"Mau kemana Ma, rapi amat?" Aku reflek bertanya ditengah suapanku, ketika mama baru saja menghampiri meja makan dan meletakkan tas tangannya di atas meja.
"Ada meeting bentar," jawab Mama sambil mengambil piring dan mengisinya dengan nasi beserta lauk pauk.
Ah, aku baru ingat jika sekarang mama yang ngehandle perusahaan papa, semenjak papa ke Amerika untuk urus cabang di sana.
"Makan yang kenyang, Mir." Kali ini mama memperhatikan Mira yang duduk di seberang mama, tepatnya di sampingku, karena piring Mira terlihat hampa. Hanya sedikit sekali porsi yang ia ambil.
"Iya, Tante." Mira mengangguk, namun tetap tidak menambah jumlah makanan dalam piringnya. Berat badan bertambah, mungkin menjadi momok menakutkan bagi para wanita. Mungkin itu penyebab Mira memilih sarapan dalam jumlah kecil.
"Kalian ada acara hari ini? Enggak ngantor kan?" Disela suapannya, mama masih betah bertanya kepada kami. Harusnya dari pakaian yang kami kenakan, sudah cukup menunjukkan kalau kami gak pergi ke kantor. Tapi sepertinya mama memang sengaja mengisi keheningan di antara kami.
"Barra mau ngajakin Mira olahraga, Ma?" jawabku sambil mengambil potongan d**a ayam untuk aku letakkan di piring Mira.
Mira tampak melototiku, namun tak bisa menolak karena potongan ayam sudah terlanjur mendarat di piringnya. "Makan yang banyak. Nanti kita butuh tenaga ekstra." Aku mengedipkan satu mata kepadanya, dan mendapat tendangan kaki darinya.
Biarin. Biar gemukan dikit.
"Tumben banget? Mau olahraga di mana?" tanya mama yang masih lahab menyantap makanannya di atas piring. Sepertinya selera makan mama pagi ini luar biasa. Beda dengan beberap hari sebelumnya dengan alasan enggak nafsu, karena kondisi keuangan papa yang menurun drastis.
"Di ranjang Barra." Mama langsung berhenti menyuap, dan menatapku dengan tatapan membunuh. "Ya di gym dong, Ma."
Aku terkikik kalau lihat raut mama seperti itu. Seru juga ternyata menggoda mama.
"Bener lo, ya. Awas aja kalau kamu berbuat yang enggak-enggak ke Mira." Mama lebih dulu meneguk air mineral pada gelasnya, dan segera beranjak meninggalkan kami setelah melihat penunjuk waktu pada pergelangan tangannya. Sepertinya beliau terburu-buru. "Mama duluan ya."
Mama beranjak, mengusap pucuk kepalaku sebelum benar-benar menghilang dari pandangan. Kulirik keberadaan Mira di samping yang masih lahab menghabiskan makanan dalam piringnya. Padahal tadi melotot pas aku tambahin potongan d**a ayam, kok sekarang lahab?
"Mir?"
"Apa?" Dia menoleh ke arahku dengan mulut penuh. Pinggiran bibirnya sampai perlu kuusap dengan ibu jari karena sisa nasi yang menempel di sana.
"Denger kata mama tadi? Olahraga di ranjang, bukan di gym."
"Kebalik Barra!" Mira langsung protes dan memukul lenganku berkali-kali. Ternyata menggodanya sangat menyiksa fisikku.
Tapi aku enggak nyerah. Kutangkap pergelangan tangannya, dan merapatkan diri kepadanya. "Beneran, sayang. Habis ini kita olahraga di ranjang. Bentar lagi kan kamu jadi istriku."
***
"Serius, Bar ini tempatnya?" tanya Mira setelah mesin mobil kumatikan dan melepaskan sabuk pengaman. Dia terus mengamati pepohonan hijau di sekitar pelataran parkir, dan tatapannya berhenti pada segerombolan laki-laki yang berdiri di depan bangunan seperti sedang menunggu.
"Mereka siapa?" tanya Mira.
"Yang wakilin jadi wali kamu." Aku memang gak terlalu paham dengan hal semacam ini. Semua sudah aku serahin pada Bang Ayub, seorang teman yang kebetulan menguasai dalam urusan pernikahan semacam ini.
Aku masih ingat dengan pernyataannya kemarin sewaktu aku bertanya banyak hal tentang pernikahan yang mau kuajukan. "Nama lo udah ada di daftar pernikahan, Barra."
Ya, tentunya namaku dengan Aleta yang dimaksud Bang Ayub.
Terkadang aku menertawakan kehidupanku yang seolah sudah diatur orang tuaku. Bahkan menikah saja, mereka sudah merencanakan ketika aku masih di dalam perut mama.
"Aku bisa tambahin daftar lagi?" tanyaku pada Bang Ayub.
"Mending lo nikah secara agama aja deh, dulu. Nunggu data yang ini diperbarui lagi." Saran Bang Ayub langsung kusanggupi, karena ini adalah alternatif terakhir. Dia juga menawarkan bantuan, tentang siapa yang akan menjadi wali Mira, karena Mira tidak punya kerabat lagi.
Kembali ke masa sekarang, aku menggandeng Mira memasuki gedung yang sudah Bang Ayub siapkan, untuk melakukan prosesi ijab qabul. Baju yang kami kenakan juga terkesan sederhana. Semua serba dadakan, karena tidak ada waktu lagi untuk mengulur waktu. Ini aja aku nyuri-nyuri waktu, agar mama tidak curiga dengan kepergianku dan Mira dari rumah.
"Aku gugup, Barra," bisik Mira di sampingku. Tangannya pun terasa dingin dalam genggaman.
"Gak usah gugup. Ada aku." Aku pun juga merasakan hal sama. Namun aku masih bisa menutupi kekhawatiran dalam diriku dengan membayangkan hal-hal menyenangkan yang akan kita lakukan setelah menjadi suami istri.
Bang Ayub mempersilahkanku dan Mira duduk di hadapan Pak penghulu, dan beliau menuntunku untuk mengikuti setiap ucapan sakral pernikahan yang diucapkannya.
Sesak di dalam d**a berubah menjadi kelegaan, karena teriakan "Sah" dari para saksi, maupun tamu undangan ketika aku menyelesaikan kalimat ijab qabul dalam satu tarikan nafas.
Aku melirik Mira di sampingku. Dia segera menyambut tanganku dengan mencium punggung tanganku. Mulai detik ini, Mira sudah menjadi istriku. Aku siap bertanggung jawab kepadanya, apapun yang terjadi.
***
"Jangan lupa penuhin janji lo buat hapus video itu. Gue ada kirim no rekening gue ke lo."
Sederet pesan beserta bukti foto kebersamaanku bersama Mira, berhasil aku kirim ke kontak Evan ketika Mira masih terlelap di sampingku. Kunyuk itu harus penuhin semua janjinya, karena aku sudah memenuhi persyaratan yang udah disepakati.
Kunaikkan selimut yang tadinya memperlihatkan bahu telanjang Mira, sampai menutupi semua tubuhnya. Tersisa kepalanya saja yang masih terlihat, dan kusarangkan kecupan singkat pada pucuk kepalanya.
Tak ingin mengusiknya, aku beranjak dan turun dari ranjang, mengambil pakaianku yang masih berserakan di lantai untuk aku kenakan kembali.
"Mau kemana, Barra?" Mira tampak kesulitan membuka mata, dan mencari posisi tidur ternyaman untuknya. Sepertinya ia sangat kelelahan pasca pergumulan singkat kami.
Aku jadi mengingat penolakan yang terus terucap dari bibirnya. Aku harus meyakinkan dengan bujuk rayu saat ia terus menguarkan kata "sakit."
"Mau bikin kopi. Kamu mau?"
"Nanti aja aku masih ngantuk," ucap Mira dengan berguling tengkurap hingga menampakkan tubuh belakangnya yang tidak tertutupi kain. Sulit bagiku untuk tidak menghampirinya.
"Mau aku pesankan sesuatu?" Kuusap perlahan puncak kepalanya ketika aku menduduki pinggiran ranjang. Dia mendongak ke arahku dengan mata yang masih sulit terbuka, dan kusambut bibirnya dengan kecupan singkat. Kuberi jeda sesaat dan kembali mengusap puncak kepalanya.
Mira menggeleng. Katanya, "Aku enggak laper. Aku cuma pengen tidur bentar."
Aku terkikik mendengar ucapannya. Bentar, katanya? Padahal udah lebih dari satu jam dia memejamkan mata. Apa dia selelah itu?
"Oke," jawabku sambil menjauhinya dan menuju pantry di luar kamar.
Suite room yang kami tempati ternyata cukup luas. Mampu memanjakan mata dengan gaya modern di setiap designnya.
Kuaduk cairan hitam dalam gelas yang baru saja kuseduh, dan menghidu aromanya dalam-dalam. Aromanya begitu menenangkan, hingga aku terpejam saat menyeruput pinggiran cangkirnya.
Namun ketenanganku terusik, karena mendengar suara mual dari dalam kamar. Aku segera berjalan menuju kamar, dan mendapati Mira berusaha berjalan menuju ke kamar mandi dengan hampir memuntahkan isi perutnya.
"Kamu masuk angin, Mir?" Hanya itu kemungkinan yang saat ini terpikirkan olehku. Aku segera menuntunnya ke kamar mandi, dan membiarkan Mira memuntahkan semua isi perutnya.
Tubuhnya yang masih polos langsung segera aku tutupi dengan jubah mandi yang tersedia, dan kembali menggiringnya ke ranjang. "Kamu masuk angin?"
Pertanyaan kembali kuulang, sambil mengusap puncak kepalanya. Dia belum merespon. Dia terlihat sangat pucat, dan aku perlu membawanya ke rumah sakit untuk memastikan kondisinya.