Bab 01
"Kak... Kak... awas...!"
"Buk... Buk... Buk... minggir dikit dong orang mau lewat."
"Tante... Tante... jalannya jangan dikuasai dong, kita juga mau lewat kali...."
Bermacam suara dan panggilan yang singgah di telinga Nurul Mawaddah. Seorang gadis yang baru menginjak dewasa. Umurnya baru dua puluh satu tahun tapi acap kali disangka umur tiga puluh tahun hanya gara-gara kelebihan berat badan.
Tingginya sekitar 156 cm tapi berat badannya tujuh puluh kg. Seorang pekerja sambilan di sebuah rumah makan bernuansa melayu. Setelah tamat SMA dia tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di karenakan tidak cukup biaya. Hidupnya yang pas-pasan semenjak ditinggal kedua orang tuanya hanya mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Meskipun demikian, Nurul selalu bersyukur atas nikmat yang Allah titipkan padanya.
Nurul, begitu panggilannya sehari-hari selalu bekerja untuk mencari nafkah. Meski hidup sendiri Nurul tidak pernah meminta dan mengemis pada sanak saudaranya. Selagi ia mampu maka ia akan bekerja, apapun itu asal halal untuknya.
Seperti sore ini, Nurul baru pulang dari tempatnya bekerja. Shifnya dari jam dua belas siang sampai jam delapan malam. Tapi hari ini dia pulang cepat karena merasa tidak enak badan.
Baru saja Nurul berjalan di trotoar depan rumah makan tempatnya bekerja, ia mulai digoda oleh orang-orang iseng yang selalu menjahilinya.
Sebenarnya Nurul merasa risih dengan perlakuan orang-orang yang tidak dikenalnya. Namun dia membutuhkan pekerjaan ini sehingga Nurul berkeras hati menahan segala macam cabaran dan dugaan yang datang silih berganti.
Nurul terus berjalan tanpa memperdulikan omongan mereka. Tiba di halte Nurul langsung naik bus yang kebetulan ada di sana menunggu para penumpang. Sebelum naik, Nurul melihat dulu ke mana arah tujuan bus yang akan dia tumpangi ini.
Begitu sampai di dalam bus, Nurul mengamati sekitar untuk melihat kursi penumpang yang kosong. Dan matanya mendapati satu tempat yang kosong di samping seorang pemuda yang sibuk dengan buku bacaan di tangannya.
Tak menunggu lama Nurul pun melangkahkan kaki dan duduk di sana. Lelaki di sampingnya hanya menoleh sebentar sebelum ia kembali lagi fokus ke bukunya.
Baru saja Nurul mendaratkan bokongnya di kursi penumpang, ia melihat seorang tua renta baru masuk dan mencari bangku kosong. Tapi semua sudah di penuhi oleh penumpang. Melihat itu Nurul tidak tega dan berdiri memberikan tempat duduknya kepada wanita tua renta tadi.
"Terima kasih, Nak. Semoga hidupmu dilimpahi keberkahan dan kemuliaan." Begitulah doa yang diberikan wanita tua itu untuk Nurul.
Mendengar ucapan doa yang tulus dari wanita tua membuat hati Nurul terharu-biru. Apalagi baru kali ini ada yang memanggilnya dengan sebutan "Nak" dan memberikan doa tulus untuknya.
Nurul tersenyum simpul dan mengaminkan di dalam hati. Bus sudah mulai berjalan, Nurul siap siaga dan memegang gantungan di atas kepalanya. Ia berusaha agar tidak jatuh saat mobil ngerem mendadak.
Cukup sekali kebodohannya dulu hingga dia jatuh terduduk di dalam mobil yang dipenuhi banyak penumpang. Sakitnya tidak seberapa tapi malunya itu yang membuat Nurul tidak suka naik bus. Karena hari ini duitnya pas-pasan makanya dia terpaksa naik bus. Biasanya ia pulang naik taksi online yang dipesannya.
"Pulang ke mana, Nak?" Suara wanita tua itu membuyarkan lamunannya.
"Ke Paya Kambuh, Nek." Nurul tersenyum melihat wanita tua manggut-manggut. "Nenek pulang ke mana?" tanya Nurul kemudian.
"Nenek pulang ke Mina Rabau."
Setelah itu kembali hening. Nurul fokus ke luar jendela melihat sampai mana sudah bus berjalan. Saat matanya melihat arah tujuannya hampir sampai, Nurul pamit turun duluan kepada nenek tadi.
"Hati-hati ya, Nak." Nurul hanya tersenyum mengangguk dan berlalu menuju ke pintu keluar.
Lelaki yang tadi duduk dekat jendela dan fokus pada bukunya juga beranjak bangun dari kursi yang diduduki. Sepertinya dia juga akan ikut turun.
Bus berhenti, Nurul segera turun dan berjalan menuju arah rumahnya. Ia merasakan ada yang mengikuti dari belakang. Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya sudah menunjuki angka lima sore, ia mempercepat laju langkah kakinya.
Sesampainya di depan rumah, Nurul membuka pintu dengan sangat tergesa-gesa seakan orang yang mengikuti tadi sudah berada tepat di belakangnya.
"Assalamu'alaikum, Dek...," sapa seseorang di belakangnya.
"Astaghfirullah... Allahu Akbar... Laa ilaaha illallah...!" Nurul mengelus d**a kaget mendapati apa yang ia takuti benar-benar terjadi.
Nurul membalikkan tubuhnya dan melihat tepat di depan sana pemuda yang duduk di dekat jendela dan turun sekali dengannya tadi kini sudah di depan mata.
"Wa... wa'alaikumsalam...." Nurul menjawab salam setelah melihat ke sekitar masih banyak tetangga dan anak-anak yang bermain di lapangan depan rumahnya yang berjarak sekitar seratus langkak kaki dari rumahnya.
"Saya mau nanya, rumah Pak Sofyan di mana, ya?"
Aahh, ternyata dia hanya ingin menanyakan rumah Pak RT. Belum apa-apa Nurul sudah parno duluan.
"Rumah Pak Sofyan tepat di samping masjid itu, mmm... P-Pak?" ada keraguan di akhir kalimatnya ketika Nurul ingin memanggil pemuda tadi dengan sebutan apa. Dilihat dari penampilannya, pemuda tersebut terlihat perlente dengan jas dan dasi yang melilit lehernya. Sepatu pentofel yang mengkilat dan rambut yang terlihat rapi dengan bantuan pomade.
Namun, dilihat dari segi wajah, pemuda itu masih terlihat muda. Mungkin dua puluh delapan atau dua puluh tujuh tahun. Nurul agak ragu menebaknya.
"Terima kasih ya, Dek. Ini buku sebagai ucapan terima kasih saya karena kau telah membantu menunjukkan rumah Pak Sofyan," ujar pemuda itu seraya mengulurkan tangannya yang masih memegang buku yang tadi dibacanya.
"Tidak usah, Pak. Saya ikhlas, kok." Nurul dengan sopan menolak pemberian pemuda tersebut.
"Baiklah kalau kau tidak mau menerimanya. Tapi sebagai gantinya bolehkah saya tahu siapa namamu?"
Nurul berpikir sejenak mempertimbangkan apakah ia memberi tahu namanya atau tidak. Melihat pemuda itu sepertinya orang baik-baik, akhirnya Nurul menyebutkan namanya.
"Saya Nurul Mawaddah, biasa dipanggil Nurul, Pak."
"Hmm... nama yang sangat indah." Pemuda itu tersenyum mengulumkan bibirnya. "Baiklah, sekali lagi terima kasih Dek Nurul, ya. Kalau begitu saya pamit dulu. Assalamu'alaikum...." Kemudian pemuda yang tidak Nurul ketahui namanya itu beranjak berlalu dari hadapannya.
Nurul berbalik dan membuka pintu rumah yang belum sempat ia buka tadi. Ia bersandar di belakang pintu dan menghela napas lega. Ternyata apa yang ia takuti tidak terjadi sama sekali.
@@@
"Nurul, kamu bisa ke tempatku tidak?" suara dari seberang telepon seluler keluaran tahun 2003 yang ada di genggaman Nurul terdengar bergetar.
"Ada apa Murni? Adakah sesuatu yang terjadi denganmu?" rasa cemas sudah hinggap di hati Nurul ketika ia mendengar suara teman satu tempatnya bekerja bergetar pilu.
"Aku... aku... aku hampir diperkosa..., hiks...." Murni tidak bisa melanjutkan lagi ucapannya. Isakan tangisnya semakin terdengar. Nurul was-was dan mengakhiri pembicarannya lalu bergegas menyambar hijab yang tergantung di belakang pintu kamarnya.
Dengan gerakan cepat ia melangkah keluar dan tidak lupa mengunci pintu rumah terlebih dahulu. Rasa cemas terhadap Murni mengalahkan rasa pusing yang sejak tadi ia rasakan. Dalam perjalanan ke rumah Murni yang jaraknya lima menit jalan kaki dari rumahnya, Nurul tidak berhenti berdoa agar temannya itu selamat dan tidak terjadi apapun padanya.
Kehidupan Murni sama sepertinya. Hanya saja Murni lebih dari segala yang ia punya. Tubuh yang aduhai, rambut lurus tergerai, wajah yang ayu dan tinggi yang semampai. Rumahnya pun dua kali lipat besarnya dari pada rumah Nurul yang sederhana.
Nurul dan Murni bagaikan langit dan bumi. Namun, dengan segala kecukupannya, Murni merasa tidak puas dan bekerjalah ia di rumah makan tempat di mana Nurul bekerja.
Sesampainya Nurul di sana, sudah banyak orang yang berkumpul di depan rumah Murni. Mata Nurul menangkap sosok pemuda tadi sore di antara mereka. Nurul mendekat dan menanyakan keberadaan temannya pada salah satu wanita paruh baya di sana.
"Bu Asih, di mana Murni sekarang?" Nurul mengedarkan pandangannya melihat keberadaan Murni.
"Eh, Nak Nurul. Anu, si Murni sudah dibawa ke klinik terdekat oleh isterinya Pak Salim. Kelihatannya dia mengalami shock dan juga ada luka ringan di tubuhnya, dia tidak terlihat baik-baik saja. Untung ada Nak Fatih yang bertindak cepat," ujar wanita paruh baya yang dipanggil Bu Asih tersebut.
Kening Nurul mengkerut bingung lantaran nama Fatih yang disebut oleh Bu Asih terasa asing di telinganya.
"Fatih itu siapa, ya, Bu?"
"Itu loh yang pake baju kaos polo hitam," tunjuk Bu Asih ke arah pemuda yang memakai kaos polo hitam dan jeans selutut.
Nurul melihat ke arah yang ditunjuk oleh Bu Asih. Dia melihat pemuda tadi sedang berbicara dengan pak Salim, kepala desa Paya Kambuh tempat mereka tinggal. penampilannya malam ini terlihat santai tidak seperti yang ia lihat sore tadi. Kemudian Nurul melangkah mendekat.
"Assalamu'alaikum, Pak...," tegur Nurul begitu dia sudah berada di antara Pak Salim dan Fatih. "Maaf Pak, saya dihubungi oleh Murni tadi, sekarang dia ke mana, ya, Pak?" tanya Nurul setelah mendapat balasan salam dari kedua lelaki yang ada di hadapannya.
"Murni sudah dibawa ke klinik sama isteri saya, itu semua karena Nak Fatih yang mengusulkannya. Kalau kamu mau ke sana sekalian saja sama Fatih," usul pak Salim kepada Nurul.
"Kalau Pak Fatih tidak keberatan, saya ikut saja," manut Nurul meski hatinya menolak, tapi demi temannya dia menahan gejolak hatinya.