"Kamu ko pucet banget, kenapa?"
Toni bertanya padaku. Saat ini kami masih saja berada di kantin. Aku mendadak merasakan makanan yang ada di mulutku ini menjadi hambar dan tidak berselera. Laki laki itu akan berada di sini terus, itu artinya kemungkinan bertemu dengannya sangat besar. Aku sangat membenci laki laki itu. Dan kemarahan ku memuncak setiap kali aku melihat wajahnya. AKu sungguh ingin sekali membunuhnya kalau bisa. Karena dia, pernikahan ku jadi hancur. Karena dia aku harus melalui hidup sendirian dengan janin yang tidak berdosa. Janin yang ia sengaja tanamkan di dalam diriku dengan tujuan untuk membalas dendam padaku.
Aku sungguh merasa bahwa hidupku memang sangat sial.
"Oh, aku sepertinya mau ke ruangan saja."
Tapi bagaimana caranya agar aku tidak terlihat oleh laki laki itu. Karena saat ini ia sedang berada di dekat lift. Laki laki itu sedang bicara dengan Pak mana. Mungkin, akan lebih baik aku menunggu di sini, sampai laki laki itu pergi.
"Ayo, kalau begitu aku antar."
Aku sangat bersyukur memiliki teman kerja yang sebaik Toni. "Eh, nanti dulu, ton. Aku mau duduk dulu. " Aku akan menunggu sampai laki laki itu benar benar pergi dari kantin. Atau dia sibuk dengan pak Mana.
"Oh, baiklah. Kalau begitu aku akan menunggu mu di sini."
"Ayolah, ton, aku enggak apa apa. Kamu boleh ke mana saja setelah makan."
"Tidak. Aku mau di sini, karena aku melihat kamu pucet banget."
Terima kasih Toni. Aku merasakan kedua tangan ini menjadi gemetar. Aku sungguh marah dan benci melihat laki laki itu. Meski pun seandainya aku mati, mungkin perasaan itu akan tetap berada di dalam jiwa ini. Bagaimana bisa aku terlibat dengan laki laki itu. Dia sama sekali enggak mau bertanggung jawab pada ku. Dia biadab dan aku sangat sangat membencinya.
Kantin begitu ramai. Aku rasa, aku tidak akan ketahuan kalau segera lari meninggalkan tempat ini. Ku lihat Pak mana dan lelaki b******k itu sedang mengobrol membelakangi lift. Sepertinya aku bisa masuk ke lift itu dan melewatinya.
"Mau ke mana?"
Toni bertanya padaku, karena aku tiba tiba saja bangun. Ku menoleh padanya. "Aku mau ke ruangan." kemudian segera berjalan meninggalkannya. Aku berjalan cepat meninggalkannya, membuat laki laki itu terdengar berdecak. Maafkan aku Toni, karena aku harus menghindari laki laki yang telah membuatku menderita itu. Aku tidak sudi bertemu dengannya meski itu hanya kebetulan saja.
Rupanya mereka sangat sibuk berdua, sehingga aku berhasil masuk ke dalam lift, diikuti oleh Toni yang ngedumel enggak jelas. "Kamu kan lagi hamil, kenapa sampe lari lari sih?" ia berdiri di sampingku.
"Oh, aku mau ke toilet."
"Kan di kantin juga ada toilet kan?"
"Aku lebih suka toilet kantor, karena toilet kantin itu kotor banget." ujarku.
"Oh, iya. Ya udah, tapi gak usah lari lari. Kamu jangan membahayakan diri kamu sendiri dong,"
"Ok, aku minta maaf."
Toni memutar kedua bola matanya malas. "Udah enggak mual kan?" tanya nya.
"Enggak doing, " aku emang enggak mual. AKu hanya ketakutan. lebih tepatnya emosiku yang memuncak gara gara melihat laki laki b******k itu. Sampai tubuhku terasa gemetar.
Berada di ruangan ku, aku merasa lebih tenang. Aku hanya perlu berpikir, bagaimana caranya agar aku tidak bertemu secara langsung dengan laki laki itu. Kehamilan ku sudah lima bulan, membuatku terlihat agak sedikit berisi. Namun tidak begitu kentara karena aku memiliki tubuh yang kecil.
"Itu pak Angkasa ya ... ya ampun ganteng banget." Aku mendengar Indira berbicara. Yang aku tanggapi dengan menjatuhkan pulpen ku, sehingga aku pun menunduk ke lantai untuk mengambil benda tersebut. Sampai laki laki itu menghilang di balik koridor, maka aku pun segera kembali duduk.
"Kamu lihat gak?"
Indira bertanya padaku. Dan aku menanggapinya dengan gelengan pelan. Tentu saja, aku memang sama sekali enggak peduli padanya. "Kamu mah, nanti deh, lain kali kalau Pak Angkasa keluar dari ruangannya, kamu wajib melihat dia. Oh, ya ampun dia ganteng banget." Gadis itu menutup wajahnya dengan gerakan gemas. Cih, kalau dia tahu bagaimana kelakuannya, maka dia mungkin tidak akan sampai mengaguminya. Yang ada, dia mungkin akan sangat membencinya. Atau bahkan ingin membunuhnya seperti apa yang ingin aku lakukan.
Kerjaan hari ini terasa tidak damai seperti biasanya. aku terlalu takut laki laki itu menemukan ku. Tapi ... kenapa aku harus takut? aku enggak salah sama sekali. Yang ada, dia lah yang harus merasa takut, karena aku bisa saja melaporkannya ke polisi atas pelecehan. Namun itu tidak aku lakukan. Banyak sekali hal yang membuatku tidak bisa melakukannya. Pertama, karena dia memang tidak melakukan kekerasan padaku. Yang kedua keluargaku pasti heboh dan ujung ujungnya mungkin aku akan dipaksa menikah dengan laki laki b******k itu.
Ketahuilah menikah dengan lelaki yang sudah melecehkan kita itu, tidak akan mendapatkan kebahagiaan sama sekali. Karena mereka tidak bisa menghomati kita, dan karena mereka akan selalu menganggap enteng kita. Kita bisa dikendalikan. kita akan dianggapnya tidak mampu melakukan apapun, tanpa dirinya. Intinya, kita adalah perempuan yang tidak berdaya di matanya. makanya dari itu, sampai kapan pun, aku tidak akan pernah mau menikah dengannya apapun yang terjadi.
"Kamu melamun terus. Ini sudah sore. APa kamu enggak mau pulang?"
Ah, aku kaget ketika Pak Mana sudah berada di sampingku. Aku terkekeh dengan gelengan pelan. "Terim kasih, Pak mana." ujarku.
Laki laki itu terdiam selama beberapa saat dan menatapku lekat. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, namun aku tahu jenis tatapan tulus itu. "Kamu bisa berhenti kerja saja. AKu bisa membantu semua kebutuhan mu."
Oh, mana bisa laki laki ini begitu baik. "Mana bisa seperti itu, paka mana?"
Dia tersenyum simpul. "Sudah berapa bulan? ada lima bulan?"
"Iya. Apa bapak menghitungnya?"
Dia terkekeh. "Iya, saya menghitungnya. Apa enggak boleh?"
"Apa bapak enggak ada kerjaan, sampai menghitung kehamilan saya?"
Dia terlihat salah tingkah dan menggaruk kepalanya. "Pasalnya saya bingung. Karena perut kamu tetap langsing." ujarnya.
"Bisa saja bapak ini."
"Kalau begitu, mari pulang. Ini sudah pukul lima sore. Kamu pasti lelah sekali. Oh, iya. mau beli rujak yang ada di sebrang kantor enggak?"
"Oh, nanti saya beli, pak."
"Ayolah, kita pergi bersama. Toni sudah pulang kah? anak itu sungguh tidak bisa dipercaya." dumelnya.
"Bapak selalu menyuruh toni untuk menjaga saya?" Ini sungguh bukan lah tanggung jawabnya. Ini seratus persen tanggung jawabnya si b******k itu.
"Tentu saja. Apa kamu keberatan?"
"Saya merasa bahwa Pak mana berlebihan."
"Oh, tidak, An. Aku harus terus berbuat baik pada siapapun, terutama pada perempuan hamil. Apalagi hamilnya dalam kondisi seperti kamu. AKu memiliki dua adik perempuan, dan aku sangat takut adiku mengalami apa yang kamu alami, an. Makanya aku ingin sekali menjaga kamu."
Aku sungguh salut padanya.
"katakan pada saya, siapa laki laki b******k itu? saya sungguh akan menghajarnya!"
Namun aku memilih diam.
"Kenapa? apa kamu takut saya kalah? kamu tenang saja, saya ini hebat dalam berkelahi. Saya dulu waktu sekolah, saya peraih sabuk hitam. Saya bisa lah membuat laki laki b******k itu mati kutu." kekehnya seraya memperlihatkan otot ototnya, membuatku tergelak tidak habis pikir dengan laki laki ini.
"Ayolah, pak. Jangan terlalu heboh. Saya takut hantu hantu kantor terganggu."
Dia merentangkan kedua tangannya seolah ingin menantang hantu. "Wahay hantu kantor! pergilah! jangan usik Anita!" Ya ampun laki laki ini random sekali.
Kami akhirnya pulang dan mampir di tukang rujak yang ada di sebrang kantor. Rujak di sini semua buahnya sudah kuning dan hampir masak. Yang aku sukai dari rujak di sini adalah sambelnya tidak terlalu pedas, namun sangat enak. Juga ada kecombrang yang wangi dan menyegarkan.
"Kamu suka kecombrang?"
Tanya Pak Laksmana. Mungkin beliau melihatku menggigit bagian kecombrang yang terkena oleh sambel nya. "Ini enak sekali, pak. Apakah pak mana tidak suka?" tanya ku balik.
"Mmm ... enggak terlalu sih. Tapi melihatmu sepertinya nikmat sekali."
"Dulu sih, biasa saja, pak. Tapi setelah hamil, saya merasa bahwa kecombrang menjadi satu tingkat lebih nikmat." ujarku.
"Ah, bisa saja kamu."
Aku pulang ke kontrakan hampir malam, karena selain mengajaku membeli rujak. Pak mana juga mengajaku berbelanja membeli perlengkapan bayi. Aku sudah menolaknya untuk tidak melakukan itu. Namun Pak Mana sepertinya tidak suka aku menolaknya sehingga aku pun menerimanya.
"Kamu tahu, aku akan sangat marah, kalau kamu sampai menolak pemberian ku." Itu yang dikatakan oleh Pak Mana padaku, ketika aku menolaknya tadi. Sehingga aku pun menerima semua pemberiannya itu. Ia membelikan tempat tidur bayi, baju bayi, sepatu dan juga mainan bayi. Aku bingung harus berkata apa dengan semua kebaikannya itu. Hingga setelah selesai berbelanja, dia mengajaku makan malam.
"Kamu tahu, ikan sangat baik untuk ibu sedang hamil. " ujarnya. Ia memesankan ikan tuna untuk ku.
"Terima kasih sekali, pak mana."
"Kamu jangan mengucapkan terima kasih terus, karena ini adalah kewajiban ku."
"kewajiban?"
"IYa. kamu adalah seorang korban. dan sudah kewajiban kita seorang laki laki yang memiliki finansial cukup, untuk melindungi perempuan yang menjadi korban. Bukan malah kita menyudutkan kan dan memarahinya kan?"
Aku terdiam.
Bagaimana ada lelaki se hebat dan se tulus ini. Aku penasaran dengan bagaimana kedua orang tuanya. APakah mereka se hebat dan se tulus ini?
Ponselku berdering, membuat semua lamunan ku tentang Pak mana buyar seketika. Aku melihat nomor asing masuk ke dalam ponselku. Kedua alis ini bertaut, karena aku sungguh tidak mengenali nomor ini. Mungkin karena aku berkali kali menolak panggilannya, sehingga pemilik nomor itu pun mengirimkan pesan padaku. Yang aku terima dengan kedua mata ini yang membulat.
0899xxx
Kenapa enggak angkat nomor saya, anita? apa kamu pikir bisa menghindariku? aku tahu kamu kerja di kantorku. Sampai jumpa besok Anita!
Tidak! kenapa laki laki b******k itu tahu nomor ponselku?