Part 9
"Mbak Arini bilang cuma mau beli obat sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Udah dari jam setengah delapan malam lho Mas. Aku hubungi nomornya gak aktif. Kasihan lho, Mas, mana lagi hamil, sendirian lagi!"
Deg! Aku shock mendengar penuturan Mbak Ulfa. Arini pergi? Rasanya kok gak mungkin.
"Mas, Mas Tiar masih dengar aku kan?"
"Eh, i-iya, Mbak."
"Tolong Mas Tiar pulang, ini ibu sendirian di rumah. Beliau nangis terus karena Mbak Arini belum pulang-pulang. Takut terjadi apa-apa katanya. Cepat pulang ya Mas, nih anakku udah nyusul kesini minta dikelonin."
"I-iya Mbak. Aku pulang sekarang."
"Eh, tunggu, Mas, ini ibu mas mau ngomong sebentar," timpal Mbak Ulfa lagi.
Tak berapa lama terdengar suara ibu yang tengah menangis. "Hallo Tiar, kamu dimana, Nak?"
"Emmh ... Aku di rumah El, Bu." Rupanya mendengar jawabannya membuat ibuku meradang.
"Apaa? Kamu masih berhubungan sama mantanmu itu? Jadi benar ucapan Arini?! Dasar bodoh! Pulang sekarang, Tiar! Cari Arini sampai ketemu!"
"Maaf Bu, Aqilla lagi sakit, makanya aku nungguin di sini."
"Dasar g*bl*k kamu!! Cepat pulang! Aqilla ada ibunya, dia bisa ngurusin sendiri! Harusnya kamu mengkhawatirkan istrimu! Cepat, kamu cari Arini sampai ketemu! Ibu khawatir terjadi sesuatu sama dia. Ibu sempat lihat wajahnya pucat. Pulang sekarang, Tiar!" tukas ibu di seberang telepon. Baru kali ini kudengar ibu marah-marah lagi. Biasanya dia selalu tenang bila ada Arini.
Tuut ... Panggilan terputus begitu saja. Aku mengusap wajah dengan kasar. Satu masalah belum kelar, ada lagi masalah yang lainnya. Lagian kenapa sih Arini pakai acara pergi dari rumah segala?! Ibu jadi marah-marah sama aku. Huh!
Kuhirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya secara kasar. Kemana aku harus mencari Arini? Sudah malam begini? Tidak biasanya dia pergi-pergi tak jelas!
"Mas, ada apa?" tanya El menghampiriku.
Aku menoleh ke arahnya. Rasanya berat sekali meninggalkan Elvina. Aku masih rindu sekali dengannya. Tapi mau bagaimana lagi, ini semua gara-gara Arini, dia sudah mengacaukan kebersamaanku dengan Elvina.
"Maaf El, aku harus pulang. Kamu jaga Aqilla sendiri dulu ya. Besok aku kesini lagi, buat nengokin Aqilla."
"Istrimu marah ya?"
"Bukan marah El, tapi dia pergi dari rumah."
"Istrimu pergi dari rumah? Dan gak pamit sama kamu, Mas?"
Aku mengangguk.
"Istri macam apa itu, malam-malam pergi dari rumah tanpa pamit sama suaminya sendiri! Wanita gak bener itu, Mas! Ini juga udah malam banget lho, keluyuran kemana dia?"
Aku terdiam mendengar dumelannya. Tapi tak biasanya Arini seperti ini, kukira dia sudah gak marah lagi. Eh kok malah dia pergi?
"Ya sudah El, aku pulang dulu."
"Iya, hati-hati nyetirnya, Mas. Jangan banyak pikiran. Kalau kata aku sih, mending gak usah dicari. Aku yakin, dia pasti bakal balik lagi. Dia kan wanita matre."
Keningku mengernyit mendengar ucapannya. Ah, tak mau berpikiran lebih jauh lagi, akupun beranjak pergi. Sebelumnya kutengok Aqilla lebih dulu, gadis mungilku tengah tertidur dengan nyaman.
Akupun beranjak keluar dari pintu, tapi Elvina mencegahku.
"Tunggu, Mas!"
Menghentikan langkah dan berbalik ke arahnya. "Ya, ada apa?"
Tiba-tiba Elvina mengecup pipiku sekilas, ia tersenyum tampak malu-malu. Aku tak menyangka El akan melakukan ini padaku.
Kuelus pipi bekas kecupannya, entah kenapa diriku serasa melayang.
"El, kamu--"
"Maaf Mas, sebenarnya aku masih mencintai kamu. Tapi kamu keburu nikah lagi. Ya sudah gih, katanya mau pulang."
Dia mendorong tubuhku keluar untuk menutupi salah tingkahnya.
"Aku pamit ya, El. Besok aku kesini lagi."
"Iya, Mas."
Elvina melambaikan tangan ke arahku sambil tersenyum. Hati siapa yang tidak luluh, ketika dipepet terus sama seorang wanita. Apalagi wanita itu sudah pernah mengisi hari dan hatiku sebelumnya.
Kulajukan mobil dengan pelan, sambil menoleh ke kanan dan kiri, berharap bisa menemukan Arini. Siapa tahu dia tengah berada di pinggir jalan. Kepalaku mendadak pusing dibuatnya. Kenapa sih perempuan itu nekad sekali? Apa dia gak mikir kalau sekarang lagi hamil? Dia gak kasihan ya sama bayi yang ada dalam kandungannya sendiri? Ckck, dasar wanita aneh!
Hampir separuh jalan, tak ditemukan ada tanda-tanda Arini. Jalanan mulai lengang karena malam semakin larut. Pergi kemana ya dia? Aku tidak tahu aktivitasnya selama di rumah. Dia berhubungan dengan siapa saja, pasalnya dia selalu di rumah dan tak pernah kemana-mana. Kuhubungi nomor teleponnya, tapi nomornya tidak aktif.
Kupukul setir bundar itu frustasi. Arlojiku sudah menunjukkan pukul sebelas malam lewat dua puluh menit.
Akhirnya kucoba menuju ke Panti Jompo, tempat dimana dulu Arini bekerja. Siapa tahu wanita itu kesana, karena rasa sosial dan kepeduliannya yang begitu tinggi.
Dari luar panti itu terlihat begitu sepi, mengingat ini tengah malam, tentunya semua sedang beristirahat.
Aku bertanya pada security yang berjaga. Dia orang lama, pastinya tahu siapa Arini.
"Mbak Arini tidak datang kesini, Mas."
"Apa anda yakin?"
"Ya, saya sangat yakin, saya berjaga di sini. Tidak ada orang yang datang dan pergi, kecuali Pak dokter."
"Dokter?"
"Iya, dokter Ardhy, dokter penanggung jawab panti ini. Tadi sore beliau kesini, mengontrol para lansia seperti biasa, dan sudah pulang lagi."
"Boleh saya minta alamatnya dokter Ardhy?"
"Saya kurang tahu tepatnya dimana ya Mas, yang saya tahu dokter Ardhy tinggal di kawasan elit Puri Indah di tengah kota, Mas."
Aku berpikir sejenak. Puri Indah adalah satu-satunya kawasan perumahan elit di tengah kota. Apa aku harus kesana? Tapi tidak mungkin kan Arini ketemuan sama dokter itu. Aku menggeleng pelan.
"Ya sudah, Pak. Terima kasih informasinya."
Sudah tengah malam, akhirnya kuputuskan pulang saja. Badan rasanya begitu letih. Biar besok lagi kucari Arini. Duh menyusahkan saja!
Kuketuk pintu perlahan, setelah sampai di rumah. Mbak Ulfa membukakan pintu.
"Syukurlah Mas Tiar pulang? Mbak Arini mana, Mas?"
"Arini belum pulang, Mbak?"
Mbak Ulfa menggeleng. "Ya sudah Mas, aku langsung pamit ya."
"Iya Mbak, makasih ya, maaf sudah merepotkan."
Wanita itu berlalu dan masuk ke dalam rumahnya.
"Mana Arini? Kenapa gak pulang bareng?" Ibu menodongku dengan pertanyaan.
Aku menggeleng.
"Jadi Arini gak ketemu?" Mata ibu berkaca-kaca.
"Besok aku cari lagi, Bu. Hari ini aku lelah banget mau tidur."
"Kamu itu bodoh! Tidak bisa menjaga perasaan istri. Dia jadi pergi kan? Kasihan Arini, sekarang dia ada dimana."
"Bu, tenanglah. Memangnya tadi Arini pamit kemana?"
"Arini cuma bilang keluar sebentar mau beli obat, wajahnya pucat sekali. Ibu khawatir terjadi sesuatu sama dia."
Kembali kuusap wajah dengan kasar dan berlalu meninggalkan ibu dalam kebingungan.
***
[Mas, hari ini jadi datang? Aqilla nyariin kamu]
Pesan yang dikirimkan El pagi hari ini.
[Maaf El, tidak bisa. Aku harus cari Arini]
Kukirim pesan balasan untuknya. Ya, kalau aku gak menuruti permintaan ibu, dia pasti marah-marah lagi. Bahkan semalaman ibu tidak tidur memikirkan Arini.
Elvina hanya mengirim balasan emoticon cemberut. Sepertinya dia kecewa padaku.
"Mbak Ulfa, aku titip ibu lagi ya. Kalau nanti ada orang datang bilang saja aku gak ada di rumah," ujarku kembali meminta bantuan tetangga, tentu saja tidak gratis, aku memberinya uang lelah.
"Iya, Mas."
Kucari semua tempat yang kemungkinan Arini singgahi, termasuk ke rumah dokter Ardhy.
"Maaf Mas, dokter Ardhy sudah berangkat dinas," ucap ART-nya.
Duh Arini, kamu kemana sih?
Sore hari aku kembali ke rumah, tapi tak ada tanda-tanda Arini balik. Setelah seharian mencari Arini tapi hasilnya nihil. Tangisan ibu semakin menjadi-jadi. Ia tak rela kalau kehilangan Arini.
Keesokan harinya aku kembali mencari Arini, bahkan sampai pulang ke kampung halamannya, tapi Arini tidak ada di sana. Bahkan sang nenek menyalahkanku, karena tak bisa menjaga Arini dengan baik.
Brakk ... Aku terkesiap kaget, mendengar suara pintu mobil tertutup. Mendongak dan tercengang melihatnya, Arini datang dengan seorang laki-laki.
Seketika darahku mendidih. Jadi begini sikapnya. Dua hari menghilang dia justru bersama laki-laki?
"Bagus ya, dua hari menghilang, ponsel gak aktif, pulang-pulang bawa seorang laki-laki? Wanita macam apa kamu?!"