10. Cemburu tak berdasar

1602 Words
Part 10 "Bagus ya, dua hari menghilang, ponsel gak aktif, pulang-pulang bawa seorang laki-laki? Wanita macam apa kamu?!" teriak Mas Bachtiar penuh emosi. Deg! Aku yang baru pulang langsung disambut ocehan suami yang tak tahu diri itu. Aku hanya menatapnya nanar. "Jadi kamu sudah selingkuh di belakang aku? Apa ini yang kamu lakukan, Arini? Kamu gak malu sama pendidikanmu yang tinggi itu?! Kamu gak malu sama kerudung yang kamu pakai itu? Ternyata sikapmu lebih buruk dari pada sampah!" Ck! Sudah salah malah menuduhku sembarangan pula. Enak saja! Memangnya hanya mulutmu saja yang bisa berkata seperti itu? "Cukup, Mas! Hentikan omong kosongmu itu! Yang selingkuh bukan aku tapi kamu! Yang sampah itu kamu, bukan aku. Untuk menutupi kebusukanmu, kamu menuduhku? Enak saja!" Hampir saja Mas Tiar menamparku, tapi lelaki yang mengantarku pulang segera menghalaunya. "Jangan pakai kekerasan begini, Mas. Tak baik, apalagi istri anda sedang hamil," pungkasnya. "Siapa anda berani mencampuri urusan rumah tanggaku!" tukas Mas Tiar penuh emosi. Entah setan apa yang tengah merasukinya. "Tentu saja saya ikut campur, ada kedzaliman di hadapan saya, mana mungkin saya diam saja!" Tiba-tiba Mas Tiar menarik dan mencengkram tanganku yang masih diperban. "Aw, mas, sakit!" pekikku, rasa nyerinya sampai ke ulu hati hingga tanpa sadar kedua sudut mataku mengeluarkan air mata. "Mas, lepaskan Arini! Jangan bersikap kasar padanya, dia sedang sakit!" Lelaki itu kembali membantuku, menepis cekalan tangan Mas Tiar. Buuugght ... Tak terima dengan ucapannya. Seketika Mas Tiar memukulnya. Hingga rumah menjadi gaduh. Dari kamar terdengar ibu memanggil-manggil, cemas dengan apa yang terjadi. Astaghfirullah, kenapa jadi kacau seperti ini. Tapi segera kumanfaatkan kesempatan ini. Aku masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Segera kuseka butiran bening yang menitik di pipi. Lalu memeriksa luka di tanganku yang telah diperban. Terlihat darah merembes kembali. Rasanya perih sekali. Aku harus segera berkemas untuk pergi meninggalkan rumah ini. Pasti kalian bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi padaku. Dua hari yang lalu ... Malam itu setelah kepergian Mas Tiar, aku pun pergi keluar. Kepalaku terasa begitu berat dan pusing, pun dengan perutku terasa enek dan mual. Tak biasanya aku merasa seperti ini. Memeriksa kotak P3k, tapi persediaan obat habis. "Di saat seperti ini kenapa malah kepalaku rasanya pusing banget, ya Allah." Aku kembali ke kamar ibu dan berpamitan dengannya. "Bu, aku pergi keluar sebentar ya. Nanti aku minta tolong Mbak Ulfa untuk jagain ibu selama aku diluar." "Kamu mau kemana, Nak?" Ibu balik bertanya. "Mau ke apotik, Bu. Mau beli obat dulu sebentar." "Iya, Nak. Kamu sakit?" "Iya, cuma sedikit pusing, Bu. Nanti kalau udah minum obat pasti sembuh lagi." "Kamu hati-hati ya bawa motornya. Keterlaluan si Tiar, dia malah pergi gitu aja!" Aku tersenyum kecil. Lalu bergegas mengeluarkan motor. Sebelumnya aku meminta bantuan Mbak Ulfa untuk menjaga ibu. "Bismillahirrahmanirrahim, kuat Arini, kuat!" lirihku sembari menahan rasa sakit kepala. Kupaksakan diri untuk menyetir motor dan membeli obat di apotik. Kalau bukan diri sendiri, siapa lagi? Toh suamiku tak peduli dengan keadaan diriku. Aku hanya ingin sehat agar bisa membela diriku sendiri. Aku harus kuat demi buah hati yang tengah kukandung. Kulajukan motor dengan pelan. Tiba-tiba saat berbelok di tikungan ada sebuah mobil yang hendak melintas. Sorot lampunya menyilaukan mataku. Tiiiiiiiinnnn ... terdengar suara klakson bersahutan. Tak dapat terhindarkan lagi, mobil itu menyenggol motorku. Aku yang hilang kendali, terpental jatuh dari motor. Seketika kurasakan nyeri di seluruh tubuh. Belum lagi kepala yang terasa semakin berdenyut-denyut. Samar kulihat seseorang keluar dari mobil dan menghampiriku, setelah itu aku tak dapat mengingat apapun lagi. Aku pingsan. Ketika sadar aku sudah berada di ruang perawatan rumah sakit. Aku menoleh ke kanan dan kiri, tanganku sudah ditancap selang infus. Mendadak pikiranku bleng, apa yang terjadi padaku. Apa bayi yang ada dalam kandunganku baik-baik saja? Aku menoleh saat mendengar pintu ruang perawatan terbuka. Kulihat dokter Ardhy, tanpa mengenakan pakaian dinasnya datang menghampiriku. "Syukurlah Arini, kau sudah sadar," ujarnya sembari tersenyum. Aku beranjak duduk, tapi rasanya begitu nyeri. Tangan dan kakiku diperban karena luka kecelakaan. "Hati-hati, kamu masih punya luka," tukasnya sembari menatapku iba. Kini aku yang bertanya-tanya kenapa dia ada di sini? Dokter Ardhy adalah rekan kerjaku. Dia seorang dokter penanggung jawab panti. Walau usianya masih terbilang muda, tapi jam terbangnya udah tinggi, selain menjadi penanggung jawab panti, dia juga dinas di beberapa Rumah Sakit besar. "Kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku di sini?" Aku mengangguk pelan. "Maaf Arini, aku yang ceroboh. Mobilku yang telah menabrakmu. Aku benar-benar minta maaf karena sudah membuatmu jadi seperti ini." Aku terdiam sejenak. Seketika kupegang perutku yang terasa kencang. "Maaf dokter, apa bayiku baik-baik saja?" Dia tersenyum. "Untunglah bayimu kuat. Kandunganmu tidak ada masalah kok, kamu hanya mengalami luka luar di tangan dan kakimu." Mendengar penjelasannya, hatiku merasa lega. Syukurlah bayiku tidak apa-apa, dia adalah penguatku saat ini. Dia yang bisa membuatku bertahan atas segala kondisi. "Oh iya, ponselmu rusak, nanti biar kubawa ke tempat servis hp. Kemungkinan dua atau tiga hari baru selesai. Apa kamu ingat nomor telepon suamimu? Biar kuhubungi suamimu, biar dia menyusulmu kemari." Lagi-lagi aku terdiam. "Jangan hubungi dia, dokter." "Lho, kenapa? Nanti keluargamu nyariin bagaimana? Mereka pasti khawatir." Aku menggeleng. "Tidak perlu, dokter. Tidak apa-apa." Keningnya mengernyit, mungkin bertanya-tanya kenapa aku lakukan ini. "Baiklah kalau itu permintaanmu. Sekarang kamu istirahat ya, nanti suster yang akan menjagamu. Aku pamit pulang dulu, tidak apa-apa kan Arini?" "Iya, dokter. Terima kasih banyak sudah membantuku." "Oh iya, motormu juga sudah dibawa ke bengkel, Rin. Nanti kalau sudah selesai akan kuambil." Aku mengangguk lagi. Tak lama dokter Ardhy pergi. Kulihat punggungnya yang tegap melangkah pergi. Setelah kepergiannya, aku menangis. Ya, tak kuasa aku menahan rasa pedih di hatiku. Walaupun berhari-hari di sini, Mas Tiar takkan peduli. Ah, aku tak perlu memikirkannya lagi, dia tengah bersenang-senang bersama mantannya. Dia cuma bisa membuatku emosi saja. Kuhempaskan nafas panjang berkali-kali. Syukurlah aku masih diberikan nafas untuk hidup. Tunggu saja, akan kubalas semua perlakuanmu, Mas! Keesokan harinya, dokter Ardhy kembali datang menjengukku. Dia menanyakan bagaimana kondisiku. Walaupun masih terasa sakit tapi sudah berkurang. Akhirnya dengan menahan rasa malu. Aku meminta bantuannya. "Dok, bolehkah saya meminta bantuan sama dokter?" "Iya, katakan saja," jawabnya lugas. "Dok, apa masih ada lowongan kerja di panti?" "Kenapa? Kamu mau kerja lagi?" Aku mengangguk. "Pintu akan selalu terbuka untuk tenaga profesional sepertimu. Tapi apa kamu yakin ingin bekerja kembali menjadi perawat? Kamu tidak kesusahan dengan kondisimu yang seperti ini?" "Hamil bukan alasan untuk tidak bekerja, dok. Insyaallah saya akan bekerja kembali setelah sembuh." "Baiklah, aku suka dengan semangatmu." "Terima kasih, dok." Aku baru diperbolehkan pulang setelah dua malam menginap di Rumah Sakit. Sepanjang hari di sana, aku memikirkan bagaimana cara menghadapi Mas Tiar. 'Baiklah, Mas. Akan kuberi kejutan untukmu.' *** Gegas aku segera mengemas baju-bajuku, ke dalam tas ransel, tak lupa membawa sertifikat rumah ini, serta logam mulia yang sudah kumpulkan sejak menikah dengan Mas Tiar. Lumayan terkumpul sebanyak 10 gram. Aku bertekad akan pergi dari rumah ini dan kembali bekerja sebagai perawat. Masalah ibu, akan kupikirkan nanti. Masuk ke kamar ibu. Dia langsung menyambutku dengan tangisan. Pelukannya begitu erat seolah tak ingin terlepas. "Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya ibu dia mengusap punggungku dengan lembut. "Aku baik-baik saja, Bu. Tapi aku minta maaf ya Bu, aku ingin pamit." "Pamit? Kamu mau kemana?" "Aku ingin menenangkan hati dan pikiran dulu, Bu. Seperti kemarin yang kubilang, aku dan Mas Tiar sudah tak sejalan lagi. "Kamu ingin pergi ninggalin ibu, Nak?" tanya ibu menohok hatiku. Aku menggeleng pelan. "Aku janji, setelah kondisinya memungkinkan, aku akan datang dan menjemput ibu." "Arini, jangan pergi, Nak. Ibu tak rela kalau kamu harus pergi." Tak kuasa aku menahan tangis, rasanya benar-benar kasihan meninggalkan ibu mertuaku. Ada rasa sesak yang begitu menghimpit di dalam d**a. Tapi mau bagaimana lagi, hidup adalah pilihan. Pilihanku adalah berpisah dengan Mas Tiar. Dan mulai saat ini, aku harus menjadi kuat mental dan kuat finansial terlebih dahulu. Setidaknya agar calon mantan suamiku tak memandangku sebelah mata saja. "Maafkan aku, Bu. Aku janji tidak akan lama, aku pasti akan menjemput ibu. Ibu sabar dulu ya." Ibu terisak. Kucium punggung tangan ibu dan kembali memeluknya. "Ibu harus tetap sehat sampai waktunya Arini menjemput ibu. Ibu harus tetap makan dan istirahat yang cukup ya. Arini sayang sama ibu." Wajah keriput ibu sudah basah oleh air mata. Aku menghapusnya jejak air matanya. Mohon maaf Bu, perpisahan memang sangat menyakitkan. Tapi, aku butuh waktu menyendiri dulu sampai tiba saatnya aku siap. Kutinggalkan ibu yang masih tergugu. Mungkin saat ini aku menjadi menantu yang sangat tega pada sang mertua. Kembali kuhapus lelehan air mata yang tanpa sadar ikut menitik. Aku tak ingin Mas Tiar sialan itu melihatku menangis. Di luar teras, dua lelaki itu masih berdebat. Sikap Mas Tiar yang begitu mengintimidasi dokter Ardhy rasanya tak bisa dibenarkan. "Mas, hentikan! Tak seharusnya kamu bersikap kasar seperti ini!" Aku geram sekali dengan sikap Mas Tiar yang arogan. Andai saja sekujur tubuhku tak sakit, aku pasti sudah membalasnya lagi dengan pukulan. "Kamu begitu peduli dengan lelaki ini? Lelaki yang menjadi duri dalam pernikahan kita?" Mas Tiar masih emosi. Aku takkan menanggapinya lagi. Sudah cukup, biarlah dia memaki sepuasnya, sebetulnya dia tengah memaki dirinya sendiri. "Maaf dokter, tolong tunggu saya di mobil saja," ucapku tak enak hati. "Kamu yakin tidak apa-apa?" "Iya, tidak apa-apa, dok. Terima kasih." "Baiklah." Lelaki itu pergi menuju mobilnya. "Arini, kau mau kemana?" Mata Mas Tiar nyalang menatapku. "Kau mau pergi bersama lelaki selingkuhanmu itu? Tidak tahu diri ya kamu!" Sikap acuh tak acuh adalah jalan ninjaku saat ini. Tetap kulangkahkan kaki menuju mobil dokter. Dari tatapan matanya, sepertinya Mas Tiar benar-benar cemburu padanya. Rasain kamu, Mas! Bagaimana rasanya hatimu, apakah panas? Itulah yang kurasakan setiap hari saat kamu bermesraan dengan mantanmu itu. "Arini, aku belum selesai bicara! Jangan pergi Arini!" "Arini!! Tega kamu ninggalin aku kayak gini?! Arini ...!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD