"Kepuasan. Gue masih suka sama rasanya."
Brengsek! Orang gila satu ini emang gak pernah pake mikir kalau lagi ngomong.
Brukk!!
Tanpa aba-aba, kulayangkan tinjuan pada perut rata yang menjadi kebanggaannya itu, hingga punggungnya menyentuh dasar lantai. Mendengar perkataan gilanya, bukan hanya memanaskan alirah darah dalam tubuhku. Namun rasanya sudah mendidih sampai ke ubun-ubun.
"Bilang apa lo barusan? Hah!" Bukan hanya sekali, aku memberi pukulan berkali-kali pada bagian yang sama sampai si kunyuk ini memuntahkan semua isi perutnya.
Kutarik kerah kemejanya hingga ia terduduk menghadapku. Evan memang pasrah dalam kuasaku, namun ternyata ia masih bisa menertawakanku meski tubuhnya sudah lemas. "Emang itu perjanjian gue sama Mira. Tubuhnya enggak nolak sama sekali saat dia sama gue."
Peganganku pada kerahnya terlepas. Kali ini aku yang terlihat lemah. Satu kalimat dari mulut Evan, mampu membuat diriku kehilangan daya dan langsung menjauhi keberadaannya.
Kenyataan mendengar langsung perjanjian yang mereka buat terasa sangat menyakitkan. Kalau dipikir kembali, aku jadi paham alasan Mira yang akhir-akhir ini sering mengenakan setelan yang terlihat mahal, meski haknya menerima gaji dariku belum juga turun.
Kubenahi posisi tubuhku hingga berdiri dan meraup oksigen sebanyak mungkin, sembari memperhatikan Mira yang telah berjongkok dan menutup telinganya rapat-rapat.
Tidak. Aku belum mau menyentuhnya, ataupun menenangkannya jika pernyataan dari mulut Evan terdengar benar. Namun aku harus memastikannya sendiri. "Apa yang lo tawarin ke Mira?"
Tanpa merasa bersalah, ia meludah ke sisi kiri dan kembali menatapku dengan tawa memuakkannya. Gerakan alis kanan Evan yang bergerak naik bisa diartikan sebagai tantangan.
"Uang." Dia bangkit perlahan dengan menekan perut yang menjadi sasaran amukanku sebelumnya. Namun bukannya merasa takut atau terancam, dia kembali memberi pernyataan yang membuat emosi dalam diriku kembali mencuat. "Dia sangat lihai dalam urusan ranjang."
"b******k!" Ucapannya jelas mengundang kembali kepalan tangan kananku untuk kembali melayangkan tinjuan. Namun nyatanya, aku hanya mendorong tubuhnya hingga punggungnya menabrak dinding di belakangnya. "Gue udah bilang jangan usik Mira!"
Penekanan kata dari bibirku, langsung mengubah cengirannya menjadi mata melotot yang menyiratkan ketakutan. Namun ternyata dia belum juga kapok. Dia kembali tergelak dan menatapku tanpa merasa terancam. "Emang gue bilang mau?"
"b******k!" Kepalanku kembali menyapa rahang kirinya hingga ia berpaling ke kanan.
Tak tinggal diam, dia membusungkan d**a dan menyorotkan ketajaman ketika balik melayangkan tinjuan yang sama pada pipiku.
"Lo takut, gue bakal ambil Mira dari lo?" Tonjokan Evan memang terasa menyakitkan, namun kekhawatiran akan kehilangan Mira, jauh lebih menakutkan.
"Tenang. Gue cuma main-main dikit sama dia." Dagunya bergedik pada keberadaan Mira yang masih belum berubah posisi.
Sial! Sudah cukup rasanya aku menahan emosi dari tadi. Kali ini aku akan meluapkan semuanya kepada orang gila di depanku ini.
"Gila lo! b******k!" Entah berapa kali aku mengumpat hari ini. Bukan hanya umpatan, kepalan tanganku kembali bersarang pada perutnya. Bukan hanya sekali, namun berkali-kali hingga Evan tak berdaya di bawahku.
"Pak Barra! Stop Pak!" Permintaan yang tedengar di telinga, sama sekali tak mengurungkan niat untuk terus menghajar si kunyuk. Aku belum cukup puas menumpahkan segala gejolak dalam diriku.
"Pak Barra hentikan, Pak! Aku mohon!" Kali ini Mira berusaha menarik pergelangan tanganku, namun terpental. Tenagaku jelas masih membara ketika dia mendekat. Aku memang tak sengaja mendorongnya. Namun bayangan atas tubuhnya yang berkhianat, mengambil alih pikiranku untuk enggan medekatinya.
"Aku enggak punya pilihan lain, Barra! Aku benar-benar hancur!" Pernyataan terakhir Mira, memaksaku melihat ke arahnya yang ternyata sudah berjongkok dan memukul-mukul kepalanya. "Aku hancur!"
Dia terus mengucap kalimat yang sama seiring pukulan pada kepalanya yang lebih menguat. Isak tangisnya bahkan memenuhi ruanganku, dan juga... otakku.
Jelas aku enggak sanggup.
"Mir...." Kutangkap tangannya agar berhenti menyiksa diri, dan mendekapnya erat-erat sampai perlawanannya mulai merendah.
"Maafkan aku." Nyatanya, kata itu justru keluar dari mulutku, meski hati terasa tercabik-cabik setelah mendengar kenyataan tubuh Mira telah dinikmati laki-laki lain.
***
"Bisa-bisanya kamu menghajar anak Pak Rangga!" Mama mengomel panjang lebar dari sambungan telepon, sementara aku memperhatikan Mira yang terus mengangguk mendengarkan penjelasan dari dokter jaga di dalam ruang UGD.
"Ini Mama perjalanan ke sana. Kamu jangan kabur!" Peringatan mama memutus atensiku terhadap Mira dan reflek mengangguk, meski mama tak bisa melihatku.
"Iya Mam." Terpaksa telepon aku tutup secara sepihak, sementara mama masih mengomel panjang lebar tanpa jeda. Jangan lupakan petuahnya mengenai pentingnya menjaga pertemanan, bla bla bla.
Diomelin mama? Udah biasa kali. Tapi siapa sih yang mau nurutin kemauan mama, kalau semua ini justru terjadi karena Evan duluan yang mancing?
Aku beneran enggak masalah kalau kehilangan teman seperti Evan. Aku hanya takut Mira menjauhiku setelah aku terang-terangan menghajar Evan di depannya.
Kulirik keberadaan Mira yang ternyata masih betah di dalam sana, meski dokter sudah meninggalkan ruang itu. Apa dia harus seperhatian itu kepada kunyuk sialan yang hancurin hidupnya? Harusnya kunyuk itu yang dibenci Mira, kan? Bukan aku. Aku jadi bertanya-tanya, apa Mira juga mendapat hasutan dari Evan untuk membenciku?
Kutarik nafas dalam-dalam dan menyenderkan punggung pada dinding di belakangku. Menutup kelopak mata sejenak, mungkin bisa memberi sedikit ketenangan dalam diriku.
"Pak Barra?" Mataku langsung terbuka, ketika mendengar suara feminin yang sangat aku kenali. "Luka Bapak perlu diobati."
Tatapannya memang terus menghindar dariku. Namun tarikan tangannya ketika menyeretku ke apotek terdekat, tak mampu kutolak begitu saja.
"Bapak juga perlu minum ini untuk pereda nyeri." Mira menjejalkan obat pereda nyeri pada telapak tanganku tanpa bisa kutolak.
"Thanks, Mir." Hanya kata itu yang bisa terucap dari bibirku. Bayangan-bayangan atas kebersamaan Evan dan Mira di belakangku, seolah terus meracuni pikiranku untuk tetap irit bicara pada wanita yang kini duduk di sampingku.
Seketika kami seperti orang asing. Tak ada yang mau mengawali bicara. Hanya suara berisik dari brankar dorong yang sesekali melintasi di depan kami, menjadi satu-satunya suara yang tercipta.
Bisa kulihat Mira yang sesekali mencoba menutup hidung karena mungkin teganggu dengan aroma khas Rumah Sakit yang mendominasi. Tapi, keberadaannya yang tetap berada di sebelahku, seolah memberi isyarat jika ia hendak mengatakan sesuatu.
"Pak Barra...." Dia terdengar ragu. Dia menunduk cukup lama, dan menatapku dengan bola mata yang telah basah. "Pak-"
"Stt...." Kutekan permukaan bibirnya dengan telunjukku hingga ia terdiam menatapku. "Aku enggak butuh penjelasan, Mir. Seenggaknya, jangan sekarang."
Aku belum siap. Aku sangat takut mendengar pernyataan langsung dari Mira akan menambah sesak di dalam d**a, dan aliran darah dalam tubuh yang kembali mendidih. Aku ingin membiarkan hari ini berlalu begitu saja.
Mira mengangguk. Punggung tangannya tampak menyeka sudut mata yang hampir meneteskan air mata.
Kini bola mata itu membulat sempurna. Pandangannya sudah tak tertuju padaku, dan beralih pada brankar dorong yang membawa seorang pasien wanita paruh baya dengan alat bantu oksigen yang telah dipasangkan pada pernafasannya.
Satu kata dari bibirnya, yang merebut atensiku sepenuhnya. "Ibu!"