Aku jadi kalut karena ternyata laki laki b******k itu tahu bahwa aku ada di Sky line cosmetik. Lalu bagaimana kalau sudah begini. Aku tidak mungkin keluar dari sana, karena aku sangat membutuhkan uang. Aku memilih mengeluarkan kartuku, dan malam ini juga aku akan membeli kartu baru. Aku akan memberitahu pak mana, besok saja.
Berada di sebuah toko ponsel aku membeli sebuah kartu. Kemudian langsung dipasangkan di sana dan di daftarkan oleh pemiliknya. Selesai, aku pun kembali pulang ke kosan ku. Sekarang aku bisa tidur dengan nyaman, karena laki laki b******k itu tidak akan lagi tahu nomor ponselku. Namun sebagai gantinya aku harus pergi ke bank untuk mendaftarkan nomor baruku ini pada bank ku.
Pagi harinya aku seperti biasa aku pergi ke kantor, dan hari ini memakai dress beby doll, yang sungguh bisa membungkus kehamilan ku ini. Aku percaya diri, karena meski pun aku sedang hamil, aku merasa bahwa diriku masih saja sempurna. Tidak! Aku bukannya tidak ikhlas diriku hamil. AKu hanya ingin membuktikan pada laki laki gila itu, bahwa aku masih bisa bahagia meski sudah ia hancurkan dengan begitu hebatnya. Aku tahu apa yang dilakukan Angkasa adalah semata mata hanya untuk membalas dendam padaku. Perasaan aku tidak memiliki kesalahan padanya, selain aku meminta putus karena aku ingin menikah dengan Damar. Namun kenapa laki laki itu malah memperlakukan aku dengan begini kejinya.
Sampai di kantor, aku bertemu dengan Pak Laksmana. Laki laki itu tersenyum padaku, dan aku menyapanya dengan ramah.
"Sudah sarapan?" tanya nya.
"Sudah pak." Jawabku.
"Hari ini, kamu terlihat segar sekali." Ujarnya.
"Terima kasih, Pak. Oh, iya. Saya mau memberitahu nomor baru saya." saat ini kami berada di lift.
"Kamu ganti nomor, kenapa?"
"Oh, saya akhir akhir ini sering diteror." Lebih tepatnya di ganggu oleh laki laki yang tidak tahu malu, dan tidak memiliki hati nurani. Aku sungguh berharap kalau dia mati saja.
"Wah, kalau begitu kamu laporkan saja, orang itu. karena sangat ber bahaya kalau dia meneror kamu." tambahnya.
"Oh, saya tidak perlu, karena saya sudah mengganti nomor saya. Tapi saya sarankan pada bapak, tolong jangan kasih tahu pada siapapun yang ada di kantor ini. Saya tidak mau teror itu kembali mengganggu saya."
"Jadi teror itu ada di kantor ini?"
Aku menggeleng dengan sebuah kekehan kecil. "maksud saya, mungkin saja dia memang ada di sini, saya hanya ingin berjaga jaga. Saya agak malas kalau harus terus berganti nomor, karena itu artinya saya harus mengganti nomor kontak bank saya juga."
"Oh, iya. Saya sangat mengerti sekali. saya akan menjaga nomor kamu dengan baik." Kami keluar dari lift, kemudin masuk ke ruang sraf kami. AKu duduk di kursiku dan pak Mana beridiri di dekat mejaku seraya mencatat nomor yang aku sebutkan.
Bisa aku duga, kalau laki laki itu akan terus menghina dan menyakitiku kalau kami bertemu. Itulah sebabnya aku menghindarinya se bisa mungkin. Aku keluar secara mengendap endap atau aku berbaur dengan banyak orang, agar aku tidak bertemu dengannya. Namun ketika aku masuk ke lift, seseorang juga masuk dan membuatku menegang.
"Kamu ..."
"Apa kabar?" dia cengengesan seolah tidak pernah bersalah padaku. "Kamu sepertinya tambah cantik saja." Cih, dasar mantan terkutuk. Aku memilih mengabaikannya dan bersikap ketus.
"Aku hanya mau bilang sama kamu, bahwa saya tidak mau satu orang pun tahu bahwa kita pernah memiliki hubungan sebelumnya."
Mungkin dia pikir, aku akan takut dan akan mengalah padanya. Mungkin dia pikir, aku ini lemah. Tapi dia salah, aku enggak se lemah itu. Aku enggak sedikit pun merasa takut padanya. Maka aku menengadahkan wajahku, menatapnya dengan sebuah tantangan. Aku mendorongnya kedinding lift dengan sangat kuat. Jangan pikir, karena aku hamil, aku tidak berani menyudutkannya. Aku sudah berjanji tidak akan lagi mau kalah oleh laki laki mana pun di dunia. Aku sudah bersumpah!
"Angkasa!" dia menatapku lekat, dan jarak kami memang dekat. Kuletakan siku ini di dadanya. "Akan sangat baik, jika kita tidak saling sapa, dan seolah kita tidak saling kenal. Mendengar keinginan mu itu, maka aku sangat setuju. Jangan pernah berpikir bahwa aku sangat membutuhkan mu. Karena najis bagiku mengingat semua tingkah biadab mu itu!"
Lift terbuka, dan aku segera keluar dari pintu baja itu dengan langkah cepat, seolah aku ini sangat tegar. Namun ketahuilah, hatiku sakit sekali, dan aku hancur sekali. Dan bukannya aku pergi ke ruangan ku, tapi aku pergi ke toilet untuk menangis. Aku menangis bukan karena aku lemah atau karena aku ingin Angkasa iba padaku. Namun lebih ke perasaan ku yang begitu membencinya namun aku tidak bisa berbuat apa apa ketika aku berada di depannya. Sehingga perasaan ku menjadi sesak dan gemetar.
***
"Kamu ke mana saja. Pak mana nyariin dari tadi?"
Toni memburuku di pintu masuk. AKu memang terlalu lama berada di toilet. "Kamu nangis?" tanya nya. Sontak saja, aku menggeleng pelan. "Aku hanya kelilipan saja."
Toni menaikan sebelah alisnya. "kelilipan gimana? di tuh enggak ada debu. kamu boong ya, aku rasa kamu memang nangis."
Aku berdeham dan melewatinya begitu saja. Segera aku duduk di kursiku dan dia mengikutiku. "Serius kamu enggak kenapa napa?" tanya padaku.
Aku mengangguk dan mulai menatap laptop ku.
Hari semakin malam, aku pun pulang ke kontrakan ku, namun Pak Mana datang ke ruangan dan mengajaku pulang bersama. "Kita pulang bersama!" ini jelas bukan lah sebuah ajakan, namun menjadi sebuah perintah. Yang membuatku tidak bisa mengelak.
"Ayo." ajaknya. Dan aku pun berjalan di sampingnya.
"Saya tadi nyariin kamu. Tadi ke mana saja?" dia bertaya seraya kami hendak memasuki Lift.
"Saya ke toilet."
"kenapa lama sekali?"
"Saya agak mulas."
"Oh, kamu jangan sampai salah makan, ya. kamu sedang hamil loh. Kamu harus hati hati lah."
Kami pun masuk ke dalam lift. Kami berdiri bersebalahan menunggu lift sampai ke lantai bawah. "Iya, pak."
"Sekarang sudah berapa bulan?"
"Lima pak. Bukan kah bapak sudah menanyakan ini, kemarin? kenapa setiap hari bapak menanyakan itu?"
Dia terkekeh. "Saya takut, bahwa saya lupa tidak menanyakan keadaan kamu."
"Lah, memangnya kenapa bapak harus terus bertanya pada saya, kan itu bukan kewajiban bapak kan?"
"itu kewajiban saya, anita ... karena saya merasa harus memperhatikan kamu."
Kami masih saja belum sampai ke lantai bawah, ketika lift terbuka dan menghadirkan laki laki itu. Dia meliriku, dan aku memgalihkan tatapan ini dengan cuek.
"Eh, pak angkasa. baru pulang, pak?" tanya nya pada Angkasa.
"Iya. Wah, bapak juga ternyata baru pulang? mau ke mana setelah dari sini?" tanya Angkasa.
"Oh, saya mau makan malam bersama anita, pak."
"Oh, saya pikir, saya akan mengajak pak mana untuk pergi ke suatu tempat, di mana kita bisa bertemu dengan para gadis yang cantik dan juga masih suci. Ayolah, pak. Meski umur kita sudah berada di kepala tiga. Kita juga harus mempertimbangkan perempuan yang akan kita jadikan teman hidup kita."
Aku tahu apa maksudnya Angkasa berkata seperti itu. Dia sedang menyindirku. Mungkin dia berpikir bahwa aku tidak memberitahu Pak Mana kalau aku ini bukanlah seorang gadis lagi.
"Bapak benar, makanya saat ini saya sedang mendekati seseorang. Karena saya tahu dan yakin bahwa seseorang itu sangat baik dan juga harus diperjuangkan."
Ku lihat Angkasa tediam dan menoleh padaku selama beberapa saat. Kami saling menatap selama beberapa detik, kemudian aku mengalihkan tatapan ini ke arah lain. Ruangan mendadak hening, kemudian kami semua keluar dari lift. Pak Mana mengarahkan ku untuk naik ke mobilnya. AKu inginnya menolak, namun pak mana menggelengkan kepala.
"Aku tidak menerima penolakan, mamah cantik." godanya, sehingga aku terkekeh geli. Kemudian masuk ke dalam mobilnya.