Bab 02

1831 Words
Fatih baru saja merebahkan tubuhnya saat ponselnya berdering. "Halo...!" "Fatih, kau ditugaskan untuk menyelidiki kasus p*********n yang baru-baru ini terjadi. Kami dapat kabar kalau sekarang dia sudah memasuki daerah pedesaan yang tidak jauh dari tempat kau berada sekarang. Coba kau cari tahu daerah mana yang sedang dia incar." suara dari seberang sana membuat Fatih menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya secara kasar. Baru saja dia selesai menangani kasus penipuan dan sekarang dia harus menangani kasus p*********n. Baru saja dia merasa tenang dan sekarang terusik dengan pekerjaan. "Baiklah, aku akan mencari tahu." Akhirnya, kalimat itulah yang keluar dari mulutnya setelah diam terlalu lama. Setelah mengakhiri pembicaraan yang singkat itu, Fatih bangun dan melangkah ke kamar mandi. Dia butuh mandi untuk menyegarkan pikiran dan badannya. Muhammad Fatih Alqatiry, itulah namanya. Campuran Timur Tengah dan Melayu. Umurnya tiga puluh tahun dan bekerja sebagai penyelidik di salah satu kantor cabang BIN yang ada di Negaranya. Dia juga seorang pengusaha muda. Pekerjaannya sering kali membuatnya mempertaruhkan nyawa. Tidak ada yang tahu pekerjaannya selain dia adalah seorang pengusaha muda yang terbilang sukses. Sebenarnya kasus penipuan dan p*********n yang akan Fatih tangani sekarang bukanlah bagiannya, tapi dia harus tetap melakukannya demi menyelidiki satu kasus besar yang belum terpecahkan. Sore ini Fatih langsung memulai aksi penyamarannya. Setelah mendapat kabar dari bawahannya tadi siang. Bus yang dia tumpangi berhenti, tapi dia tetap fokus dengan buku yang sengaja dibawanya sebagai teman penghilang rasa suntuk dan bosannya nanti. Merasakan ada pergerakan seseorang yang duduk di dekatnya, Fatih menoleh sejenak kemudian melanjutkan kembali bacaannya. "Terima kasih, Nak. Semoga hidupmu dilimpahi keberkahan dan kemuliaan." Fatih mengernyit heran karena suara wanita yang duduk di sampingnya tadi terdengar seperti suara nenek-nenek. Fatih tidak peduli, dia tetap fokus dan sesekali melihat keluar jendela. "Pulang kemana, Nak?" Suara nenek-nenek tadi tertangkap lagi di pendengarannya. "Ke Paya Kambuh, Nek." Suara merdu yang lain juga ikut mengalun di telinga Fatih. Fatih terpesona, ia menoleh dan netranya tidak berkedip menatap wanita berhijab lebar dan bertubuh subur di depannya. Di matanya, Fatih melihat ada cahaya yang terpancar di wajah wanita itu. Senyum tulus dari pancaran sinar matanya tidak menutupi kecantikannya meskipun tubuhnya terlalu berisi. Sadar akan kelancangannya, Fatih segera mengalihkan tatapannya lagi keluar jendela. Sepertinya tujuan yang dia tuju hampir sampai. Fatih bangun dari tempatnya dan meminta maaf kepada wanita tua yang duduk di sampingnya agar memberi celah untuknya keluar. "Huuppp...!!!" Fatih meloncat turun segera setelah bus berhenti. Fatih berjalan menuju ke rumah yang akan dia tempati selama dia tinggal di sana. Sebelum itu Fatih harus memberitahukan keberadaannya kepada Kepala Desa. Tapi yang jadi masalahnya sekarang adalah Fatih tidak tahu di mana tepatnya rumah Kepala Desa itu. Aaahh..., dia akan bertanya saja pada wanita yang ada di depannya dari pada nanti dia tersesat. Tapi semakin Fatih mempercepat langkah kakinya, sosok wanita di depannya juga mempercepat langkahnya. Fatih heran dengan kelakuan wanita itu. Dia tidak ambil pusing yang penting dia harus menanyakannya dan memperoleh jawaban secepatnya. "Assalamu'alaikum, Dek...." Fatih mulai menyapa wanita itu. Mendapati keterkejutan sebagai balasan dari wanita tadi membuat Fatih meringis pelan karena merasa bersalah. Namun, wanita itu tetap membalas salamnya setelah merasa tenang. "Wa... wa'alaikumsalam...." "Saya mau nanya, rumah Pak Sofyan di mana, ya?" Fatih langsung to the point. "Rumah Pak Sofyan tepat di samping masjid itu, mmm... P-Pak?" ada keraguan di akhir kalimat sang wanita. "Terima kasih, ya, Dek. Ini buku sebagai ucapan terima kasih saya karena kau telah membantu menunjukkan rumah Pak Sofyan," ujar Fatih seraya mengulurkan tangannya yang masih memegang buku yang tadi dibacanya. Entah kenapa dia berniat memberikan buku itu, padahal itu adalah buku kesayangannya. "tidak usah, Pak. Saya ikhlas kok." wanita berhijab lebar itu dengan sopan menolak pemberian Fatih. "Baiklah kalau kamu tidak mau menerimanya. Tapi sebagai gantinya bolehkah saya tahu siapa namamu?" Fatih tidak puas dengan penolakan wanita tambun itu hingga ia ingin tahu namanya. Wanita itu berpikir sejenak mempertimbangkan apakah ia memberi tahu namanya atau tidak. "Saya Nurul Mawaddah, biasa dipanggil Nurul, Pak." "Hmm... nama yang sangat indah." Fatih tersenyum mengulumkan bibirnya. "Baiklah, sekali lagi terima kasih Dek Nurul, ya. Kalau begitu saya pamit dulu. Assalamu'alaikum...." kemudian Fatih undur diri tanpa memberitahukan namanya. Fatih melanjutkan langkah kakinya menuju ke kediaman Pak Sofyan sebagai Kepala Desa. Dia melihat rumah sederhana namun nyaman dan asri di samping masjid, dan dia yakin kalau itu adalah rumah yang akan dia tuju. "Assalamu'alaikum...!" teriak Fatih begitu sampai di depan pagar yang tertutup. "Assalamu'alaikum...!" ulangnya kemudian setelah diam dan menunggu jawaban yang tidak kunjung datang. Tidak lama terdengar pintu dibuka dan suara seorang perempuan menjawab salam. "Wa'alaikumsalam..., cari siapa, ya?" "Benar ini rumah Pak Sofyan?" "Benar ini rumahnya. Tapi Bapak belum pulang, mungkin sebentar lagi sampai. Mas ini siapa, ya?" "Saya Fatih, saya ada keperluan dengan Pak Sofyan. Apa boleh saya menunggu Pak Sofyan di sini? Setidaknya izinkan saya masuk dan menunggu di teras rumah jangan di luar seperti ini." Fatih memperkenalkan diri dan meminta izin untuk menunggu Pak Sofyan di depan teras. Pintu pagar dibuka dan Fatih mengucapkan terima kasih karena di izinkan menunggu di teras rumah. Ia maklum jika penghuni rumah bersikap waspada kepada orang yang tidak dikenalnya. Mengingat maraknya p*********n yang sedang terjadi di setiap tempat, dan sekarang sudah meresahkan warga Paya Kambuh. Lima menit Fatih menunggu tapi belum ada tanda-tanda Pak Sofyan pulang. Akhirnya dia pamit pulang terlebih dahulu karena hari semakin beranjak sore. Lagipula dia belum menunaikan kewajibannya. Fatih sampai di sebuah rumah sederhana milik salah satu temannya yang sudah lama tidak ditinggali karena temannya itu sudah membeli rumah lain di kota dan tinggal di sana sekarang. @@@ "Huuufft...!" Fatih baru saja selesai mandi setelah membersihkan sudut-sudut rumah yang berdebu. Ia duduk istirahat sejenak sebelum mencari makan malam nanti di warung-warung terdekat. Fatih menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa yang ada di ruang tamu dengan memejamkan matanya. Jam di dinding sudah menunjukkan angka delapan. Setelah membersihkan diri dan shalat isya tadi, Fatih berencana untuk bertemu dengan Kepala Desa. Sepuluh menit kemudian Fatih beranjak dari tempatnya dan keluar mencari makan, tapi sebelum itu Fatih melangkah menuju ke arah selatan di mana rumah Kepala Desa berada. "Assalamu'alaikum...," salam Fatih begitu ia sudah sampai di depan rumah yang di tuju. Fatih melihat seorang pria paruh baya duduk di beranda depan ditemani segelas kopi dan rebusan ubi yang sudah dibaluri parutan kelapa dan gula. "Wa'alaikumsalam...." senyum ramah terpancar dari si pemilik rumah. "Ini Nak Fatih yang tadi sore kemari, ya?" tebaknya kemudian setelah menyambut Fatih seraya duduk di atas kursi yang ada di sampingnya. "Benar, Pak. Saya ke sini mau melapor bahwasanya saya akan menetap di sini selama kurang lebih sebulan," ucap Fatih setelah duduk di kursi. Fatih mengeluarkan KTP dan menyerahkan kepada Pak Sofyan. Pak Sofyan mengamati sesaat sebelum berkata. "Nak Fatih sudah melapor ke Pak Salim?" Fatih mengernyit bingung. "Pak Salim ini siapa ya, Pak?" "Pak Kades. Setelah Nak Fatih melapor kepada Pak Kades, baru kemudian lapornya ke saya. Jabatan saya sebagai Pak RT bukan Pak Kades." kekeh Pak Sofyan saat melihat raut kebingungan dari roman Fatih. "Astaghfirullah, sangkaan saya Pak Sofyan adalah Bapak Kepala Desa. Maafkan kesilapan saya." Fatih menepuk dahinya, malu. Baru kali ini ia melakukan kesalahan. Setelah berbincang sebentar, Fatih undur diri dan menuju ke rumah Pak Salim setelah mendapatkan alamat rumahnya dari Pak Sofyan. Fatih melihat rumah lantai dua yang lumayan besar. Ia yakin kalau itu pasti rumah pak Salim—Sang Kepala Desa Paya Kambuh. Fatih menekan bel yang ada di tembok pagar. Tidak lama kemudian seorang pria paruh baya keluar dari sana dan mendekat ke arah Fatih berada. "Assalamu'alaikum, Pak Salim-nya ada?" Fatih langsung bertanya setelah memberi salam begitu pria paruh baya tadi mendekat. "Wa'alaikumsalam...," jawab Pak Salim tidak kalah ramahnya dengan Pak Sofyan. Fatih bersyukur dalam hati, orang-orang yang ia temui saat ini ternyata ramah-ramah padahal baru bertemu sapa pertama sekali. "Maaf Pak, saya mengganggu malam-malam begini," ucapnya setelah mereka duduk di kursi beranda rumah Pak Salim. "Tidak masalah, saya sebagai Kepala Desa harus siap selalu bila ada yang bertemu. Hehe...." kekehannya terdengar berat. "Kalau boleh tahu ada perlu apa, Naak...?" Pak Salim menjeda kalimatnya karena belum mengetahui nama pemuda di depannya. "Fatih, Pak!" sahut Fatih cepat. "Iya, ada perlu apa Nak Fatih mencari saya?" "Saya baru di sini. InsyaAllah saya akan tinggal di sini selama kurang lebih sebulan, Pak." Fatih menjelaskan maksud kedatangannya. Pak Salim mengangguk mengerti. "Boleh saya lihat KTP-nya?" Fatih menyodorkan KTP nya kepada Pak Salim. Pak Salim menatap lama kemudian beralih ke Fatih dan bertanya. "Nak Fatih tinggal di mana?" "Di rumah Panji, Pak." "Oh... saya tahu rumahnya." Selanjutnya mereka berbincang-bincang seputaran keadaan Desa saat ini. Selagi asyik berbincang, terdengar suara jeritan tidak jauh dari tempat mereka berada. Fatih dan Pak Salim bergegas keluar pagar dan menuju ke arah suara tadi. Fatih yang instingnya kuat langsung berlari ke arah rumah yang ia curigai adalah tempat kejadiannya. Fatih menerobos pintu yang terbuka sedikit agak renggang. "Bruuukkk...!" "Tolong, jangan sentuh aku keparat...!" Fatih mendengar suara benda jatuh dan suara wanita memohon bersamaan. Ia mengedarkan pandangan mencari di mana sumber suara tersebut. Hati-hati ia melangkahkan kakinya serta mata yang menatap nyalang seputaran rumah. Ia melihat rumah yang berantakan dan ada beberapa benda-benda yang jatuh berserakan. "Tolong, aku mohon...." rintihan wanita itu terdengar pilu. Fatih kini dapat melihat apa yang sedang terjadi saat ini di dalam kamar sana. Seorang pria sedang mencumbu dan menampar berulang kali apabila wanita itu menolaknya. Tangannya tidak berhenti menyiksa wanita yang tidak Fatih kenali itu. Tanpa menunggu lama, Fatih menerjang dan menendang pria tadi. Pria tersebut terkejut kemudian menyeringai setelah melihat siapa yang berani mengganggu kesenangannya. Ia membalas dan melawan Fatih membabi buta. Wanita yang gagal ia perkosa tadi menjauh dan meraih ponselnya. Ia harus menghubungi temannya. Setelah hubungannya tersambung, wanita itu langsung berkata lirih meminta sang teman datang ke rumahnya. Beberapa saat kemudian wanita itu pingsan. Fatih masih bertarung dengan pria itu. Merasa kalau ia akan kalah, pria itu melarikan diri melalui jendela kamar. Fatih urung mengejarnya saat matanya melihat wanita tadi pingsan tak berdaya. "Apa yang terjadi?" Pak Salim dan beberapa warga yang baru datang, menghampiri mereka. "Dia pingsan, Pak. Sebaiknya dia dibawa ke rumah sakit atau klinik terdekat, kelihatannya dia terluka," ujar Fatih seraya keluar dari sana. Beberapa warga yang mengikuti Pak Salim langsung mengangkat wanita itu dan membawanya ke klinik. Istri Pak Salim mengikuti dari belakang. Kini mereka sudah di halaman depan rumah. Banyak warga yang sudah berkumpul di sana, mencari tahu apa yang sedang terjadi. Fatih berbincang dengan Pak Salim tentang kejadian tadi. Tiba-tiba terdengar suara wanita mendekat. "Assalamu'alaikum, Pak...." Fatih menoleh dan melihat ternyata wanita itu Nurul yang ia kenal sejak tadi sore. "Maaf Pak, saya dihubungi oleh Murni tadi, sekarang dia kemana, ya, Pak?" tanya Nurul setelah mendapat balasan salam darinya dan Pak Salim "Murni sudah dibawa ke klinik sama istri saya, itu semua karena Nak Fatih yang mengusulkannya. Kalau kamu mau ke sana sekalian saja sama Fatih," usul Pak Salim kepada Nurul. "Kalau Pak Fatih tidak keberatan, saya ikut saja." Fatih tersenyum geli, apalagi sebutan "Pak" yang wanita ini labeli di belakang namanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD