Kemungkinan Terburuk

1020 Words
"Bu Mira sudah makan, Pak?" tanya dokter ketika menekan-nekan stetoskop pada d**a Mira. Dia tampak menurunkan sedikit kaca matanya, dan memincingkan mata kepadaku yang masih berdiri di samping ranjang Mira. "Sudah, Dok" jawabku cepat. Seingatku Mira sudah mengisi perutnya tadi pagi, tapi untuk siang... kayaknya belum. Aku baru menyadarinya jika dia belum mengisi makan apa-apa lagi, setelah akad selesai. "Siang belum, Dok." Aku segera meralat. Dokter mengangguk dan segera beralih dari ranjang Mira, dan duduk pada kursinya. Dia tampak menuliskan sederet resep yang harus kutebus. "Sepertinya Bu Mira kurang makan, dan terlalu stress." Kupegangi jemari Mira yang masih terbaring di ranjang pasien. Dia masih tampak lemas dan pucat. "Ini obat yang perlu Bapak tebus." Dokter itu menyodorkan kertas kecil pada meja, dan langsung kuhampiri untuk melihatnya. Sejenak aku melihat sederet tulisan yang tidak aku mengerti sama sekali. Memang sudah menjadi hal umum, jika kita para pasien kesulitan membaca tulisan dokter ketika beliau menuliskan resep. "Pak?" "Iya, Dok." Aku segera menoleh ke arahnya dan menantikan ucapan apa yang akan keluar dari mulutnya. "Jika dalam waktu satu sampai dua minggu, Bu Mira masih seperti ini, Bapak bisa membawanya ke obgyn." Obgyn? Setahuku, itu adalah sebutan untuk dokter spesialis yang hanya menangani masalah kesehatan reproduksi wanita. Salah satunya adalah masalah kehamilan dan menstrusasi. Apa jangan-jangan.... "Maksudnya, Dok?" "Bisa jadi Bu Mira sedang hamil. Tapi, saya belum sepenuhnya yakin. Bisa juga masalah bulanan yang tidak teratur. Jaman sekarang, masalah kesehatan perempuan itu semakin berkembang dan luas." Aku reflek menutup mulut. Mencegah umpatan yang hendak keluar, karena mendengar pernyataan kemungkinan kehamilan Mira. Aku memang baru saja melakukan penyatuan dengan Mira. Namun tidak mungkin langsung instan kan jadinya? Mataku reflek melotot. Segera kubungkam mulutku, sebelum aku mengeluarkan kata-kata umpatan. "Baik, Dok. Terima kasih atas sarannya." Segera kubopong tubuh Mira dan membawanya masuk ke dalam mobil. Kuletakkan tubuh Mira pada bangku penumpang, dan mengusap puncak kepalanya sekali. "Tunggu di sini, ya. Aku harus antri ambil obat dulu." Pikiranku mulai berkelana ke sembarang arah. Memikirkan kemungkinan terjauh jika memang benar Mira sedang hamil. Terutama setelah mengingat kembali kata-kata Evan minggu lalu, sebelum aku membuatnya babak belur dan masuk IGD. Kalau memang benar, apakah itu benih dari si kunyuk sialan Evan? Tidak. Aku menggeleng, menepis semua pemikiran buruk yang berkeliaran dalam otak dan segera mempercepat langkah menju depo antrian obat. Kepalaku penuh. Sangat penuh. Kuacak sisi rambut pun, tetap tidak mengurangi beban dalam pikiranku. "Pasien atas nama Amira Devana?" Panggilan yang terdengar dari pengeras suara di atap ruangan, membuatku melangkah maju menghadapi petugas depo obat yang terlindungi pembatas kaca. Dia menyodorkan nota yang berisi jumlah p********n yang aku bayar, melalui lubang kaca yang sudah didesign sedemikian rupa. "Terima kasih. Ambil saja kembaliannya." Tanpa menunggu persetujuan dari petugas, aku segera beranjak setelah sederet obat sudah berada dalam genggaman. Berjalan menuju parkiran mobil, otakku kembali teracuni dengan bayangan-bayangan kebersamaan Evan dan Mira. "Emang br*ngs*k si Evan!" gumamku ketika mengingat kembali ucapan Evan yang masih membekas dalam hati sampai sekarang. "Dia sangat lihai dalam urusan ranjang." Perkataan itu semakin terngiang dalam ingatan, meski aku berusaha memajamkan mata untuk menghapus semua ingatanku. Kurogoh ponsel dalam saku celana, dan menampilkan pesan masuk yang baru saja Evan kirim untukku. Isinya tentang bukti pengiriman sejumlah uang yang telah menjadi kesepakatan kita waktu itu. Lalu sederet pesan yang menyatakan jika ia sudah menepati janji, untuk tidak menyimpan lagi video panasku bersama Mira. Percayakah aku? Sepertinya belum. Aku bisa mengerahkan sejumlah orang kepercayaan yang bisa aku andalkan untuk menyadap ponsel si Evan. Tapi, saat ini pikiranku masih tertuju pada kemungkinan calon bayi yang ada di perut Mira. Kupercepat langkah menuju parkiran mobil, dan menemukan Mira sudah dalam keadaan baik, duduk bersender pada jok mobilku. "Pulang, sekarang?" tanyaku sambil meraih jemarinya yang tampak memijat sudut pelipisnya. Kugantikan dengan tanganku yang menekan-nekan bagian yang sama. "Aku ingat sama Ibu, Bar." Matanya kembali berkaca ketika melihat ke arahku. Isakannya tiba-tiba menguar tanpa ada kesempatan untukku menenangkannya. Apakah semua perempuan sangat mudah untuk menangis? Bahagia ataupun sedih, bagiku sulit membedakan air mata apa yang keluar. "Mira...." Dia menggeleng. Bahkan mencoba menjauhkanku dari tubuhnya. "Mir!" Segera kurengkuh tubunya, dan mendekap erat-erat tanpa biarkan dia menolak kembali. Meski ingatan dalam kepala masih berkecamuk, kukatakan, "Sudah. Ada aku di sini." Setelah memastikan Mira bisa mengontrol emosi yang menguasai diri. Kuputuskan melajukan kendaraan tanpa memindahkan Mira yang masih duduk di bangku penumpang belakangku. "Mau beli makan dulu?" tanyaku setelah melihat arloji pada pergelangan tangan, saat mobilku berhenti karena lampu merah. Waktu ternyata sudah menunjukkan pukul lima sore hari, dan seharusnya Mira mengisi perutnya karena dia telah melewatkan makan siangnya. "Aku enggak laper, Barra." Suara Mira cenderung pelan, tapi masih bisa kudengar dengan jelas. Dia ternyata melihat keluar jendela dengan pandangan kosong, ketika aku meliriknya dari pantulan spion mobilku. "Kata Dokter, kamu kurang makan. Kalau kamu terus-terusan seperti ini, kamu bisa sakit, Mir." Kulajukan kembali kendaraanku ketika lampu berubah menjadi hijau. Jalanan yang kami lalui, ternyata jauh lebih macet daripada biasanya. Mobilku sampai tidak bisa berjalan maju, meski sudah kutekan bel berkali-kali. Mungkin karena ini adalah jam pulang kerja, mungkin juga karena adanya kecelakaan di jalan depan. "Tumben banget macetnya parah," gumamku yang kembali melirik arloji pada pergelangan tanganku. Aku menekan-nekan pengemudi, dan terpikirkan dengan satu hal. "Mir, kita mampir ke apotek depan sana, ya." "Ada yang perlu dibeli lagi?" tanya Mira menanggapi. Sepertinya dia segera ingin beristirahat karena perjalanan kita lebih lama dari dugaannya. "Ada yang kurang tadi," jawabku singkat. Setelah mobilku berhasil merambat maju, penampakan di depan mata dengan mobil ambulans dan para polisi ternyata berada di lokasi. Benar saja dugaanku. Terjadi kecelakaan minibus dengan motor. Aku bergidik ngeri jika melihat darah yang bercucuran dari korban yang sempat tertangkap mata. Kuhembuskan nafas, dan kembali melajukan kendaraan menuju apotek tujuan sebelum aku membawa Mira pulang. "Tunggu bentar, ya," ucapku pada Mira setelah berhasil membelokkan mobil pada pelataran parkir apotek yang tidak seberapa luas. Aku harus segera berlari masuk ke dalam apotek, karena mobilku cukup menyita tempat parkir jika berlama-lama di sana. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Petugas loket segera menyambut, dan bertanya keperluanku datang ke sini. Dengan ragu, kuucapkan nama benda yang aku inginkan setelah susah payah menelan air ludah. "Beli alat test kehamilan, Mbak."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD