"Enggak gitu juga, Barra." Mama berusaha meraih tanganku, namun segera kutolak dengan menepisnya.
Mendengar kenyataan perjanjian yang telah Evan dan Mira buat di belakangku saja, sudah menusuk sanubariku. Ditambah dengan terkuaknya alasan aku dan Leta dijodohkan untuk kepentingan bisnis, membuat diriku seperti tidak ada harganya.
"Barra, dengerin Mama dulu!" Mama ternyata belum menyerah. Dia mengguncang bahuku dan memaksaku untuk melihat ke arahnya. "Kamu tahu kan, maminya Leta adalah sahabat Mama? Dia nitipin Leta ke Mama sebelum dia pergi. Dan cuma dengan cara ini Mama bisa penuhin janji Mama ke dia."
Lalu dengan menumbalkan anaknya? Terkadang aku gak habis pikir dengan jalan pikiran mama dan papa. Yang punya janji mereka. Tapi kenapa aku yang harus menanggung semuanya, coba?
"Aku enggak cinta sama Leta, Ma. Dia udah kayak adikku sendiri." Kukemukakan alasanku, dan beranjak berdiri menjauhi mama.
Pikiranku penuh. Sangat penuh. Desakan mama untuk tetap menikahi Leta, benar-benar membuatku tertekan. Aku juga terlanjur melamar Mira di depan Tante Linda. Masak iya, harus batalin? Argh!! Kepala rasanya hampir pecah.
"Barra, Mama sama Papa enggak pernah minta yang aneh-aneh dari kamu, kan? Tolong kali ini aja turutin permintaan kami." Jemari mama terasa mengusap punggungku. Intonasinya yang merendah, serta raut memohonnya membuatku tak bisa menentang permintaannya dan memilih diam tanpa menjawab.
"Entah lah Ma." Hanya kata itu yang terucap, dan aku memilih menjauhi mama dengan duduk kembali pada bangku penunggu pasien. Melihat raut kecewa mama, semakin menambah beban dalam diriku.
"Mama harap kamu ngerti, Barra."
Melihat pergerakan mama, sepertinya mama akan segera pergi. Dia memeriksa ponselnya dan segera menghubungi supir untuk menjemputnya. "Mama tinggal dulu, gak apa-apa kan? Kamu jangan lupa minta maaf sama Evan. Perbaiki hubungan pertemanan kalian, okey?"
Mama ih! Sekalian aja semuanya diatur sana. Kenapa sih para orang tua itu selalu bikin ribet?
Namun nyatanya aku malah menjawab, "Iya... Mama...." Kuputar bola mata ke atas ketika menjawab. Kesel aja, dengernya.
Setelah mama menghilang dari pandanganku, aku beralih ke Evan yang ternyata masih bermain game di ponselnya. Dia hanya mendongak sekali ketika tahu aku masuk ruangan, dan kembali fokus pada ponsel di tangannya.
"Hai bro." Dia melambai sekali tanpa melihatku. Kayaknya dia masih sibuk dengan permainan di ponselnya. Ruangan pun penuh dengan suara-suara semacam "Double kill...."
"Udah sadar? Ya udah sono, cepetan pulang." Aku enggak mau basa-basi lagi, dan gak mau capek-capek ngurusin dia di sini. Mending berduaan sama Mira, daripada lihat muka Evan yang selalu bikin eneg.
"Entar aja," jawabnya enteng. "Perawat di sini bodinya parah-parah, gila." Tawa pun mengiringi ucapannya.
Dikirain lucu apa? Kayaknya otak ni anak kudu di cuci pakai pemutih, deh? Biar bersih.
Aku beralih ke lemari pendingin dan mengambil apapun di sana yang bisa aku minum, daripada nanggepin ucapan Evan yang terus membahas masalah daleman. Biasa... ruangan untuk para pasien VVIP memang beda. Kalau aku sih, ogah dirawat di sini, meskipun fasilitas sangat memanjakan.
"Dimana Mira?" Sudah kuduga dia bakal menanyakan Mira, setelah sadar jika wanita yang dicarinya gak ada dalam ruangan. Dia ternyata sudah meletakkan ponsel pada nakas di dekatnya, dan terlihat memilah-milah makanan yang tersedia di nakas.
"Ada di depan. Gue kurung, biar gak lo kekepin mulu."
"Candaan lo, Bar." Tawanya terdengar meremehkan.
Lah, siapa juga yang ngajak bercanda? Emang bener, kan. Dia itu hawanya pengen nempel terus kalau ada Mira.
Evan memperbaiki posisi duduknya, dan meraih jeruk yang sudah tersedia di nakas. Rautnya terlalu santai ketika membicarakan hal yang sangat privasi. "Lo masih gak terima, gue nyimpen video lo sama dia?"
Kutarik nafas dalam-dalam, dan menandaskan isi cairan dalam botol yang berada pada genggamanku. "Kenapa emangnya? Lo mau nawarin sesuatu?"
Sepertinya aku mulai menyadari arah pembicaraannya jika dilihat dari raut yang tercipta. Anak dari rekan bisnis papa yang dekat denganku ini, selalu menjadikan taruhan sebagai hal menarik untuknya. Bisa dibilang, dia masih menjajaki masa mudanya dengan melakukan hal gila.
"Emang apa mau lo?" tanyanya sambil menikmati setiap suapan dari tangannya sendiri. Padahal dia udah sehal wal afiat, ngapain juga masih betah di sini? Karena perawat yang katanya cantik-cantik? Dasar pemikiran gila.
"Hapus video yang lo punya, dan jangan ganggu Mira lagi." Memang sih, aku sudah membayar para ahli untuk menghilangkan video itu yang terlanjur tersebar. Tapi, video asli benar-benar masih tersimpan rapi di Evan.
"Oke, gak masalah. Gue udah ada yang baru." Evan mengambil kembali ponselnya dan menunjukkan beberapa video wanita tanpa busana dalam aplikasi perpesanan yang baru saja terkirim padanya.
"Gila! Ini Jeslyn, kan?" Aku sampai terkejut melihatnya. Nama wanita yang baru aku sebut tadi, juga termasuk dalam jajaran wanita incaran Evan masa SMA dulu. Ini, si kunyuk pakai mantra apa sih, bisa menaklukkan para wanita gini?
"Kenapa? Kaget lihat gue bisa taklukin wanita yang super jual mahal ini?" Dia kembali terkekeh dan menyisir permukaan rambutnya dengan jemarinya. Raut sok gantengnya, benar-benar membuatku ingin memuntahkan semua isi perutku.
Tapi, syukur deh. Mira bisa bebas kalau si kunyuk sudah ada yang baru. "Awas aja kalau elo sampai datengin Mira lagi."
"Gue belum bilang deal, ya. Gue kan udah bilang, masih suka sama rasanya."
Bener-bener ya kunyuk satu ini. Minta dihajar lagi apa gimana?
Namun pernyataan setelahnya, membuatku urung untuk malayangkan tinjuan kembali. Katanya, "Gue ada satu syarat buat lo. Dan kalau lo berhasil menuhinnya, gue bakal lepasin Mira dan hapus video itu untuk selamanya."
"Cepetan apaan," tanyaku tanpa basa-basi.
"Kirim bukti kalau lo berhasil tidur sama Mira ke gue. Gue bakal penuhin janji gue, dan gue bakal kasih saham di perusahaan lo."
Wah, menjajikan juga permintaan si kunyuk sialan ini. Meskipun permintaannya agak gila. Tapi... menaklukkan Mira? Sepertinya enggak sulit. Dia bahkan sudah mengiyakan ajakanku menikah, kan?
Tapi ucapan Evan memupuskan harapanku. "Gue yakin lo bakal kesulitan menjinakkan si Mira." Kekehannya masih menyakiti telingaku.
"Pede amat lo. Kita lihat aja entar." Aku tak kalah percaya diri untuk menaklukkan Mira. Melihat sikap Mira yang mulai menerima sentuhanku, sudah cukup membuktikan kalau Mira sebenarnya juga menyimpan perasaan yang sama denganku. Hanya saja dia terlalu gengsi untuk mengakuinya.
"Oke! Deal, ya?" Evan menjulurkan tangan dan memintaku menyambut ulurannya untuk pertaruhan ini.
Dan dengan senang hati, aku menerima uluran tangan itu sambil mengucapkan, "Deal."
Siapa yang enggak mau, coba? Bukan hanya masalah video, namun janjinya untuk memberi saham padaku, sepertinya memberi sedikit kelegaan dalam hidupku. Lumayan. Buat bantu perusahaanku yang sedang mengalami penurunan penjualan.
"Apa-apaan ini! Aku jadi bahan taruhan kalian?"
Kemunculan Mira, benar-benar mengejutkanku.