Anehnya, aku sama sekali tidak merasa keberatan meski harus mondar- mandir, demi menyelesaikan administrasi, agar ibunya Mira segera mendapatkan penanganan medis dengan tepat.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan pernyataan sialan dari Evan yang terus mengganggu pikiranku. Mendahulukan kondisi ibunya Mira, jauh lebih penting daripada perasaanku.
Anehnya lagi, setelah menyelesaikan urusan administrasi, aku segera berlari di sepanjang koridor rumah sakit hanya untuk memeluk Mira dan memastikan keadaannya.
"Pak Barra." Dia ternyata juga menyambut pelukanku. Isakannya terdengar jelas ketika dia menenggelamkan kepala pada dad*ku.
"Gimana Ibu kamu, Mir?" Pertanyaan keluar dari mulutku, setelah aku melonggarkan jarak dengan lepaskan pelukanku.
Mira menunjuk ruangan yang bertuliskan ICCU di depannya, dan terus mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangannya.
"Kata Pak Jamal, tadi sesak." Mata Mira tampak mengarah pada seorang pria dengan gerombolannya di sana yang tadi mengantar ibunya ke sini. "Sekarang belum sadar."
Dia kembali terisak setelah menceritakan kondisi ibunya. Aku jadi merasa bersalah setelah bertanya. "Kamu yang tenang, ya. Ibu kamu pasti sembuh."
Dia tampak mengangguk meski samar, dan beralih mencari sandaran untuk punggungnya. "Maaf sudah merepotkan, Pak."
Aku mengikutinya. Berdiri tepat di sampingnya dan mengusap puncak kepalanya dengan perlahan. "Aku yang harusnya minta maaf."
Aku juga tidak paham, apa yang menjadi dasar permintaan maafku. Tapi melihatnya tersiksa, seolah menyiksa batinku juga. Dia memang tidak menolak sentuhanku pada puncak kepalanya, tapi tundukan kepalanya yang mendadak, membuat tanganku harus beralih dari sana.
"Kamu bisa stay di sini, Mir. Gak usah balik kantor dulu." Aku berusaha mengisi keheningan di antara kami.
Dan dia kembali mengatakan, "Maaf."
"Sekali lagi kamu minta maaf, aku gendong pulang, mau?" Bukannya mengabaikan keadaan ibunya yang sedang kritis, namun Mira perlu sedikit candaan agar pikirannya teralihkan, kan?
"Barra, ih!" Ternyata dia langsung memukul lenganku setelah mendengar ucapanku. Lucunya, raut merengutnya langsung berubah kekhawatiran ketika aku mengaduh akibat pukulannya. "Maaf Barra. Ma-"
Kuhentikan pergerakan bibirnya dengan menempelkan telunjuk pada permukaan merah muda alami itu.
Rasanya seperti... dejavu. Kenangan menyentuh perlahan permukaan kulitnya, seolah mengingatkanku kembali tentang penyatuan yang memadukan hasrat.
Namun, tidak. Aku menggeleng dan menghempaskan jauh-jauh pemikiran kotor yang datang di saat yang kurang tepat.
Kulekatkan wajah hanya untuk memperjelas seringai di bibir. "Beneran mau aku bawa pulang?"
"Eh, enggak gitu." Gelengan kepalanya dan raut paniknya, membuat bibirku reflek terbitkan senyum. Asyik juga ternyata menggodanya.
Mira kembali menunduk, dan kedua tangannya berkumpul di belakang tubuhnya. "Aku kira Pak Barra gak bakal mau tolongin aku."
Aku menertawakan pemikirannya yang sebenarnya hampir seratus persen benar. "Tadinya juga gitu. Tapi, gimana ya? Aku enggak bisa lihat kamu tersiksa kayak gini, Mir."
"Maaf, Pak."
Sumpah! Aku pengen tertawa ketika mendengar kata terakhirnya. Tanpa meminta ijin, kuselipkan lengan kiri di belakang kedua lututnya, dan tangan kanan di belakang bahunya.
"Barra! Apaan, sih?"
Dia terus protes, karena aku menggendongnya melintasi orang-orang yang tak kami kenal. Bukannya ingin menurunkannya, aku semakin rekatkan pegangan, dan mempercepat langkah menuju parkiran mobil.
"Pak Barra! Malu, Pak!"
Rengekannya jelas tidak berpengaruh. Aku semakin bersemangat membawanya ke parkiran mobil dan segera ingin menerkamnya.
Kuturunkan Mira di samping mobilku, mendesaknya dengan mengunci pergerakannya agar dia terdiam dan hanya menatapku.
"Barra, kamu mau ngapain?" Dia tampak kesulitan berbicara ketika kutumpukan kedua sikuku di samping kepalanya.
"Membungkammu."
Awalnya Mira melebarkan mata, ketika indra pengecap kami saling bertemu. Perlahan ia membuka sedikit mulutnya, seolah memberiku akses untuk berjelajah di sana.
Sedetik, dua detik, kelembutan di sana terasa sangat melenakan. Kelopak mata Mira terpejam, seolah ia juga mendambakan perlakuanku.
Aku berhenti dan memberi jeda untuk bernafas. Rona kemerahan pada pipi Mira, membuatku kembali terbitkan senyum. Bukan hanya sekedar itu, namun sambutannya terhadap perlakuanku, mampu melambungkan asa setinggi angkasa. Mira, dia pasti juga menyukaiku, kan?
Kuraih pipi Mira dan mengarahkannya padaku. Tatapan yang hanya tertuju padaku, memudahkanku untuk meyakinkan satu hal. "Will you marry me?"
Awalnya Mira tampak membulatkan mata. Namun detik selanjutnya ia langsung menghempaskan kedua tanganku dengan mudah. "Aku enggak mau kamu nikahin aku cuma gara-gara kasihan, Barra."
Dia kembali melebarkan jarak dengan bergeser ke samping dan melengos ke arah kanan. "Aku mau pernikahanku terjadi, atas dasar cinta, bukan rasa iba."
Banyaknya pikiran yang berkeliaran dalam otak, ditambah beberapa orang yang melintas di dekat kami, membuatku tidak fokus dan malah mengamati sekitar ketika menjawab, "Aku cinta."
"Bohong!" protes Mira cepat. "Jangan jadikan kebohongan hanya untuk menutupi kebohongan lain, Barra!"
"Aku beneran suka sama kamu, Mira." Aku kembali mencari arah tatapan matanya. Kupegangi pundaknya dan meyakinkannya akan perasaanku.
Dia malah merengut dan berkata, "Buktinya kamu malah berpaling pas ngucapinnya."
Astaga! Aku terkadang merasa heran dengan pemikiran para wanita yang membutuhkan pengakuan dengan kata-kata. Padahal sebuah tindakan jauh lebih berarti, kan?
"Oke. Seperti ini?" Aku mundur selangkah dan berlutut di depannya. Kusatukan kedua tangannya dalam genggammanku, dan menatap kedua matanya tanpa berkedip. "Mira, aku ingin menikahi kamu tanpa peduli dengan masa lalu sialan yang selalu kamu bahas. Aku juga enggak peduli tentang pandangan orang lain. Aku cuma ingin kamu yang selalu berada di sisiku."
Mata kelamnya turut melihat genggaman kami, lalu beralih menatapku dengan mata berkaca-kaca. Dia diam sejenak, sebelum memberi jawaban. "Iya Barra. Aku mau."
Bibirnya mengulas senyum meski samar, disertai anggukan kepala yang mempertegas ucapannya.
Tentu tak akan kulewatkan begitu saja momen bahagia seperti ini. Ku angkat tubuh Mira setinggi-tingginya untuk menggambarkan kebahagiaanku.
"Barra, turunin! Malu dilihatin orang." Dia kembali protes karena beberapa orang tampak memperhatikan kami.
Lagian, siapa sih yang peduli?
***
Kedua tangan kami saling bertautan, ketika berjalan menuju ruang ICCU tempat ibu Mira mendapat penanganan. Jangan bayangkan sesi romantis seperti pasangan pada umumnya ketika menyusuri koridor, langkah kami bahkan sangat cepat hampir seperti berlari ketika Mira mendapat telepon dari Pak Jamal, tetangga yang mengantar ibunya, yang berkata ibunya sudah sadar.
"Ibu!" Mira langsung meraih tangan renta itu ketika mendapat ijin boleh memasuki ruangan. Sedangkan aku turut mengikuti langkahnya dan berdiri di sampingnya.
"Ibu sudah enggak apa-apa, nak." Wanita paruh baya itu tampak mengulas senyum meski terhalang alat bantu pernafasan yang masih terpasang. Mata sayunya gantian mengamati keberadaanku dan bertanya, "Kamu bawa teman, Amira?"
Mira langsung mengangguk, mengiyakan pemikiran ibunya tanpa berusaha mengoreksi ucapan ibunya. Kecewa, sih. Bukannya hubungan kita lebih dari teman?
"Maaf sudah merepotkan ya, Nak?" Kali ini kalimat itu tertuju padaku. Ibu Mira berusaha bangun dan langsung dibantu Mira untuk membenarkan posisinya. "Teman kerjanya, Mira?"
Em... apa, ya? Aku takut salah ngomong dan memilih mengangguk untuk menjawab pertanyaan ibunya Mira.
"Ibu istirahat lagi, ya. Jangan banyak bicara. Aku mau anter temen Mira keluar dulu." Mira langsung menarik pergelangan tanganku untuk mengikuti langkahnya.
Namun aku sama sekali tak bergerak, dan memilih melepaskan jemari Mira dari lenganku. Kumantapkan diri sebelum berucap, "Gini tante, maaf sebelumnya kalau waktunya kurang tepat."
Aku menarik nafas dalam-dalam. "Saya ingin menikahi Amira secepatnya. Bisakah saya meminta restu dari Tante?"