Wanita Masa Lalu
Selamat membaca!
"Selamat pagi, Pak. Perkenalkan, saya, Amira Devana."
Seorang wanita berdiri di hadapanku. Dia memperkenalkan dirinya setelah sekertarisku yang bernama Bella mempersilakannya masuk untuk menemuiku. Wanita yang tentu saja tidak akan pernah bisa aku lupakan. Wanita yang meninggalkan jejak penyesalan di masa laluku. Namun, aku belum menemukan kecanggungan dari caranya memperkenalkan diri, meskipun aku telah menyakitinya saat dulu. Apa dia lupa padaku?
"Kita pernah satu sekolah, Mira. Apa kamu masih nyaman bicara formal seperti itu?"
Kuabaikan raut terkejut Bella yang berdiri di samping Mira, melihatku dan Mira secara bergantian. Aku hanya fokus pada Mira yang mendongak ke atas sesaat, seperti berusaha mengingat sesuatu.
"Maaf, Pak. Saya tidak ingat." Susunan kalimatnya masih terdengar formal, meski pandangannya sudah beralih menatapku.
Jelas aku kecewa dengan jawabannya. Kuhembuskan nafas secara perlahan, dan menyandarkan punggung pada bangku kebesaranku.
Mira terlihat memincingkan mata dan memperhatikan papan namaku di atas meja. "Barra Xavier?"
Dia ternyata menyebutkan namaku perlahan dengan intonasi tanya. Benarkah dia tidak ingat sama sekali? Atau aku yang salah orang?
Enggak mungkin. Wajahnya jelas terpatri dalam otakku meski itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Kenangan bersamanya tidak mungkin luntur begitu saja, meski baginya mungkin sangat menyakitkan.
"Beneran enggak inget?" Kuberanikan menatap matanya. Melupakan semua pikiran tentangnya dan menjulurkan tangan sambil menunggingkan senyum. "Panggil aku, Barra."
Pandangan Mira sempat turun pada jari-jari tanganku yang menunggu disambut. Dia berjalan beberapa langkah dan menjabat tanganku sambil tersenyum canggung.
"Semoga saya bisa bekerja dengan baik, Pak."
Jelas dia terlihat menghindari tatapanku. Dia bahkan terlihat terburu-buru melepaskan jabatannya ketika aku hampir saja merasakan kelembutan tangannya.
"Bisakah saya kembali bekerja, Pak?" Mira menunjuk meja kerjanya yang berada tepat di luar ruanganku dengan gerakan gempol terangkat.
Ucapannya berhasil merusak kenanganku tentangnya yang mulai memenuhi pikiranku sejak kehadirannya.
Kuanggukkan kepala, lalu melihat Bella yang tepat berdiri di sebelahnya, "Bel, tolong ajari Mira agar dia bisa paham dengan tugas-tugas yang sering kamu lakukan ya! Dan, kalau nanti Aleta datang, suruh dia langsung masuk aja!"
Setelah Bella keluar dari ruangan, sekilas aku dapat melihat raut wajah Mira dari posisiku. Dia tampak menatapku dengan senyum licik yang terlihat dari dinding kaca yang membatasi keberadaan kami.
***
Tak lama berselang, Aleta datang. Wanita yang kini menjadi tunanganku itu meletakkan kotak makan berwarna coklat tepat di hadapanku. Dia langsung duduk di depanku tanpa dipersilakan.
"Ini bekalmu."
Entah penampilan apa lagi yang membuatnya berbeda kali ini? Aku paham jika dia sering mengganti gaya rambut hanya karena mengikuti trend saat ini. Namun, pewarnaan rambut yang begitu mencolok, membuatnya terlihat berbeda dari kesan natural yang biasa ia tunjukkan.
Sebenarnya tidak masalah. Aku hanya penasaran, apa yang membuat para perempuan sangat memperhatikan penampilannya?
Pikiranku malah beralih pada Mira dengan penampilannya yang terkesan anggun dan enak dilihat, tetapi diam-diam melihatku dengan tatapan sinis.
"Kamu datang bawain ini karena disuruh mama lagi?"
Kutarik kotak itu mendekat padaku dan membuka penutupnya untuk memastikan isinya. Perutku langsung menabuh genderang begitu indra penciumanku menemukan bau saos kacang.
Anggukan Aleta cukup menjelaskan pertanyaanku. Sebenarnya ini adalah salah satu trik mama agar aku dan Leta bisa semakin dekat menjelang hari pernikahan kami. Padahal sih, menurutku cara itu tidak berpengaruh.
"Kenapa mau disuruh?" tanyaku sambil mulai menyantap siomay yang ada dalam tempat makan itu.
Decakan kesalnya ternyata cukup menjelaskan jika dia juga terpaksa. Dia menopang dagunya, dan memalingkan pandangan ke arah luar gedung. "Mau gimana lagi?"
Ya, sama dengan pemikiranku saat ini. Mau gimana lagi? Hubungan kita hanya sebatas perjodohan yang tidak bisa terelakkan. Aku mengenal Aleta dari kecil dan aku menganggapnya seperti adikku sendiri. Aku juga tidak pernah membayangkan jika kita terjebak dengan perjanjian para orang tua yang ternyata menumbalkan anak-anak mereka. Rumit memang.
"Lain kali minta tolong sama supir kamu aja!" saranku di tengah kunyahan yang terdengar.
Dia malah menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuh pada kursi. "Papi rese banget deh, Bar."
Dia mengeluhkan tentang banyaknya aturan yang dibuat orang tuanya tentang kehidupannya. Tidak boleh keluar malam, tidak boleh minum dan entah apa lagi yang ia keluhkan. Aku tidak terlalu mendengarkan. Aku masih fokus untuk mengisi perutku. Tapi, kasihan juga kalau aku tidak menanggapinya, kan?
"Memangnya kamu mau pergi ke mana?" Aku berusaha simpatik dan menanyakan hal yang menjadi topik pembicaraannya dari tadi.
"Temen aku ngadain party. Masak Papi nyuruh aku pulang jam sepuluh?" keluh Aleta dengan mengkrucutkan bibir sambil menunjukkan deretan pesan wejangan dari papinya.
Aku jadi terkikik, memikirkan pemikiran para orang tua yang mungkin belum bisa membuka lebar pemikirannya. Mungkin mereka lupa jika semakin mengekang anak, maka semakin pandai mereka mencari celah untuk melepaskan diri.
Kuambil botol mineral di hadapanku setelah menuntaskan suapanku. "Terus mau kamu apa?" Jujur aku mulai mencium aroma kelicikan darinya semenjak ia memberikan kotak makan ini. Jelas ini semua bukan gayanya.
Dia merapatkan diri padaku dengan memajukan bangkunya dan berbisik, "Bilangin Papi kalau aku perginya sama kamu."
Benar saja dugaanku. Aleta pasti ada maunya.
"Lah, kan sama aja? Memangnya kalau pergi sama aku, kamu dibolehin pulang larut?" tanyaku memastikan pemikirannya.
"Boleh dong, Bar. Kita kan udah tunangan."
"Leta, kamu yakin mau pergi sama aku?" Kuperjelas kembali permintaannya. Aku tidak ingin dia menyesal karena sudah mengajakku.
"Dih, siapa yang ngajak kamu? Tolong bilangin Papi aja kalau aku pergi sama kamu."
"Sialan, emang. Kirain bakal ngajak ke party temennya. Padahal, lumayan kan sekalian cuci mata. Teman-teman wanitanya pasti cakep-cakep." Di dalam hati aku hanya bergumam kesal. Namun, tiba-tiba kenangan bersama Mira di sebuah party saat dulu mulai menari-nari dalam ingatanku. Gara-gara party itulah, Mira jadi terus menghindar dariku.
Pikiranku jelas masih merekam tentang malam itu. Malam di mana aku merenggut kesucian Mira karena kami berdua terlalu mabuk.
Pandanganku seketika beralih. Melihat keberadaan Mira dari dinding kaca ruanganku yang sepertinya sangat sibuk dengan pekerjaan barunya. Ya, Mira baru akan bekerja untuk menggantikan posisi Bella sebagai sekretarisku. Semakin lama aku melihatnya, entah kenapa bibirku jadi reflek tersenyum. Sungguh dia benar-benar membuatku terpesona.
"Ngelamunin apa, coba? Woi!" Lambaian tangan Leta, benar-benar membuyarkan imajinasi liarku tentang Mira.
"Apaan sih, Let. Ganggu aja." Kualihkan pandangan pada layar laptop yang masih menyala sedari tadi dan memperhatikan apa pun tampilan di sana untuk menutupi salah tingkahku.
"Wah, kamu ada main sama sekertaris baru kamu ya?" Aleta ternyata menyadari arah tatapanku dan langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan.
Tak punya pilihan, aku pun menceritakan tentang Mira padanya hingga kelakarnya pun langsung memenuhi ruangan setelah mendengar ceritaku.
"Apanya yang lucu coba? Harusnya kamu tuh simpati sedikit kek sebagai sesama wanita?"
"Lagian kamu tuh aneh? Ngapain juga kamu ladenin temen-temen kamu?" Ia mengusap cairan bening yang keluar pada sudut matanya karena terlalu banyak tertawa. "Jelas aja dia marah sama kamu."
Tiba-tiba pikiranku langsung menuju ke hal-hal yang negatif. Apa Mira sengaja bekerja di sini untuk balas dendam kepadaku?
"Ya udah, Bar, cepetan bilang ke Papi ya!"
Rengekan Aleta baru menyadarkanku pada kenyataan di depan mata. Mirip seperti anak kecil yang minta dibelikan sesuatu.
"Enggak gratis ya," ucapku sambil mengelus-elus laptopku yang sebenarnya enggak berdebu sama sekali.
Sejenak, Leta melihat pergerakan tanganku. Mungkin ia kurang paham dengan kode yang baru aku berikan.
"Kamu minta laptop baru?" Pikirannya tertuju pada benda yang berada di depanku.
"Bukan itu. Saat ini, penjualanku menurun. Kamu bisa kan gantiin kerugiannya?" Kuputar laptopku ke hadapannya dan menunjukkan grafik penurunan yang tertera di sana.
Dia mendongak ke atas seolah memikirkan sesuatu. Lalu, menghitung dengan jemarinya, meskipun tanpa suara.
"Uangku enggak cukup Bar," ucapnya.
Aku beranjak dari kursiku dan mengamati pemandangan di luar dari dinding kaca. Aku tersenyum licik saat mengatakan, "Ya udah, kalau enggak ada uang, enggak ada bantuan."
"Barra ngeselin!" teriaknya sambil menghentakkan kaki kuat-kuat, lalu keluar dari ruanganku sambil membanting pintu ruangan.
Setelah kepergian Aleta, lagi-lagi Mira melihat ke arahku dengan sorot matanya yang sinis. Entah apa yang ada dipikirannya. Mungkin, aku harus meminta maaf padanya atas apa yang telah aku lakukan dulu padanya. Dia pasti sangat membenciku saat ini.