Part 8 - Khawatir
Perasaanku diliputi rasa khawatir usai menerima telepon dari mantan istriku. Aqilla sakit, badannya panas tinggi hingga kejang-kejang.
Apa yang terjadi pada gadis mungilku? Aku sampai tak pedulikan Arini lagi. Aku yakin pasti Arini bertambah marah padaku. Tapi hal ini lebih darurat.
Gegas kulajukan mobil menuju rumah kontrakan Elvina. Suasana malam, ramai dengan kendaraan membuat mobil ini tak bisa melaju dengan cepat.
Aku turun dari mobil, Elvina sudah menungguku di teras. Dia terlihat begitu cemas. Beberapa kali dia menelepon tapi tak kugubris karena fokus menyetir.
"Mas, kenapa kamu lama sekali?" sambutnya agak kesal.
"Maaf El, tadi jalanan ramai sekali. Mana Aqilla."
"Ada di kamar. Ya sudah, cepetan Mas!" tukasnya.
Segera aku menuju kamar Aqilla, putri mungilku itu tengah merintih kesakitan. Badannya benar-benar panas.
"Bukain pintu mobilnya, El."
"Iya, Mas."
"Kamu masuk dulu, biar Aqilla dipangku sama kamu."
Dia mengangguk. Dan segera melakukan apa yang kusuruh.
Kamipun pergi ke rumah sakit terdekat, tak lupa pintu kontrakan dikunci terlebih dahulu.
"El, kenapa Aqilla jadi seperti ini?" tanyaku saat dalam perjalanan. Sesekali aku melirik ke arah wanita
"Gak tau Mas, tiba-tiba aja badannya panas. Terus tadi step. Aku khawatir banget Mas."
Sesampainya di rumah sakit ...
Aqilla dibawa ke ruang IGD, langsung ditangani oleh tenaga medis.
"Bapak dan ibu tenang saja ya, Ananda Aqilla baik-baik saja, hanya demam biasa. Ini saya sudah resepkan obat penurun panasnya. Kalau memang setelah tiga hari demam ananda tidak kunjung sembuh, kalian datang lagi kesini untuk pemeriksaan lebih lanjut."
"Baik, dokter. Terima kasih."
"Sama-sama, Pak."
Syukurlah, Aqilla baik-baik saja. Kami hanya rawat jalan. Dan kembali pulang ke rumah.
"Terima kasih ya, Mas. Syukurlah Aqilla baik-baik saja."
"Iya, El, kamu jangan terlalu khawatir."
Setelah sampai di rumah. Aku kembali membaringkan Aqilla di kamarnya.
"Ayah ..." racaunya lirih.
"Iya, ayah di sini sayang," sahutku. Kuusap lembut kepalanya lalu mencium kening Aqilla.
"Ayah jangan pergi ..." lirihnya lagi, matanya setengah terbuka.
"Enggak sayang, ayah gak akan pergi. Ayah tetap di sini temani Aqilla."
Gadis mungilku tersenyum. Elvina masuk dan membawakan makanan untuk Aqilla.
"Aqilla makan dulu ya, Nak. Terus habis makan minum obat."
Aqilla terdiam hanya mengerucutkan bibirnya.
"Ayo maem dulu, biar bunda suapin."
"Gak mau disuapin bunda. Maunya sama ayah!" rengeknya.
Aku tersenyum, lalu meraih piring di tangan Elvina.
"Siap, sini biar ayah yang suapin. Coba buka mulutnya tuan putri, aaa ..."
Suap demi suap masuk ke dalam mulut mungilnya, syukurlah Aqilla lahap makan. Kasihan anak ini pasti sangat rindu padaku hingga bersikap manja seperti ini.
Setelah menyuapinya makan, lalu minum obat. Akupun menceritakan sebuah dongeng pada Aqilla hingga ia terlelap tidur.
Kulirik jam bundar yang bertengger di dinding, waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Gegas akupun beranjak keluar dari kamar Aqilla. Sedari tadi Elvina hanya menatapku dengan tatapan yang sulit diungkapkan.
"Mas, diminum dulu. Aku buatin teh manis untukmu. Kamu pasti lelah."
Aku tersenyum sekaligus mengangguk. Lalu duduk lesehan di ruang tamu. Kuminum teh buatannya untuk sekedar menghangatkan tubuh.
"Terima kasih, El."
"Sama-sama, Mas. Terima kasih ya sudah perhatian sama Aqilla."
"Kamu jangan bercanda, El. Aqilla juga putriku."
"Iya, kau benar. Aqilla memang putri kita. Dia pasti sangat rindu padamu. Kalau boleh minta, kamu jangan pulang dulu ya, Mas. Menginaplah di sini semalam."
Aku mendongak, menatapnya tak percaya. Tak percaya kalau Elvina mengatakan hal ini padaku. Menginap di rumah mantan istri? Seketika darahku langsung berdesir dengan debaran jantung yang tak menentu.
"Maaf Mas, kamu jangan salah paham dulu.
"Iya, sama-sama, Mas. Ini demi Aqilla. Aku takut terjadi sesuatu padanya setelah kamu pulang. Sementara ini hari sudah malam, aku harus minta tolong sama siapa lagi kalau bukan sama ayahnya Aqilla."
Aku tersenyum dan manggut-manggut, mendengar ucapan Elvina. Huh, kukira dia masih cinta padaku, aku sudah tak karuan dibuatnya. Ternyata hanya pikiranku saja yang m***m.
"Mau kan, Mas, menginap di sini semalam saja? Demi Aqilla."
"Iya, kau tenang saja, El. Aku akan jagain kalian."
"Kau telepon istrimu dulu, Mas. Takutnya Arini marah."
Aku tersenyum kecut, Arini memang sedang marah. Tapi mungkin itu bawaan hormon karena dia tengah hamil.
"Tidak usah dipikirkan, Arini pasti ngerti. Nanti aku kirim pesan padanya."
"Syukurlah kalau istrimu pengertian Mas."
Elvina tersenyum kikuk. "Oh ya Mas, aku lapar mau bikin nasi goreng, kamu mau juga? Kamu pasti lapar kan?" tanyanya menghenyakkanku.
"Sebenarnya tadi aku udah makan di rumah. Tapi gak apa-apa deh, aku juga pengin makan masakan kamu lagi."
"Iya, tunggu sebentar ya, Mas. Aku ke dapur dulu," sahutnya dengan nada canggung.
Aku mengangguk.
Kukirimkan pesan pada Arini, agar dia tak menungguku pulang.
[Dek, mas gak pulang, nungguin Aqilla. Aqilla masih sakit]
Kukirim pesan itu melalui aplikasi w******p tapi hanya centang satu. Nomor Arini gak aktif?
Kudengar suara gelatakan di dapur. Aroma bumbu nasi goreng pun tercium wangi. Aku tersenyum dan menghampiri Elvina di dapur. Entah kenapa aku terbawa perasaan mengingat masa lalu dulu.
"Mas, kok kamu kesini?" tanyanya saat menoleh mendapatiku di dapur.
Aku tersenyum. "Aku pengen lihat kamu masak."
Elvina tertawa kecil. "Udah laper ya?"
"Iya, udah gak sabar."
Beberapa menit kemudian, Elvina menghidangkan nasi goreng itu ke piring. Ada tambahan telor ceplok di atasnya.
"Ayo Mas, kita makan."
Aku mengangguk, walaupun dalam hatiku kacau. Ya, benar-benar kacau. Ingin sekali kupeluk tubuh Elvina, tapi ...
"Mas, sini! Ayo dimakan dulu, kok malah bengong di situ sih!" celetuknya.
Aku menghampiri El yang tengah duduk di meja makan, menikmati masakannya yang kurindukan.
"Enak rasanya masih seperti kayak dulu," pujiku.
Elvina tersenyum lagi. Tanpa terasa kami sudah menghabiskan masing-masing sepiring nasi goreng.
Kami berbincang bersama, Elvina bertukar cerita tentang keseharian putri kami.
"Mas, bagaimana kalau kita rujuk saja?"
Deg! Aku terperangah mendengar ucapan Elvina. Dia mau rujuk? Apakah hanya ungkapannya saja atau ... Bukankah ini kesempatan bagus kalau kami bisa rujuk? Tapi keadaanku sekarang hanyalah seorang pengangguran, apa dia bisa menerimanya? Arini pun protes, apalagi Elvina? Bisnis sampinganku pun belum menghasilkan lagi karena bulan kemarin sudah ambil buat DP rumah.
Aku mengurut tengkuk, bagaimana harus menjawabnya? Kepalaku kembali berdenyut, mengingat besok pasti ada yang datang menagih hutang. Duh, dapat uang dari mana?
"Mas, maaf kalau permintaanku memberatkanmu. Aku lupa kalau kamu sudah punya istri lagi. Maaf aku mengatakan ini cuma terbawa suasana memikirkan Aqilla. Kasihan dia, mungkin kalau ayah dan bundanya tak bercerai dia bisa bahagia. Sekarang rasanya ada yang kurang."
Tiba-tiba handphoneku berdering, sebuah panggilan dari Mbak Ulfa.
Mbak Ulfa telepon? Ada apa ya malam-malam begini. Segera kuangkat panggilannya.
"Sebentar ya, El, aku angkat telepon dulu."
Elvina mengangguk, air mukanya sudah berubah.
"Hallo ada apa, Mbak?"
"Hallo, Mas Tiar ada dimana? Ini Mbak Arini pergi dari tadi belum pulang juga. Aku harus pulang, Mas, udah malem. Anakku pasti nyariin. Tapi kalau kutinggal, ibu mas sendirian," cerocosnya di seberang telepon. Aku memandang ke arah jam dinding, waktu menunjukkan pukul sebelas kurang seperempat.
"Arini, pergi Mbak? Dan dia belum pulang lagi? Tadi pamitnya kemana?"
"Mbak Arini bilang cuma mau beli obat sebentar, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Udah dari jam setengah delapan malam lho Mas. Aku hubungi nomornya gak aktif. Kasihan lho, Mas, mana lagi hamil, sendirian lagi!"