"Kalau boleh, jangan panggil saya Pak. Saya tidak setua itu untuk kau panggil Pak." Fatih tersenyum geli tatkala mengatakan itu. Ia menatap gadis tambun di sampingnya ini sesaat sebelum mengalihkan tatapannya ke depan.
"Maaf...."
"Hahaha... kenapa meminta maaf? Kau itu lucu juga, ya, ternyata!" Tawa Fatih menggelegar.
"Saya bukan badut...!" Ketus Nurul.
"Wah... wah... wah..., kau ternyata garang juga. Kau tahu, kalau kau garang seperti itu, kau terlihat seperti Beruang, lebih tepatnya Mama Beruang. Hahaha...." Fatih memegang perutnya menahan tawa. Melihat raut wajah Nurul yang berubah merah menahan malu membuat Fatih merasa bersalah. "Maaf saya hanya bercanda." Fatih tersenyum hangat.
Nurul mendelik sebal kepada Fatih. Ia diam, matanya menatap ke depan. Mereka berjalan kaki menuju klinik di mana Murni dirawat.
Dengan berat tubuhnya yang berlebihan, membuat Nurul agak susah berjalan cepat mengejar langkah kaki Fatih yang panjang. Sesekali ia berhenti dan mengatur pernapasannya. Rasa pusing yang menderanya kian terasa.
Fatih yang sudah berada di depan langsung berhenti begitu ia menyadari gadis tambun yang bernama Nurul itu tidak lagi di sisinya. Ia menoleh ke belakang dan tersenyum geli melihat Nurul menghirup dan menghela napasnya secara kasar. Gadis tambun itu melakukannya berulang kali. Kemudian ia mendekat dan mengamati wajah Nurul lekat-lekat. Tangan kirinya bersedekap menahan siku lengan kanannya yang menyentuh dagu. Matanya menyipit memperhatikan raut wajah Nurul yang sudah dipenuhi peluh.
"Apa kau tidak apa-apa?" nada suaranya menyiratkan kecemasan.
Nurul menggelengkan kepalanya masih mengatur pernapasannya.
"Maaf, seharusnya tadi kita pinjam mobil Pak Salim saja. Saya tidak memikirkanmu tadi. Maafkan saya, ya?!" Fatih menyesal dengan keputusannya tadi mengajak Nurul turut berjalan kaki bersamanya.
Nurul mengusap peluh yang membasahi dahinya seraya berjalan kembali mengikuti langkah kaki Fatih. Fatih tidak lagi memperlebar langkah kakinya supaya Nurul tidak tertinggal lagi di belakangnya.
"Tidak apa, hitung-hitung saya olahraga malam, siapa tahu berat badan saya ikut turun juga, hehehe...." Nurul tertawa malu setelah mengatakan itu.
Fatih menoleh dan ikut tersenyum mendengar kalimat yang terucap dari bibir ranum wanita itu.
"Sreeekkk... sreekkk...."
Fatih menghentikan langkah kakinya dan menahan lengan Nurul dengan sebelah tangannya. Sedangkan tangannya yang bebas mengisyaratkan pada Nurul agar tidak bersuara.
Nurul mengernyit tidak mengerti kenapa tiba-tiba mereka berhenti.
"Ada apa?" Nurul berbisik pelan.
"Sssttt...!!!"
Fatih mengedarkan matanya mencari sumber suara dari balik semak-semak yang dipenuhi rumput setinggi ilalang.
"Kau jangan jauh-jauh dariku," ucap Fatih pelan.
Rasa takut tiba-tiba memenuhi diri Nurul. Tanpa ia sadari, tangannya memegang erat lengan Fatih. Hening. Tak ada suara yang terdengar. Merasa keadaan aman, Fatih melanjutkan kembali langkah kakinya. mungkin tadi hanya suara binatang malam yang sedang mencari makan. Nurul tidak menyadari jika tangannya masih melekat erat di lengan Fatih.
Fatih menoleh, menatap lengannya yang dipeluk erat kemudian menatap manik mata Nurul lekat.
"Ada apa?" ulang Nurul.
"Tidak ada apa-apa." Fatih menjawab singkat.
Kini mereka berjalan dalam diam. Fatih tetap waspada. Mata dan telinganya fokus ke sekitar. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
"Apa kliniknya masih jauh?" Fatih menoleh dan bertanya pada Nurul. Ia terkesiap melihat wajah Nurul yang sudah pucat pasi.
"Apa kau tidak apa-apa?" rasa khawatir hadir di hatinya.
"A...aku tidak apa-apa." Nurul menahan rasa pusing yang menderanya. "Itu kliniknya." lanjut Nurul menunjuk klinik yang sudah terlihat dari tempat mereka berada saat ini.
Fatih tidak yakin, hati-hati ia mengangkat tangannya dan menyentuh dahi Nurul. Sebelum itu ia meminta maaf terlebih dahulu karena sudah menyentuh Nurul dengan sengaja.
"Kau demam. Ayo! Aku antar kau kesana." Fatih bergegas memapah Nurul ke klinik.
Sampai di sana, Fatih langsung membawa Nurul ke pembaringan dan ia mencari perawat yang bertugas malam. Nurul menarik jeans yang Fatih kenakan. Fatih menoleh dan bertanya.
"Kenapa?!"
"A...aku tidak apa-apa. Kau lihatlah dulu bagaimana keadaan Murni, apa Bu Kades masih bersamanya atau tidak."
Ucapan Nurul mengingatkan Fatih akan tujuan mereka ke sini. Ia mengangguk pelan dan melanjutkan langkahnya.
Nurul memejamkan matanya sejenak. Memang sejak tadi siang dia merasa tidak enak badan. Dia tidak berpikir akan demam seperti ini. Nurul menahan kantuknya yang tiba-tiba menghampiri netranya. Dia tidak mau kalau sampai tertidur di sana. Dia malu dengan dengkurannya.
Perlahan Nurul bangun dan duduk di atas kasur. Dia mengedarkan matanya melihat sekeliling. Klinik terlihat sepi, hanya satu dua pasien yang sudah tertidur pulas.
"Ini dengan Ibu Nurul, ya?" tanya seorang perawat yang mendekat, di tangannya terdapat tensimeter dan termometer.
Nurul mengangguk mengiyakan.
"Saya tensi darahnya dulu ya, Bu?" tawar Mira, begitu yang tertulis di nametag yang Nurul lirik sekilas.
"Hmmm..., tensi darah Ibu kurang dan suhu badan 38,3°C. Lebih baik malam ini Ibu menginap di sini dulu." Mira tersenyum saat mengatakan itu. "Apa ada hal lain yang Ibu keluhkan?" tanyanya kemudian.
Nurul menggeleng pelan.
"Baiklah, saya akan menginfus Ibu dan sebelum itu Ibu minum obat dulu." Mira menyerahkan beberapa butir obat yang harus Nurul minum.
Setelah meminum obat yang diberikan tadi, Nurul merebahkan kembali dirinya dan menatap nyalang langit-langit klinik tempat ia berada sekarang. Dia tidak menyangka akan menginap di sini malam ini, padahal tujuannya tadi adalah untuk melihat keadaan Murni.
"Bagaimana keadaanmu?" suara Fatih mengalihkan tatapannya.
"Saya baik-baik saja," bohong Nurul, dia tidak mau merepotkan orang lain apalagi orang yang belum terlalu dia kenal.
Fatih tersenyum simpul, dia tahu kalau wanita yang ada di depannya ini berbohong. Sekali lagi dia mengulurkan tangannya dan menyentuh dahi Nurul. Nurul tidak bisa memundurkan kepalanya karena tertahan dengan bantal, akhirnya dia pasrah dengan sentuhan yang Fatih berikan di keningnya.
"Apanya yang baik-baik saja, hem? Panas begini! Sejak kapan kau demam? Apa sebelum kita berangkat tadi?" Fatih banyak bertanya. Karena jika benar memang sejak tadi maka Fatih akan menyalahkan dirinya.
"Bagaimana keadaan Murni? Apa kau sudah melihatnya, Pak?" Nurul mengalihkan pertanyaannya. Dia tidak menjawab soalan yang Fatih tanyakan tadi.
"Panggil saya Fatih, saya belum tua untuk kau panggil Pak!" perintah Fatih membuat Nurul bungkam.
"Baiklah, Fa...Fa...Fatih," ucapnya terbata.
Fatih tersenyum geli melihat sikap Nurul yang penurut. Sejak pertama dia melihat wanita ini, Fatih sudah menyadari ada sesuatu di diri Nurul yang menarik perhatiannya, tapi dia tidak tahu apa itu.
"Murni sudah baikan, dia ditemani oleh Bu Sarah, istrinya Pak Salim. Oh ya! Murni dan Bu Sarah menitipkan salam untukmu. Dan ini...." Fatih menyodorkan bingkisan dan meletakkan di atas lemari kecil di samping tempat tidur. "Saya tadi membelinya di kedai samping klinik," lanjutnya.
"Apa itu?"
"Roti, wafer dan air mineral." Fatih menyebutkan satu persatu isi bingkisan itu.
"Maaf, sudah merepotkanmu." Nurul merasa tidak enak hati.
"Tidak masalah, lagi pula saya tadi membelinya untuk mengganjal perut. Saya lupa kalau saya belum makan malam. Hehehe...." kekehan Fatih menularkan senyuman di bibir Nurul. Ternyata masih ada yang peduli kepadanya, padahal dia adalah orang asing yang baru dikenalnya.
@@@
Tengah malam dini hari, Nurul terbangun dari tidurnya. Dia merasa tidak nyaman tidur di sana. Ia bergerak pelan, tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu yang lunak lagi kekar. Ia menoleh dan melihat seorang pria menelungkupkan kepalanya di atas lengan kanan dan kirinya bersamaan.
Nurul tersenyum hangat, baru kali ini ada yang menungguinya di kala sakit. Perlahan tangannya menyentuh lengan pria itu dan membangunkannya.
"Fa...Fatih...!" ragu Nurul memanggil namanya langsung.
Fatih menggeliat dan membuka matanya pelan. Ia menegakkan badannya dan bersandar pada kursi yang didudukinya.
"Ada apa?" Fatih menguap pelan.
"Saya mau pulang."
"Infusnya belum habis, pagi nanti kita pulang."
Nurul mengernyit dan berkata. "Saya yang pulang sendiri bukan kau."
"Kita datang bersama dan pulang bersama. Sudah, sekarang kau istirahat lagi, saya juga masih ngantuk!" tegas Fatih membuat Nurul diam dan membaringkan kembali tubuhnya.
"Tapi, aku tidak nyaman di sini," ucapnya lirih nyaris tak terdengar.
"Katakan padaku apa yang membuatmu merasa tidak nyaman di sini?"
Nurul menoleh, ia terkejut tidak menduga kalau Fatih akan mendengar ucapannya. Nurul menggeleng pelan. Ia tidak ingin Fatih tahu apa yang membuatnya tidak nyaman berada di sana.
"Apa karena dengkuranmu?"