Curiga

1010 Words
POV Mira Disinilah, bagianku dimulai. Ketika Barra menjauhi keberadaanku dengan selembar kertas yang berada di tangannya, aku mulai membenarkan posisi duduk di bangku mobilnya, karena sisa-sisa tenaga yang mulai bisa terkumpul. Sekejap, aku mengingat kembali kehadiran ibuku yang terasa sangat nyata dalam mimpiku beberasa saat lalu. Kata Barra aku pingsan. Tapi sejujurnya, aku malah ingin kembali ke dalam alam bawah sadar, dan berharap bisa bertemu dengan ibu. Sungguh aku merindukan kehadirannya, disaat hari-hariku terasa hampa seperti sekarang. Tidak ada lagi orang yang bisa aku percaya di sekitarku, semenjak kepergian ibu. Termasuk Barra, pria yang baru saja menghalalkanku sebagai istrinya. Aku cukup berterima kasih, Barra telah memenuhi janjinya pada ibu untuk menikahiku, meski rasa sakit dalam d**a belum juga sirna. Seingatku Barra akan menikahi wanita pilihan orangtuanya, yang sudah ditentukan tanggalnya. Kepalaku mendadak pusing, memikirkan hal-hal yang mungkin akan aku lewati sangat berbahaya, karena status pernikahanku yang bisa dibilang rahasia. Anggaplah aku tidak peduli. Selama Barra tidak mencari gara-gara denganku, aku bisa memberinya ruang yang diinginkannya, meskipun itu semakin menambah lubang dalam hatiku. "Pulang, sekarang?" Barra ternyata sudah kembali dengan kantong kresek yang berisi obat dalam genggammannya. Dia meraih jemariku yang masih menekan pelipis akibat sisa nyeri yang melanda, dan menggantikan dengan jemarinya yang memijat pada bagian yang sama. Terkadang aku merasa terbuai dengan semua perlakuan lembutnya terhadapku. Namun sisa-sisa perih dalam dadaku, seolah mampu membangun benteng pertahanan di antara kami. "Aku ingat sama Ibu, Bar." Sebelum ia mencurigai gelagatku, aku mencari alasan lain agar Barra tidak merasa aku butuhkan. Namun ingatanku terhadap ibu, malah semakin menjadi, hingga aku tak bisa lagi membendung air mataku. "Mira...." Panggilan Barra tentu tidak aku hiraukan. Aku berusaha mendorong dan menolak sentuhannya karena aku takut terlena dengan setiap kelembutan yang ditawarkannya. "Mir!" Dia akhirnya menangkap kedua tanganku, dan mendekap tubuhku erat-erat hingga aku kehilangan ruang gerak. Pasrah dalam dekapannya. "Sudah. Ada aku di sini." Bolehkan aku terlena? Setiap perlakuan manisnya, selalu memberi kenyamanan kepadaku. Tetapi kenangan menyakitkan delapan tahun lalu, selalu menghantuiku kembali semenjak pertemuanku dengannya. Belum lagi ancaman-ancaman dari Evan yang membuatku terpaksa menuruti semua kemauannya. Aku memang menuruti kemauannya untuk menjadikanku sebagai teman tidur, dengan alasan dia akan menyebarkan videoku jika tidak menurutinya. Dia juga menjanjikan sejumlah uang, yang saat itu aku benar-benar membutuhkannya untuk biaya pengobatan ibu. Sebenarnya bukan hanya masalah uang. Setidaknya, aku bisa menyiksa Evan di setiap permainan ranjang yang ditawarkannya. Terkadang aku menertawakan hidupku yang sangat menyedihkan ini. Setiap hari yang aku lewati, terasa sangat memuakkan. Menghibur diri dengan melakukan hal yang aku gemari, belum cukup membuatku bahagia. Kalau tidak mengingat pesan ibu yang dikatakan sebelum kepergiannya, mungkin aku tidak akan sejauh ini untuk mewujudkan impian terakhirnya. "Ibu ingin kamu hidup bahagia, Mir. Nak Barra pasti akan membuatmu bahagia." Kata-kata itu selalu muncul dalam benak, setiap kali aku berusaha memejamkan mata. Aku memilih menjadi pendamping Barra, bukan hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibu. Lebih dari itu, aku masih punya keinginan untuk membalaskan dendamku terhadap Barra dan Evan. Dua laki-laki brengs*k yang telah mempermainkanku sebagai pemuas ranjangnya. "Mau beli makan dulu?" Pertanyaan itu berasal dari Barra di sela-sela fokusnya mengendalikan kemudi. Mobilnya memang berhenti tepat di persimpangan jalan karena rambu lalu lintas menunjukkan lampu merah. "Aku enggak laper, Bar," jawabku ketika aku memperhatikan keluar jendela yang menampakkan seorang gadis kecil begitu ceria dalam gendongan ibunya. Seketika ingatanku tertuju pada ibu yang selalu siaga apabila aku dimahari bapak dahulu. "Kata Dokter, kamu kurang makan. Kalau kamu terus-terusan seperti ini, kamu bisa sakit, Mir." Jangankan memikirkan perut kosong yang tak sempat terisi, memikirkan banyaknya hal bahaya yang akan aku lewati saja, seolah sudah membuat perutku terasa penuh. Mendengarkan setiap ucapan Barra yang seolah-olah memberi perhatian untukku, semakin menambah sesak dalam perutku hingga membuatku ingin muntah. "Mir, kita mampir ke apotek depan sana, ya?" Serius? Dalam keadaan macet seperti ini? Bukankah dia sudah menebus semua resep obat yang telah dokter berikan tadi? "Ada yang perlu dibeli lagi?" tanyaku setelah melihat penunjuk waktu pada pergelangan tanganku. Matahari juga mulai menghilang dari pandangan. Aku lelah. Aku segera ingin membaringkan tubuh pada empuknya kasur ketika sudah berada di rumah. "Ada yang kurang tadi." Jawaban Barra semakin membuatku menyender pada senderan jok mobilnya, dan menopang dagu dengan malas. Mungkin akan jauh lebih macet jika Barra tetap memutuskan untuk berhenti di apotek. Sejenak, pikiranku teralihkan dengan korban kecelakaan yang tak sengaja tertangkap pandangan. Seorang wanita paruh baya yang terlihat kesakitan dengan tangan yang dipenuhi darah. Untunglah, tidak ada nyawa yang terenggut, karena terlihat semua korban masih bisa saling beradu mulut di tengah-tengah kecametan yang berhasil kami lalui. "Tunggu bentar, ya?" Ternyata Barra tetap menghentikan kendaraannya pada apotek terdekat yang berada tak jauh dari lokasi kemacetan. Ia tampak segera berlari masuk ke apotek, mungkin karena area parkir yang tidak luas. Apa sebenarnya yang dicari? Seingatku, Barra lebih suka dengan tempat yang lebih privat dan mementingkan kenyamanan. Jangankan kenyamanan, apotek yang menjadi tempat pemberhentiannya kali ini, terlihat sesak karena banyaknya pasien yang mengantre. Sepertinya apotek ini bekerja sama dengan salah satu dokter spesialis yang buka praktek di sini. "Lama banget?" Mungkin rautku sudah merengut, karena menunggu Barra yang tak juga kunjung keluar dari apotek. Bermain dengan sisa-sisa embun yang memenuhi kaca jendela mobil Barra, tetap tak bisa mengurangi rasa bosan yang melanda. Kuambil kantong kresek obat yang ditinggalkan Barra pada dashboard mobilnya, dan membaca setiap salinan resep yang tertera di sana. Ini lengkap. Lalu apa lagi yang dicarinya? "Maaf, nunggu lama ya, Mir?" Kedatangan Barra sempat membuatku terkejut. Aku segera memasukkan kembali obat beserta salinan resep dan meletakkan asal di samping dudukku. "Kamu baca, apa?" Gelagat yang ditunjukkan terasa mencurigakan. Apa yang sebenarnya dipikirkan Barra? "Cuma pengen tahu obat apa yang perlu aku konsumsi. Kamu belum jelasin ke aku, soal sakitku tadi." Kucoba mencari tahu kejujurannya dari raut yang ditampilkannya. Namun dia lebih dulu mengalihkan perhatian dengan memanggil pria berompi jingga untuk mengarahkan kendaraannya ke jalan raja dengan aman. "Kamu cuma kecapean, Mir." Dia masih fokus pada jalanan dan seolah menghindari tatapanku setiap mata kami bertemu pada pantulan spion. Boleh aku curiga? Setiap gelagat yang ditampilkannya, seolah menunjukkan kebohongan yang berusaha ditutupi. Apa jangan-jangan... "Barra? Sebenarnya, apa yang kamu rencanain?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD