Hamil?

1043 Words
"Barra? Sebenarnya, apa yang kamu rencanain?" Aku seolah kehabisan jawaban, ketika Mira memergoki raut kekhawatiranku. Sorot matanya tampak menelisik setiap pergerakan yang aku lakukan. "Rencana apa? Kamu jangan pikirin hal aneh-aneh dong?" Sebisa mungkin kunormalkan raut ketika menanggapi pertanyaan Mira. Dia tampak bersedekap dan kembali menyenderkan punggung ke sandaran jok mobil dengan kasar. Raut kesalnya begitu menggemaskan. Sejenak, aku merasa dapat lupakan kemungkinan terburuk atas kehamilan Mira, karena terhibur dengan tingkah kesalnya. Aku segera menggeleng. Berusaha mengembalikan kewasaran pada pemikiranku, sebelum imajinasi liar tentang Mira mulai menguasai otak. Bisa-bisanya aku malah teringat dengan pergerakan sensualnya tadi ketika melakukan penyatuan? Oh, otak... please waras lah! Seharusnya aku memikirkan tentang rasa sakit yang Mira torehkan, jika memang Mira benar-benar hamil, kan? Aku memang tidak tahu arti definisi cinta yang sesungguhnya. Menikahi Mira, adalah pilihan yang kuambil, karena aku merasa punya tanggung jawab terhadap hidup yang sudah aku hancurkan. Aku juga tidak yakin, Mira mau menerimaku karena cinta, atau hanya karena masalah harga diri. Oke, lupakan. Lupakan sejenak semua tentang pemikiran negatif dalam otakku, dan lebih baik mengisi kecanggungan yang tercipta. "Mir, kita mampir ke rumah kamu dulu, ya?" "Mau ngapain?" tanyanya dengan malas. "Kamu lupa, kalau alasan kita ke luar rumah itu, untuk mengambil sebagian bajumu?" Entah raut apa lagi yang kali ini ia tampilkan, aku tak bisa mengamatinya dari pantulan kaca spion. Karena atensiku sepenuhnya teralihkan dengan semakin padatnya kendaraan yang memenuhi jalan raya. "Barra! Tante Kiana telpon!" Dari intonasinya, Mira tampak panik dan berusaha memberikan ponsel miliknya kepadaku. Tangannya terasa menepuk-nepuk bahuku dengan ponsel di tangannya. Padahal sih, ngapapin pake panik? Ponsel, ponsel dia. Paling-paling mama telpon juga nanyain lagi ada di mana. "Angkat dong, Mir," jawabku yang masih fokus pada jalanan. Kali ini enggak ada kesempatan untuk menoleh sama sekali. Efek banyaknya kendaraan yang merapat pada mobilku, kalau aku lengah sekali saja, mungkin jalan yang kuambil, akan langsung diserobot pengendara lain. "Iya, Tante." Mira tampak mengangkat telpon dari mama, dan sepertinya mendengar dengan seksama ucapan mama dari seberang. Terlihat Mira tampak mengangguk-anggukkan kepalanya disertai kata "Iya" berulang yang bisa aku lirik dari pantulan kaca spion. "Mama bilang apa aja, Mir?" Segera kutanya pertanyaan apa saja di sana, setelah mengakhiri sambungan teleponnya dengan mama. "Cuma nanya, kok belum pulang. Kalau masih perjalanan, suruh belikan camilan karena Aleta dan papinya mau ke sana." Aku reflek segera melihat raut apa yang tercipta pada Mira. Karena pengucapan "Aleta" dan "Papinya" seperti ada penekanan kekesalan dalam ucapannya. Dan benar saja. Ternyata dia merengut dan membuang muka ke luar jendela. Ingin sekali menertawakan tingkahnya, namun rasa was-was atas tersakiti jika Mira positif hamil, masih menghantui. Tapi, Aleta sama Om Randy? Ngapain mereka dateng ke rumah, sih? Ada hal penting yang mau dibicarain? Lupakan. Aku bisa memikirkannya nanti. Jalan yang aku lalui ketika memasuki gang tempat tinggal Mira jauh menguras atensi. Banyak lubang yang perlu aku hindari. Belum lagi banyaknya polisi tidur di sepanjang jalan lurus. "Kamu mau tunggu di sini, apa ikut turun?" tanya Mira, ketika mesin kendaraanku baru saja kumatikan tepat di depan rumahnya. "Ikut. Aku laper." Selain aku punya misi yang perlu terpenuhi, perutku juga meminta pajak diawal dan terus-terusan menabuh genderang saat melewati beberapa penjaja makanan ketika memasuki gang tempat tinggal Mira. "Laper?" Mira menertawakan. Apa yang salah coba? Ini sudah hampir mendekati jam makan malam, dan tenagaku sudah terkuras habis semenjak membopongnya ke rumah sakit tadi. Kami turun dari mobil, dengan menjaga jarak satu sama lain. Mira lebih dulu turun, sementara aku mengikutinya di belakang. Bukan apa-apa. Mira bilang, banyak sekali pasang mata di lingkungan ini, yang siap kapan saja mengintai, dan membicarakan setiap kesalahan yang dilakukan tetangganya. Aku jadi bersyukur, karena tidak tinggal dalam lingkungan seperti itu. "Aku bikinin mie instans, mau?" tanya Mira setelah ia membuka pintu rumahnya dan mempersilahkanku duduk di sofa ruang tamunya. Aku mengangguk. Mengiyakan tawarannya, karena cacing dalam perutku mulai bergeliat tak beraturan. Parah, sih. Kali ini perutku gak bisa diajak kompromi. Alih-alih hanya duduk, aku mengikuti Mira ke dapur, sambil mengamati setiap design dari rumahnya yang bisa dibilang kecil. Suasana duka, masih terpancar ketika aku tak sengaja melihat bingkai foto Mira dan Tante Linda yang masih rapi di tempatnya. "Ini kamu, Mir?" tanyaku sambil menunjuk foto yang menampilkan anak kecil menangis dalam gendongan Tante Linda. "Mana?" Kepala Mira tampak keluar dari balik pintu yang membatasi ruang tengah dengan dapur. "Ini?" Kuambil saja foto itu, dan membawanya ke dapur untuk menunjukkannya pada Mira. "Anak kecil ini, kamu?" "Apaan sih, Bar." Mira ternyata protes dan segera merebut foto itu dari tanganku. Kenapa musti malu? Dia terlihat sangat imut dalam foto itu. Mira tampak kembali berkutat pada kompor di depannya, dan memasukkan mie instans ke dalam air mendidih. Aku menyelipkan kedua tanganku dari belakang tubuh Mira, dan saling berpegangan pada perut rata Mira. Daguku menumpu pada pundak kiri Mira, ketika rambut panjangnya kusibak ke kanan. "Barra, kepalamu berat, tau." Dia tidak bisa menolak sentuhanku, karena tangannya masih sibuk mengaduk mie yang terlanjur masuk pada air mendidih. Aku juga tidak peduli dengan keberatannya dan semakin eratkan pegangan. "Mir?" Panggilanku kepadanya hanya ditanggapi dengan gumaman. "Hem?" "Mulai sekarang kamu adalah tanggung jawabku. Jadi, hanya datanglah padaku saja." "Iya." Jawabannya disertai dengan anggukan. Lalu tanganya memutar tuas kompor, tanda kompor telah mati. Tak puas dengan jawaban yang kudapat, kuputar tubuhnya agar melihatku dengan lekat. Aku bisa saja menerkamnya dalam keadaan sepi seperti ini, hanya saja bukan itu tujuanku. "Kalau begitu, kamu bisa pakai ini? Please?" Kuambil bungkusan plastik dari dalam kantong jasku, dan menyodorkannya pada Mira. Bisa kulihat serngitan di dahinya ketika dia mengambil benda itu dari tangannya. "Buat apa?" "Periksa...." Aku sengaja menggantung ucapanku dan menunggu reaksi Mira. "Maksud kamu? Kamu nuduh aku hamil?" Dia langsung tergelak, mengangkat alat test kehamilan tepat di depan wajahku. "Astaga, Barra!" "Tolong, buat aku percaya kali ini, Mir." Kuraih pinggulnya dan merekatkannya padaku. Namun sentuhanku langsung ditolaknya, dan dia pergi menjauhiku dengan menghentakkan kaki sangat kuat. Aku menunggu. Menunggu Mira di depan kamar mandi dengan cemas. Rasa takut akan tersakiti, mulai menguasai pikiran. "Gimana hasilnya?" Pertanyaan langsung keluar dari mulutku, ketika Mira baru saja menutup pintu kamar mandi dari luar. Rengutannya semenjak kuminta ia memeriksa dengan alat test kehamilan ini, masih belum berubah. "Ini." Dia menyerahkan benda kecil menyerupai termometer bergagang biru di tanganku. Aku spontan menutup mulut dengan tangan ketika mengetahui hasil yang keluar. "Kamu..."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD