tapi, Pak, kita mau kemana?" "Kamu tenang saja. Saya tidak akan menculik kamu, saya hanya akan memberikanmu tempat tinggal." Cahaya memang sudah percaya pada Damian, apalagi ketika Damian menolongnya. Tak ada orang yang bisa ia percayai selain Damian di kota besar ini. Ia hanya memiliki Kaila, namun Kaila sudah mengusirnya. Cahaya terpaksa mengikuti Damian. Yang penting diberi tempat tinggal. . . Bersambung. Budayakan apresiasi penulis dengan cara voted, dan follow. Aku bakal buat visual mereka. Follow akun IG - irhendirga91
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD