Kenapa Harus Dia?

1816 Words
Hubungan ku dengan Pak Laksmana semakin tidak baik baik saja. Laki laki itu cuek, namun kadang aku merasa bahwa dia selalu menatapku secara diam diam. Namun yang paling membuatku tidak nyaman adalah laki laki itu yang ternyata selalu menitipkan sesuatu pada teman ku yang kubikelnya berada di sampingku. Dia Toni, laki laki itu kerap memberikan kotak makan yang isinya sandwich atau pun potongan buah. Dan laki laki itu mengatakan bahwa itu titipan dari Pak Laksmana. Tentu saja hal itu membuat gosip mulai beredar di kantor. "Kamu sama pak mana pacaran?" tanya Toni. Aku tentu saja menggeleng cepat. "Aku sedang hamil, toni. Mana bisa aku pacaran sama dia." aku tidak akan pernah menyembunyikan statusku. Aku tidak peduli apapun yang mereka katakan tentang diriku. "Tapi kan kamu ini janda. Boleh lah, kamu pacaran sama dia kan?" "Jangan bahas itu, toni. AKu enggak enak." "Kamu ini. Aku juga mendapatkan pesan dari dia, katanya kamu harus makan semua buah itu. Karena sangat baik untuk anak kamu." ujarnya. Lalu aku hanya menghela napas menanggapinya. AKu meraih kotak makan itu, dan meletakannya di samping laptop ku. "Eh, kalian pada denger gak, kalau pak Lukas mau pensiun. Jadi sebagai gantinya katanya keponakannya. " ujar Toni pada semua orang yang ada di ruangan ku. "Wah, beneran tuh?" dia Indira. "Cewek apa cowok nih?" tanya nya. "Kalau cewek emang kenapa? kalau cowok emang kenapa?" tanya Toni. "Ya, kalau cewek, aku enggak akan tertarik. Tapi kalau cowok, ya semoga aja ganteng. Kan lumayan buat cuci mata." kelakar Indira. Yang mendapatkan seruan dari semua isi kubikel yang ada di sana. BTW aku berada di tim pemasaran. Yang mana isi nya ada tujuh orang saja. Ini tuh kantor kosmetik. Jadi kami semua ini kerja untuk sebuah brand kosmetik yang saat ini memang sedang booming. "Cuci mata pake rinso aja noh." ketus Toni. "Yee ... enggak usah ketus gitu atuh pak Toni. Kan anda itu jelek. Jadinya tambah jelek kan!" AKu melihat Toni menanggapi itu dengan sebuah delikan saja. Mereka sepertinya memang sudah terbiasa saling meledek seperti itu, sehingga aku tidak merasa kahwatir akan terjadi pertumpahan darah di sini. "Cih, kaya anda cantik saja nona indira!" bales Toni. Mereka berdua terus saja saling meledek. Ketika bel masuk kerja berbunyi, sebagai tanda kami sudah tidak boleh saling berisik dan saling meledek. Kami pun mulai sibuk dengan apa yang sudah menjadi kewajiban kami. Di kehamilan ku yang ke lima bulan ini, mungkin sudah terlihat. Tapi anehnya Toni bilang kalau aku ini tidak terlihat seperti orang yang sedang mengandung. Karena sebelum aku mengakui bahwa aku hamil. Toni waktu itu mengajaku menonton di bioskop. Dia bilang sebagai perkenalan bahwa aku ini adalah anak baru di kantor. Karena kebetulan Toni ini memang seorang ketua Tim di bagian pemasaran. "Maaf Ton, aku enggak bisa." Jawabku kala itu. "Loh kenapa? aku serius enggak akan ngapa ngapain kamu. Aku bakal bawa pulang kamu dengan selamat dan tanpa ada lecet sedikit pun," katanya. "Eh, bukan kaya gitu, ton, Tapi aku memang enggak bisa pergi ke tempat kaya gitu, karena aku enggak boleh terlalu capek." "Hah, emangnya kenapa? kamu sakit bukan?" tanya nya. "Bukan sakit, ton. Aku tuh sedang hamil. Sekarang hamil ku sudah lima bulan." ujarku padanya. Toni lantas saja terpaku dan meneliti diriku. "Mana? hamil gimana orang enggak ada tanda tanda nya." laki laki itu meraba perutku. "Ini kecil kok." Aku terkekeh dan meletakan tangan laki laki itu pada jabang bayi yang kebetulan sedang bergerak. otomatis saja, Toni menarik tangannya dengan wajahnya yang pucat. "Ya ampun! itu yang gerak apa? serius kaget banget." ujarnya heboh. Dan aku terkekeh menanggapinya. "Aku bilang juga apa. AKu tuh memang sedang hamil, ton. Kamu sih, enggak percaya." ujarku. Toni menggeleng pelan. "serius, aku enggak tahu kalau kamu enggak bilang. Masa sih, sudah lima bulan tapi ko enggak keliatan." "masa enggak keliatan sih, ton?" "Yaita. Kamu aja, masih pake celana kan?" Aku memang masih pakai celana dengan baju blouse, sehingga memang sangat sempurna menyembunyikan kehamilan ku. "Ko bisa sih, enggak keliatan? hebat perut kamu itu!" decak kagum Toni. "BTW, ko suami kamu ijinin kamu kerja?" tanya nya. "Mmm ... sebenarnya aku udah cerai." "WHAT!" dia semakin heboh. "ko suami kamu tega banget, nyerein kamu yang lagi hamil?" "Bisa cerai ko, meski lagi hamil." "Kan katanya enggak boleh," Toni terlihat begitu simpatik. "Kan waktu cerai aku enggak hamil. Jadi ketahuan hamilnya setelah cerai." "Wah, kasian sekali kamu ini. Ok, tenang tenang ... om toni bakal baik baik sama mamah kamu ya ..." laki laki itu berbicara pada perutku, membuat ku terkekeh geli. Dan setelah saat itu, aku dan Toni ini akrab seperti keluarga. Toni juga suka membelikan ku buah buahan dan sayuran. Entah lah, ini mungkin adalah rizkinya sang janin. "Jadi kapan pengganti pak Lukas bakal datang?" Tanya Indira lagi, membuat lamunan ku buyar. Gadis itu sepertinya memang sangat penasaran sekali pada sosok pengganti pemimpin kami. BTW, sekarang kami sudah istirahat. Waktu begitu cepat berlalu, meninggalkan pagi yang aku rasa baru saja dimulai. Pekerjaan hari ini lumayan banyak. Sepertinya Pak Mana sudah tidak lagi mengambil sebagian pekerjaan ku. Sehingga aku merasa bahwa waktu begitu cepat. Katakan lah aku bersyukur dengan kembalinya pekerjaan ku. Meski sibuk, namun aku merasa bahwa ini lebih baik dari pada sebelumnya. AKu enggak suka berpangku tangan dan membiar kan aku hidup dengan gratis. Aku ingin membesarkan anaku dengan uang yang halal dan juga berkah. Aku membenci Ayahnya, amat sangat. Karena ia telah menghancurkan masa depan ku. Pernikahan yang aku impikan hancur begitu saja. Namun ... aku tidak boleh menyesal. Ini sudah jalannya, aku hanya perlu hidup dan menjalani semua ini dengan sebaik baiknya. "Aku baru denger, katanya sih, dia itu cowok. Umurnya sekitar 30 han gitu. " ujar Nela, dia anak Administrasi, yang sepertinya sedang memiliki urusan ke bagian pemasaran. Ia meletakan map di atas mejanya Toni. Ku lihat Toni melihat berkas berkas itu. "Ganteng enggak nel?" Indira semakin tertarik saja. "Ganteng lah, orang dia keponakannya Pak Lukas. Emang kamu enggak lihat gimana gantengnya pak lukas?" "Iya, aku tahu Pak Lukas itu ganteng. Tapi doi kan udah tuir. Jadi aku enggak bisa bayangin gimana keponakannya." "Intinya ganteeeng. Lajang pula, dia masih pacaran. Tapi nih, ya ... sebelum janur kuning melengkung, kan siapa tahu hatinya keponakannya pak lukas belok sama aku." Kalimat Nela, membuat Indira mengerucutkan kedua bibir. Si gadis berambut ombre itu sepertinya kesal dan gemas pada Nela. "Cih, pacar lo mau dikemanain, nel?" ledek Indira lagi. "Yee ... pacar gue, ya pacar saja. Keponakannya Pak Lukas, ya ... calon suami gue!" aku terkekeh mendengar pernyataan Nela. Dan Toni bergidik ngeri melihat tingkah Nela. Laki laki pemimpin tim pemasaran itu, memberikan map yang tadi di bawa oleh Nela. "Sudah kamu pergi sana, berisik!" usir Toni. Lalu Nela pun meraih map itu dan membawanya pergi setelah menjulurkan lidah pada Toni. Yang ditanggapi laki laki itu dengan sebuah gelengan kepala jengah. menurutku, Toni ini memang tampan. Aku rasa, dia cocok dengan Nela. Nela juga cantik dan sepertinya mereka serasi. Tapi ya ... seperti yang aku dengar, katanya Nela punya pacar. Itu artinya Toni enggak beruntung. Eh, belum tentu juga Toni menyukai Nela. Bisa jadi dia menyukai Indira, atau anggota pemasaran yang lain, seperti ... "Kamu!" "Hah!" Terlalu banyak memikirkan hal yang enggak penting. AKu malah menyambungkan antara pemikiran absurd ini dan teguran seseorang di depan ku. Yang ternyata adalah Toni sendiri. Laki laki itu menautkan kedua alis. "Eh, iya. Ton?" aku sebenarnya ingin memanggilnya pak Manager. Namun ketika kali pertama aku memanggilnya seperti itu. Toni malah bilang padaku, kalau dia ingin aku memanggilnya dengan sebutan Toni saja. Jadinya aku mengikuti apa yang dia inginkan saja. "mau makan apa?" tanya nya. "makan?" "Iya, mau makan siang apa?" tanya Toni lagi. Hal itu membuat seisi tim pemasaran menatap padaku. "Pak Toni perhatian sekali sama Anita, ya. Bikin iri deh," goda Indira. "Mau dapat perhatian dari saya?" ledek Toni. "Iya, mau dong," rengek Indira di buat buat. membuatku terkekeh geli. "Hamil dulu!" kelakar Toni, yang sontak di tanggapi Indira dengan geplakan di kepalanya Toni. Lihat! mereka memperlakukan manager mereka seperti itu. Dan aku jadinya ikut tergelak, karena Toni marah marah enggak jelas. "Mantap tuh!" celoteh Agus. Nama aslinya Agustus Ramadhan. Dia memiliki kulit sawo matang dengan wajah manis. "Bener tuh, ra. Kamu harus hamil dulu kaya anita. Baru deh bakal diperhatiin sama Pak Toni, " tambah Anjar, tidak kalah menyebalkannya. Membuat Indira semakin berang di buatnya. "Terserah. Saya kan belum punya laki. Mana bisa saya hamil. Pak Toni memang selalu mengada ngada. Tapi gak apa apa kalau opah toni mau meng hamili saya--AW!" Nah, kali ini Toni yang menjahili gadis itu. Pipinya Indira terkena cubitan mautnya Toni. "Sakit b******k!" keluh Indira. Yang ditanggapi Toni dan Agus juga Ajar dengan menutup kedua telinga. "Cewek tuh, sebenarnya lebih kejam dari pada kami para cowok. Tapi nih, ya ... mereka suka pura pura tersakiti seolah kami ini lelaki yang jahat kaya israel!" ledek Toni. Yang tentu saja meledek Indira yang histeris karena di cubit olehnya. sedangkan tadi ia dipukul oleh Indira sama sekali enggak bersuara. Setelah saling meledek, akhirnya tim pemasaran bubar. Kami ke kantin untuk makan, dan Toni malah menungguku. "Mau di gendong?" Ledeknya. Mungkin karena melihatku berjalan agak pelan. Pasalnya si jabang bayi menendang nendang. Dia aktif sekali. "ye ... enggak lah." "Ayo kita makan. Kamu mau makan apa?" tanya Toni. "Enggak usah lah, aku ambil sendiri." tolak ku. "Jangan gitu lah! aku enggak enak sama kamu, perempuan hamil itu harus ada yang memanjakan." ujarnya. AKu terkekeh dan menggeleng mengikutinya. Kami sampai di kantin dan bertemu dengan pak Mana. Laki laki itu tersenyum padaku dan Toni. Kemudian meninggalkan kami. AKu merasa bahwa Pak Mana memang sedang menjaga jarak dariku. Tidak apa apa. AKu akan terbiasa dengan ini. Toni menarik tangan ku dan mengajaku duduk di kantin. "Tunggu di sini. Kamu bilang mau makan apa?" tanya nya. "AKu ambil sendiri lah ton." keluhku. AKu malu diperhatiin seperti ini. "NO! kamu duduk karena antreannya banyak sekali. Ok," AKu memilih menggangguk saja, dari pada harus berdebat dengannya. Masalahnya aku sedang tidak ada energi untuk berdebat. Toni pun kembali setelah beberapa menit. Ia meletakan nasi dengan ayam goreng dan sayur bayam di mangkuk. "Mau apalagi aku akan ambilin lagi?" "Udah cukup lah ton." "Ok. AKu mau ambil makanan ku ya. Tungguin ya, kita makan bareng. Eh, tapi kalau kamu udah laper. Boleh makan duluan. nanti aku ambilin saladnya." dia pergi dengan sangat cepat. Dan aku hanya menghela napas dalam saja. bagaimana ada seorang lelaki sebaik Toni. Aku sangat berharap dia akan bertemu dengan perempuan yang juga sebaik dirinya. Aku meraih sendok dan mulai memotong ayam, ketika aku melihat seseorang berada di kantin ini. Dia sedang berbicara dengan Pak Laksmana. Sontak saja sendok ku jatuh ke lantai dan juga kedua kaki ini terasa lemas. AKu sangat membenci laki laki itu! "kamu kenapa?" Toni datang dan mengganti sendok ku dengan sendok yang baru. "itu ... itu siapa?" aku menunjuk laki laki yang bersama Pak Mana. Toni melihat kearah pandang ku. "Oh, dia pak Angkasa, penggantinya pak Lukas!" Tidak! Ini gila sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD