"Saya ingin menikahi Amira secepatnya. Bisakah saya meminta restu dari Tante?" Detak jantungku terasa saling berkejaran, terutama ketika ibunya Mira langsung menatapku dengan sorot yang tak bisa aku artikan.
Aku menunduk, sebisa mungkin menghindari tatapan wanita yang sedang terduduk lemas di hadapanku. Detik yang terlewati terasa sangat panjang.
Bodoh! Dasar mulut, gak ada remnya. Kenapa aku enggak mikir bakal ada penolakan dari ibunya Mira, sih? Iya kalau direstuin?
"Jadi, kamu calonnya Mira, Nak?"
Eh?
Aku gak salah denger, kan? Aku kembali menatapnya dan menemukan wajah penuh harap di sana. Kelopak matanya yang turun, seolah menunjukkan permohonan. "Ibu bersyukur kalau calonnya Mira terlihat baik dan mapan."
Senyumpun seketika mengembang. Begitu juga dengan Mira yang masih berdiri di sampingku. Mendengar ibunya Mira menerima keberadaanku saja, sudah membuat hatiku terasa melambung tinggi. Siapa tadi namanya? Linda. Iya, hanya sebatas itu yang aku tahu, karena aku yang mendaftarkan ke bagian administrasi.
Oke. Ini saat yang tepat untuk memperkenalkan diri secara resmi. Kuraih tangan Mira yang masih berada di sisi, dan menyelipkan jemari di sela jari-jarinya. "Saya memang sudah menyukai Mira sejak SMA Tante."
Mira tampak langsung menoleh ke arahku, meski aku tak tahu pasti raut apa yang tercipta, karena aku masih menatap Tante Linda. Namun sepertinya, dia sedang menantikan kelanjutan ucapanku.
Oke, akan aku lanjutkan.
"Ternyata takdir baru mempertemukan kami kembali setelah sekian lama dalam satu perkerjaan." Kutoleh keberadaannya yang masih berada di sisi, dan mengisyaratkan kecupan singkat, meski tanpa menyentuh bibirnya.
"Kapan?" Raut yang tercipta, ternyata raut ketidakpercayaan. Sudut alisnya yang naik, seolah memancingku untuk mengacak puncak kepalanya melaui usapan tangan.
"Kamu sih? dulu cuek terus sama aku," ucapku yang langsung mendapat cengiran dari Mira. Dia ternyata belum percaya juga.
"Bukannya dulu waktu SMA kamu pacaran sama adek kelas?"
Aku mendongak sesaat dan mengingat-ingat kembali ucapan Mira. "Yang mana? Gak ada."
Dia lebih dulu memutus pandangan dengan melengos ke sisi kanan. "Suka-suka kamu lah, Bar."
Boleh aku ngerasa percaya diri kali ini? Kayak menemukan kecemburuan dalam intonasi bicaranya. Namun dia kembali menatapku dengan bersedekap. Katanya, "Lalu gimana Mbak Aleta? Mbak Bella?"
Astaga... ngapain juga Bella dibawa-bawa. Dia bahkan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan asmaraku. Tapi, lucu juga sih denger Mira kesel kayak gini. Aku jadi merasa diperhatiin sama dianya. Aku sampai kaget kalau ternyata dia tahu jika Bella suka sama aku.
"Kamu cemburu, kan?" Kusentil hidungnya dan memperhatikan rona kemerahan yang mulai tercipta di area pipi Mira. Ingin segera memeluk dan menghidu aroma tubuhnya, namun suara batuk dari Tante Linda, memupuskan pergerakaan, sekaligus mengingatkan jika dalam ruangan ini bukan hanya ada kami berdua.
"Tuh kan Bu! Ibu istirahat lagi aja, ya?" Mira berhasil menghindar dariku, dan segera menghampiri Tante Linda. Juluran lidahnya ketika menjauhiku, menumbuhkan hasrat untuk membalas semua ejekannya.
Awas aja nanti kalau udah keluar ruangan. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk segera menerkamnya.
Meninggalkan Mira dan Tante Linda yang sepertinya masih membicaran hal-hal yang hanya bisa dibahas oleh para perempuan, aku terpaksa keluar ruangan lebih dulu. Bukan hanya sekedar menghindari pembicaraan yang tidak aku mengerti, namun dering ponsel dari dalam jasku membuatku harus segera memeriksanya.
"Iya, Ma," jawabku setelah menggeser tanda hijau pada layar ponsel.
"Kamu di mana sih, Barra! Mama udah di sini dari tadi. Evan juga sudah sadar dari tadi."
Padahal baru saja telepon melekat sempurna di telingaku, namun dengerin omelan panjang mama yang gak ada hentinya, terpaksa membuatku harus menjauhkannya dari telinga. Gila! Bisa-bisa tuli aku kalau kayak gini terus.
Kuusap kuat-kuat telingaku sebelum menempelkannya kembali pada indra pendengaranku. "Evan udah gede, Ma. Ya syukur kalau udah sadar."
Aku tentu tidak sepenuhnya merasa bersalah atas kejadian ini. Evanlah yang sebenarnya menimbulkan hasratku untuk menghajarnya.
Namun helaan nafas panjang yang terdengar dari mama, membuatku was-was untuk mendengar celotehnya kali ini. "Pak Rangga terpaksa memutus kontrak kerjasama dengan Papa kamu. Ini gara-gara kamu terus-terusan bikin masalah, Barra."
Ya... siapa yang suruh? Papa juga ngapain sih harus ada kerjasama dengan papanya si Evan. Kayak papa kekurangan dana aja. Atau memang...
"Ma," panggilku perlahan.
"Apa?" Mama menanggapi disertai helaan nafas panjang yang semakin menguatkan pemikiranku.
"Papa ada masalah keuangan?" tebakku.
"Iya... bisa dibilang begitu," jawab mama ragu dan pelan.
Jawaban mama cukup membuat kepala langsung pusing. Kenapa pemikiranku tidak pernah sejauh itu? Kalau diingat-ingat lagi, memang ada yang tidak beres. Ngapain papa harus bela-belain ke Amerika untuk ngurusin anak cabang yang biasanya sudah dipercayakan sama orang suruhan papa.
Sedangkan aku...
Aku juga mengalami penurunan penjualan yang tentu belum bisa memberi bantuan buat perusahaan papa. Ah, semakin dipikirkan, semakin menambah beban dalam kepala.
"Ini Barra otewe ke sana, Ma."
Sebenarnya enggak ada keinginan sama sekali untuk datengin si Evan lagi. Tapi keberadaan mama di sana, membuatku tak ada pilihan untuk melihat keadaan si Evan.
"Ma." Kutepuk perlahan pundak mama dari belakang yang berdiri di depan ruang IGD. Mata mama memang tampak melihat keberadaan Evan di dalam sana, namun pandangannya kosong. Mama bahkan setengah berjingkat setelah mendapat tepukan dariku. Apakah separah itu, kondisi keuangan papa?
"Mama pulang dulu aja. Aku yang akan urus si Evan." Daguku mengedik pada keberadaan Evan di sana yang tampak sangat santai. Ia seperti sedang memainkan game daring dari ponselnya. Terkadang aku iri dengannya yang terlihat seperti tak punya beban dalam hidupnya.
"Kamu udah urus semua administrasinya?" Pertanyaan mama langsung aku jawab dengan anggukan. Namun tatapan mama yang terus tertuju padaku, seolah mengisyaratkan adanya kekhawatiran di sana. "Barra..., kamu beneran suka sama Mira?"
Tunggu, kenapa tiba-tiba arah pembicaraan mama menuju ke arah sana, ya? Apa kekhawatiran di wajah mama bersangkutan dengan Mira?
"Mama, kenapa...?" Aku menggantung ucapanku, dan lagi-lagi mendengar helaan nafas panjang darinya.
Kali mama menekan pelipisnya dan beralih mencari tempat duduk terdekat.
Aku mengikuti mama. Duduk di sampingnya dan terus mengamati raut kekhawatiran yang masih terpancar. Katanya, "Mama sudah dengar semuanya dari Evan."
Astaga! Rasanya aku ingin sekali kembali mengahajar si kunyuk. Apa aja coba yang udah diceritain sama si Evan? Kalau masalah video sampai terdengar oleh mama, aku jelas enggak akan biarin Evan hidup tenang.
"Dia cerita apa aja, Ma?" Aku menunggu jawaban dari Mama. Detak jantungku terasa saling berkejaran karena mama tak segera bicara.
Mama kembali menghela nafas sebelum mengatakan, "Kamu gak terima kalau Mira dekat dengan Evan. Kamu menghajar Evan, karena kamu cemburu. Apa itu semua benar?"
Jujur sedikit ada kelegaan di sana, karena ternyata si Evan masih mampu menutupi aib Mira. Tapi aku juga enggak bisa sepenuhnya percaya sama Evan, karena dia pasti meminta imbalan dariku setelah ini.
Tapi, sepertinya ini kesempatan emas untukku buat bilang ke mama agar rencana pernikahanku dengan Aleta dibatalkan.
Kutarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Barra emang suka sama Mira, Ma. Barra-"
"Barra! cukup Barra!" Mama ternyata lebih dulu memotong ucapanku. Dia tampak mengusap kasar pucuk kepalanya, dan kembali menatapku dengan raut penuh permohonan. "Tolong jangan bikin ulah lagi. Segera nikahi Aleta, dan masalah akan selesai."
Ulah? Aku tertawa miris mendengarnya. Jadi selama ini aku dianggap bikin ulah? Dan juga, bagaimana bisa mama mengatakan jika permasalahan akan selesai jika aku menikahi Leta?
Boleh aku berprasangka buruk? Oke. Langsung saja aku tanyakan kepada mama. "Jadi tujuan Mama sama Papa menikahkan aku dengan Leta, gara-gara perusahaan Papa yang collapse?"