Bab 04

1259 Words
"Apa karena dengkuranmu? Kalau iya, bagiku tidak masalah." Ucapan yang keluar dari bibir Fatih, membuat Nurul malu dan menyembunyikan dirinya di balik selimut yang menutupi tubuhnya. Ya, Fatih memang mendengar dengkuran Nurul. Tepat setelah Nurul tertidur, Fatih kembali dari ruang Murni dirawat. Murni masih ditemani oleh Bu Sarah, istri dari Kepala Desa. Fatih tidah bisa berlama-lama meninggalkan Nurul sendirian. Dia merasa khawatir dan tidak tega melihat Nurul seorang diri tanpa ada yang menemani. "Sudah, kau tidak perlu malu padaku. Kau tenang saja, selain saya di sini tidak ada orang lain yang mendengar dengkuranmu!" Fatih mengulurkan tangannya menyibak selimut yang menutupi seluruh permukaan tubuh Nurul. "Apa kau ingin memakan sesuatu?" tanyanya kemudian setelah diam beberapa saat. Matanya tidak lepas dari pada menatap wajah Nurul yang menurutnya sangat imut dan menggemaskan itu. "Kau jangan melihatku seperti itu! Saya tidak suka melihat tatapan kasihan dari matamu itu." Nurul menunduk dalam-dalam menyembunyikan semburat merah di wajahnya. Dia malu dan risih bila ditatap seperti itu. "Siapa yang menatap kasihan padamu?" Fatih mengernyit bingung, pasalnya dia tidak menatap Nurul seperti yang dituduhkan itu. Nurul tidak menjawab. Dia membenarkan hijabnya dan kembali beranjak duduk dari rebahannya. "Apa kau ingin memakan sesuatu?" ulang Fatih menatap Nurul lekat. Hilang sudah rasa kantuknya tadi menghadapi wanita unik di depannya saat ini. "Saya tidak lapar...!" "Krriiuuukk...!" Mulut dan perutnya tidak singkron dalam memberi jawaban. Fatih terkekeh geli. Dia tidak menduga akan bertemu dengan seorang gadis unik seperti sosok yang kini ada di hadapannya. Beda halnya dengan Fatih, Nurul terlihat gelisah di tempatnya. Ia menggigit bibir bawahnya menyembunyikan rasa malu yang kian membuncah di hatinya terhadap Fatih. Banyak sudah kekurangannya yang diketahui oleh Fatih. Ia menyesal telah mengikuti Fatih ke klinik, andai ia tidak menyetujui usulan dari Pak Salim, mungkin saja sekarang ia menikmati istirahatnya di rumah tanpa berinteraksi dengan orang lain. "Sudah, akui saja kalau kau lapar, tidak usah malu-malu. Ini masih ada sisa roti yang saya makan tadi." Fatih menyerahkan roti isi coklat kepada Nurul. Nurul menunduk dalam seraya mengambil roti di tangan Fatih. "Terima kasih...," bisiknya pelan. @@@ Di lain tempat, seorang pria berperawakan besar dan tegap menggebrak meja yang ada di hadapannya. Dia terlihat murka. Sumpah serapah keluar dari mulutnya dengan sangat lancar, seolah-olah itu adalah bahasa yang dia gunakan sehari-hari. Beberapa orang yang ada di sekelilingnya mengkerut ketakutan. Seakan hukuman sedang menanti di depan. "Kalian tidak becus, satu orang wanita saja tidak bisa kalian hadapi. Keparat...!" "Maafkan aku, sebenarnya ini salahku. Aku tidak mengikut sertakan mereka dalam rencana ini, aku bertindak sendiri. Sekali lagi maafkan aku," ujar pria lain. Di wajahnya tampak beberapa luka yang masih segar. Sepertinya luka itu baru saja dia dapatkan. "Sekali lagi kau gegabah seperti tadi, aku tidak akan melepaskanmu, ingat itu!" ancam pria berperawakan besar tadi pada pria yang luka-luka itu. "Siapa yang telah menggagalkan rencanaku, Mike?" tanyanya kemudian kepada pria luka-luka yang ternyata bernama Mike. "Aku tidak tahu siapa dia. Kelihatannya dia pendatang baru di daerah itu." "Kau harus mencari tahu siapa dia. Aku harap kerjamu kali ini tidak banyak menghabiskan waktuku. Aku di sini tidak lama lagi, jadi kalian harus mendapatkannya sesegera mungkin. Aku tidak ingin dia jatuh ke tangan orang lain. Sudah cukup aku menunggunya selama ini. Aku harus membalas rasa sakit hatiku padanya," ujar pria berperawakan besar itu kepada Mike dan anak buahnya yang lain. "Baik, Bos, kami akan melaksanakannya," jawab salah satu di antara mereka. "Aku pegang janji kalian." Setelah mereka pergi dan menghilang satu persatu, pria berperawakan besar itu mendudukkan bokongnya di atas sofa merah yang ada di ruangan tempatnya berada sekarang. Dia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya lalu dia hisap dalam-dalam kemudian dia embuskan secara kasar. Begitu berulang-ulang dia lakukan. Pikirannya menerawang pada kejadian beberapa bulan silam. ~ Flashback ~ Di sebuah kafe, tampak seorang pemuda berkacamata tebal sedang memperhatikan gerak-gerik seorang gadis bersurai panjang melayani pelanggan dengan segala pesanan yang mereka inginkan. Bak model Internasional, gadis itu berlenggak-lenggok memutari setiap meja membawakan pesanan. Pemuda tadi tertarik melihat kecantikan gadis itu. Ia berniat untuk mengenalnya. Ketika kafe sudah agak sepi, pemuda itu melangkahkan kakinya mendekati gadis bersurai panjang itu. "Hai...!" sapanya ramah. "Ya..., ada yang bisa saya bantu?" tanya sang gadis kepada sang pemuda. "Hmmm... bolehkah saya tahu siapa namamu?" "Untuk apa anda menanyakan nama saya?" ketus gadis itu mengernyit bingung. "Saya ingin mengenalmu." Senyum ramah dari pemuda itu tidak lantas membuat gadis tersebut merespon pemuda di depannya saat ini. Bahkan dia mendengus dan menatap jengah kepada pemuda yang tidak dia kenali itu. Sedangkan sang pemuda merasa bersalah dan menyesal. Baru kali ini dia mencoba mendekat dan ingin mengenal seseorang, tapi yang didapatkan tidak sesuai harapan. "Maaf kalau saya membuatmu tidak nyaman, tapi saya tulus ingin mengenalmu," lanjut pemuda itu menunduk dalam. Maksud hati ingin mengajak kenalan yang ada malah sambutan dingin dari sang lawan. "Anda tahu, tapi berani-beraninya anda menanyakan nama saya?! Huh..! Macam orang yang tidak punya kerjaan saja. Kalau anda mau mengenal saya, anda mestinya bercermin dulu sana, pantas tidak anda mengenal saya, cupu begitu berani sekali anda ingin mengenalku," hina sang gadis. Sang gadis tidak tahu bahwa hinaannya itu menumbuhkan rasa sakit, malu, dan dendam di hati pemuda berkacamata itu. Sang pemuda bertekad akan membalas rasa sakit hatinya yang tertoreh luka. ~ Flashback End ~ Entah kenapa bayangan gadis itu masih bergelayut di ingatannya. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibir sang gadis berkelebat di benaknya. Pria itu menarik napas dalam-dalam dan dia embuskan secara kasar. Dadanya terasa dihimpit batu besar. Selang beberapa menit kemudian, pria itu beranjak dari duduknya dan melangkah keluar. Ia berjalan ke arah parkir lalu masuk dan mengendarai mobilnya menjelajah jalan raya yang sepi. Tujuannya adalah kembali ke hotel di mana ia menginap selama ini. Ia melirik pergelangan tangannya, jarum jam sudah menunjukkan angka tiga pagi. @@@ Menjelang subuh, Nurul bangun dan mendapati Fatih tidak lagi bersamanya. Dia meraba dahinya dan merasakan suhu tubuhnya sudah menghangat, tidak sepanas semalam. "Apa ada yang Ibu butuhkan?" seorang perawat mendekat dan bertanya. "Kapan saya boleh pulang?" Nurul bertanya dengan suara parau khas orang baru bangun tidur. "Seharusnya dua hari ke depan, tapi kalau Ibu merasa sudah sehat, hari ini juga Ibu sudah boleh pulang." Perawat itu tersenyum hangat menjawab pertanyaan Nurul. "Apa Ibu sudah merasa sehat?" tanya perawat itu kembali. Nurul menganggukkan kepalanya cepat. Dia berharap supaya cepat pulang. "Baiklah, Ibu boleh pulang." Mendengar titah sang perawat menghadirkan senyum di bibir Nurul. "Terima kasih banyak, saya akan pulang sekarang." Nurul bangkit dan beranjak dari tempat tidurnya. Dia membenarkan hijabnya setelah infus dibuka dari pergelangan tangannya. Setelahnya Nurul melangkah mengikuti perawat menuju stand administrasi. "Berapa biaya yang harus saya keluarkan?" "Biayanya sudah lunas, Ibu." Perawat itu tersenyum melihat keterkejutan yang terlintas di wajah Nurul. "Siapa yang membayarnya?" Nurul mengernyit penasaran. "Suami Ibu yang membayarnya. Sungguh romantis, ya ,suami Ibu, dari semalam dia menemani Ibu tanpa beranjak sedikit pun dari sana. Saya jadi iri melihatnya." Perawat yang bernama Mira itu tersenyum semringah tatkala memberitahukan apa yang dia lihat semalam. Beda halnya dengan Nurul, ia mengernyit bingung dengan perkataan perawat yang ada di depannya itu. Suami? Suami dari mana? Menikah saja belum. Tapi dia tidak menanggapi sama sekali karena dia tidak ingin memperpanjang pembicaraannya dengan Mira, si perawat ramah yang memeriksanya semalam. "Kalau begitu saya permisi dulu." Nurul berbalik dan berlalu dari sana. Dia berjalan tergesa-gesa, selain menghindar dari Fatih, dia juga ingin cepat sampai ke rumahnya agar dia tidak melewatkan subuhnya. Siapa tahu ini adalah subuh terakhirnya sebelum maut menjemputnya. Umur manusia tidak ada yang tahu, selagi masih bernapas jangan pernah meninggalkan kebutuhan rohani karena dia juga membutuhkan asupan energi dari si pemilik tubuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD