1. Kukembalikan suamiku padamu, Mbak!
Part 1
"Mas, hari ini jadi kan anterin aku check up ke dokter?"
Dia yang tengah menyisir rambutnya, menoleh ke arahku sebentar, lalu menepuk jidatnya. "Duh, maaf Dek, barusan Mas udah janji sama Aqilla, mau anterin dia pergi ke Water Park."
"Lho Mas, dari bulan kemarin kan udah janji mau anterin aku periksa kandungan?!" protesku.
"Maaf ya, Dek. Kamu pergi sendiri bisa 'kan? Mas udah janji nih sama Qilla, nanti dia malah nangis," sahutnya lagi. Aqilla adalah putrinya dari pernikahannya yang pertama.
Dia bangkit lalu memberikan uang seratus ribuan sebanyak empat lembar. "Segini cukup kan buat USG ke dokter?! Mas berangkat dulu ya, jaga ibu baik-baik. Kalau kamu dah mau berangkat, sementara titipkan ibu ke Mbak Ulfa dulu saja."
Belum kujawab ucapan darinya, dia sudah berlalu begitu saja. Penampilannya hari ini begitu rapi, kemeja kotak-kotak warna biru yang ditekuk sampai siku membalut tubuhnya yang tegap dan tinggi.
Aku hanya mampu menghela nafas, bukan sekali dua kali dia menolak bila kuajak pergi dengan dalih akan menemani Aqilla main atau pergi jalan-jalan kemana, sudah tentu bersama dengan ibunya yang tak lain tak bukan adalah sang mantan istri.
Cemburu? Ya, bukankah itu hal yang lumrah? Mereka pergi bersama sedangkan sudah tak ada ikatan perkawinan. Meskipun alasannya adalah Aqilla, tapi ...
Padahal akupun ingin ditemani oleh suamiku untuk periksa ke dokter kandungan. Kini aku tengah mengandung empat bulan, buah cintaku dengannya.
Praaannkk ... Terdengar suara gelas pecah dari kamar ibu mertua. Gegas aku berlari menghampirinya. Wanita renta itu tengah bersusah payah mengambil gelas minumannya.
"Astaghfirullah, ibu gak apa-apa, Bu?" Aku berusaha menolongnya, lalu membenarkan tidurnya kembali.
"Ibu mau minum?"
Ibu mengangguk pelan.
"Ibu tunggu di sini sebentar ya, biar aku ambilkan."
"Maaf Nak, gelasnya jadi pecah," sahut ibu mertuaku lirih.
"Tidak apa-apa, Bu. Ini biar nanti kubersihkan."
Aku kembali dengan membawa satu gelas air minum untuknya.
"Terima kasih, Nak. Mana Bachtiar? Bukankah hari ini kalian mau pergi ke dokter?"
"Tidak jadi, Bu. Mas Bachtiar udah pergi mau nemenin Aqilla."
"Lho?!"
"Ibu tenang saja, aku bisa berangkat sendiri kok."
"Hati-hati ya, Nak. Maafkan putra ibu--" Ucapannya menggantung di udara.
Aku mengangguk dan tersenyum walau dalam hati terasa perih. Untunglah aku tak merasa kepayahan saat hamil muda ini, tak merasa ngidam ataupun morning sick. Semuanya baik-baik saja.
Selang beberapa jam, kulihat status WA suamiku dan mantan istrinya mereka sama-sama memasang story dan profil yang sama. Aqilla di tengah-tengah lalu keduanya mencium pipi Aqilla. Selain itu, mengunggah sebuah video yang memperlihatkan sebuah kebersamaan mereka layaknya keluarga yang utuh dan bahagia.
"Alhamdulillah bayinya sehat, Bu," tuturku pada sang ibu mertua sekembalinya dari klinik.
"Alhamdulillah ..." Wanita yang sudah sepuh itu ikut tersenyum mendengarnya.
"Nih tadi aku sekalian mampir, beliin bubur ayam buat ibu. Ibu makan ya!"
Ibu mengangguk lagi. Segera kuambil mangkuk dan menghidangkan bubur ayam itu ke atasnya. Perlahan aku menyuapinya dengan penuh kasih. Ibu mertuaku sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri. Saat ini beliau memang tengah sakit, tak bisa berjalan lagi, akibat kecelakaan saat menolong cucunya yang hampir tertabrak mobil.
"Terima kasih, Arini. Kau baik sekali pada ibu. Tak seperti Elvina yang selalu marah-marah," ucap ibu dengan mata berkaca-kaca.
"Bersyukur Bachtiar sudah lepas dari wanita itu dan menikahi wanita sebaik kamu. Tetap jadi menantu ibu ya, Nak," lanjutnya lagi sembari meraih tanganku.
Aku tersenyum. Inginku juga seperti itu, Bu. Tapi semua tergantung Mas Bachtiar.
Katanya dulu pernikahan Mas Bachtiar dengan Elvina kandas karena mantan istrinya memilih pergi meninggalkan sang suami. Dia sudah tak tahan bila harus merawat sang ibu mertua yang sakit-sakitan.
Mas Bachtiar datang kepadaku dan melamarku saat dia sudah menjadi duda. Aku menerimanya mengingat ada tuntutan dari orang tua untuk segera menikah agar tak menjadi perawan tua.
Malam itu suamiku pulang dengan wajah yang begitu sumringah. Dia terus senyum-senyum sendiri. Tanpa diminta dia menceritakan keseruannya di Water Park bersama Aqilla dan mantan istrinya.
"Tadi seru banget Dek, Aqilla kelihatan sangat bahagia. Tapi waktu jadi cepat berlalu. Gak kerasa tau-tau sudah sore aja."
***
Hari-hari selanjutnya, Mas Bachtiar sering pulang telat dari kantor. Dia berdalih habis bertemu dengan Aqilla. Tentu, sang mantan istrinya selalu upload kebersamaannya itu di sosial media.
"Dek, ini uang jatah bulananmu. Harus cukup semuanya ya, termasuk untuk menebus obatnya ibu," ujar Mas Bachtiar, sembari menyerahkan sebuah amplop coklat.
Aku meraih dan menghitung isinya, tiga puluh lembar uang seratus ribuan. "Mas, kok ini berkurang? Biasanya kamu ngasih aku lima juta?"
"Iya Dek, yang dua juta mas ambil buat nambahin jatah Aqilla dah mau sekolah TK."
"Apa? Bukannya Aqilla dah ada jatah sendiri ya, Mas? Kenapa malah ambil jatahku?"
"Oh, jadi sekarang kamu kayak gini ya Dek?! Perhitungan sama anakku, iya?!"
"Bukan begitu, Mas--"
"Ah, sudahlah! Mas gak mau berdebat lagi! Mas menikahimu itu agar kamu mau mengerti keadaanku! Pokoknya kamu harus terima apapun keputusanku!"
Seketika aku terdiam. Kenapa sekarang perangai Mas Tiar berubah? Tak seperti dulu saat memintaku untuk menjadi istrinya demi ada yang membantunya merawat sang ibunda tercinta?
Entah kenapa rasanya begitu sesak sekali, dulu aku sudah meminta agar Aqilla tinggal bersama kami saja, aku akan berusaha jadi ibu sambung yang baik untuknya. Tapi mantan istrinya menangis, ia keberatan.
"Mas, kita memang sudah berpisah, tapi jangan pisahkan aku dengan Aqilla. Dia anakku, Mas! Aku gak bisa hidup tanpanya!" Ia menangis sambil meraung saat kami ingin menjemput Aqilla untuk tinggal bersama.
***
[Buat orang ketiga yang sok cantik, kecantikanmu itu racun yang membuatmu bahagia bersama lelakiku. Selamat menikmati durinya nanti]
Aku terkesiap melihat status WA mantan istri suamiku. Siapa yang dimaksud orang ketiga?
Tak mau ambil pusing dengan postingannya akhir-akhir ini, lebih baik aku fokus pada keluargaku. Walaupun entah mau dibawa kemana hubungan ini.
Sore itu, Mas Tiar pulang dengan wajah lesu. Tumben dia pun pulang cepat tak seperti biasanya.
"Dek, di kantor ada efisiensi karyawan, dan Mas salah satu yang terkena imbasnya. Mas kena PHK, Dek," tuturnya sembari mengusap wajah dengan kasar.
Aku masih terdiam.
"Kamu masih punya uang simpanan kan, Dek? Kalau ada Mas pinjam dulu 15 juta. Tagihan cicilan mobil dan rumah paling lambat disetorkan besok. Mas pusing dah gak punya uang sepeserpun lagi. Tadi rekan kerja di kantor juga pada nagih utang. Pusing aku!"
Aku mengerutkan kening. Memang masih ada Mas, sisa uang belanja dari kamu sudah kubelikan logam mulia tanpa sepengetahuanmu, tentu saja. Buat jaga-jaga biaya persalinanku nanti, karena sikap suamiku yang mulai berubah.
"Bukannya uang cicilan mobil sudah ada sendiri, Mas?"
"Sudah kepake buat jalan-jalan sama Aqilla dan beli mainannya."
"Terus buat apa kamu utang ke temen-temen kantor? Lalu cicilan rumah, maksudnya rumah siapa, Mas? Mantan istrimu?"
Mas Tiar menunduk, tak berani menjawabnya. Aku tahu semua pasti karena permintaan mantan istrinya itu.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Lalu mengeluarkan motor yang kubeli sejak masih gadis.
"Dek, kamu mau kemana?" tanyanya sembari bangkit menghampiriku.
"Aku tahu siapa yang bisa membantumu, Mas!"
"Siapa?"
"Ayo ikut saja!"
Lelaki itupun naik ke boncengan motorku. Motor melaju dengan kecepatan sedang, menuju ke sebuah kompleks perumahan. Lalu, berhenti di depan rumah minimalis ber-cat biru itu.
Seorang wanita dan putrinya tengah berada di teras. Dia langsung menghampiri kami, apalagi si kecil Aqilla langsung memanggil ayah.
"Lho kok kesini, Dek?" tanyanya heran.
Aku tersenyum masam.
"Ada apa ya kalian kesini?" tanya Elvina kebingungan. Wajahnya nampak sinis menatapku. Pasalnya Mas Tiar biasa berkunjung ke rumah ini sendiri.
"Ini, kukembalikan suamiku padamu, Mbak!"