Intan masih mematung di ambang pintu kamar yang ia tempati, membiarkan sosok di hadapannya menatapnya dengan leluasa.
Selang infus sudah Intan lepas meski ia masih merasa sangat lemas. Tak lama setelah ia mendapatkan ancaman dari Irma dan otomatis membuat Intan harus segera bertindak, Intan merasa sehat dan matinya tak ada gunanya.
Intan harus berkorban, menjadi boneka hidup yang perlahan tapi pasti juga harus membunuh hati bahkan dirinya sendiri. Karena menyetujui kemauan Inara dan keluarga mereka sama saja tunduk tanpa bisa menentang. Iya, Intan telah melupakan tujuan hidupnya dan rela menggadaikan hidupnya demi kebahagiaan Inara dan orang tua mereka. Kebahagiaan Inara merupakan kebahagiaan mereka bahkan meski mereka harus membangunnya di atas luka-luka Intan.
“Kita benar-benar akan menikah,” jelas Arden meyakinkan. Rasanya benar-benar berat karena dengan kata lain, mereka termasuk dirinya telah mengorbankan Intan untuk kepentingan mereka. Mereka mengorbankan Intan karena keegoisan mereka.
Mendengar itu, hati Intan refleks bergetar hangat seiring tatapannya yang naik dan tanpa disengaja akhirnya bertemu dengan tatapan Arden. Andai apa yang Arden katakan tulus, bukan bagian dari rencana Inara, tentu hanya karena mendengar apa yang Arden katakan tersebut, semua luka-luka Intan akan musnah benar-benar tak tersisa.
Intan menepis tatapan Arden karena mulai detik itu juga, Intan mulai membunuh hati bahkan dirinya yang telanjur dikuasai oleh sosok Arden. Intan memastikan semuanya akan mati tak tersisa bersama keputusannya. Tak akan ada cinta dalam dirinya bahkan itu untuk Arden.
“Selagi Inara harus menyelesaikan pendidikannya, kita benar-benar akan menikah.” Arden sengaja mengoreksi ucapan yang sebelumnya. Ia yang mengucapkannya, tapi ia juga yang merasa ngilu, merasa dirinya sebagai sosok paling jahat sekaligus tak tahu diri terhadap Intan.
Intan berdeham kemudian menengadah menatap Arden sambil bersedekap. Ia berusaha setegar mungkin meski kedua matanya yang terasa panas, juga mulai terasa basah. Ia mendengkus pasrah sebanyak dua kali, dan itu pun tetap tidak membuat rasa sesak yang menyumbat daddahya berkurang. Intan tetap tidak baik-baik saja.
“Jujur saja, dalam waktu dekat, sebenarnya aku juga akan menikah. Bahkan sepertinya hari ini, dia akan datang ke rumah untuk mengatur semuanya. Namun karena keegoisan kalian, ... karena keegoisan kalian aku harus melukai orang sebaik dia.” Intan berucap tegas kemudian berkata, “Catat, ... dari dulu, hubunganku dan orang tuaku termasuk Inara, hubungan kami tidak pernah baik. Jadi tolong, pikirkan ulang sebelum kalian menyesal. Kalian bahkan bisa menyewa wanita bayaran profesional untuk mengatasi masalah kalian.” Intan langsung menutup pintu kamarnya tapi Arden menahannya.
Arden menahan pintu kamar yang Intan tempati, menggunakan kedua tangan. “Kamu boleh mengajukan syarat apa pun itu, aku akan melakukannya!”
Intan menunduk dan mendengkus untuk beberapa saat sebelum akhirnya kembali menatap Arden. “Mas, bagi orang sepertiku yang bernapas saja dianggap salah oleh keluarga sendiri, semacam syarat yang Mas maksud, ... semacam itu terlalu berharga untuk orang sepertiku.” Setelah menghela napas sekenanya, Intan mengangguk pasrah. “Aku tahu aku harus bertanggung jawab pada apa yang adikku tinggalkan dan membuat keadaan mendadak kacau sekaligus fatal. Iya, aku tidak akan lari dari tanggung jawab, tapi tolong biarkan aku sendiri dulu. Aku butuh waktu untuk menenangkan pikiranku walau hanya sebentar.” Intan sungguh memohon, seolah Arden tak ubahnya malaikat pencabut nyawa tapi Intan yang belum siap mati karena masih banyak tugas yang harus ia bereskan, sengaja mengemis keringanan sekaligus perpanjangan waktu.
“Hari ini juga, mamah dan nenekku, ... mereka ingin bertemu dengan kamu. Mereka ingin kita benar-benar menikah. Semuanya tidak ada yang berubah kecuali, ... kamu yang menggantikan Inara.” Arden sengaja menjeda ucapannya. “Kita sama-sama tahu keadaan kita, ayo kita buat kesepakatan saja. Aku pastikan, kamu tidak akan rugi.” Arden berusaha meyakinkan.
Intan tak memiliki pilihan lain dan harus menanggung kekacauan sekaligus kerugian yang Inara ciptakan kemudian Inara tinggalkan begitu saja.
Dengan berat sesaat setelah menelan salivanya, Intan berkata, “Tegur aku bila memang aku salah, Mas.” Intan mengembuskan napas panjang, benar-benar pasrah. “Maaf, aku siap-siap dulu.”
Intan kembali menutup pintu dan kali ini Arden tak menghalang-halanginya lagi.
Arden menatap tak percaya pintu di hadapannya yang tertutup rapat. Tiba-tiba saja ia teringat kata-kata Inara kemarin, ketika kekasihnya itu meyakinkannya.
“Mas tenang saja, Mbak Intan pasti mau. Aku bilang begini karena aku memang tahu, Mbak Intan sudah biasa disewa. Ya karena itu juga hubunganku dan orang tuaku dengan Mbak Intan kurang baik. Orang tua mana yang enggak malu anak perempuannya begitu padahal kami sudah enggak kurang-kurang menasehati. Itu yang membiayai kuliah Mbak Intan kan semacam para sugar daddy!”
Teringat ucapan Inara tersebut, Arden benar-benar merasa miris. Ia akan menikahi wanita yang sudah biasa disewa. Bahkan meski bisa Arden pastikan tidak ada kontak fisik di antara mereka, serta Intan yang merupakan kakak kandung Inara, Arden tetap merasa jijiik pada Intan. Namun bila berinteraksi langsung dengan Intan layaknya sekarang, Arden merasa bila apa yang Inara katakan tentang Intan, kurang masuk akal. Anehnya, tadi Intan juga menegaskan bila hubungannya dengan Inara dan orang tua mereka memang tidak baik.
Sudah, Ar, sudah. Jangan memikirkan yang lain dulu. Kamu cukup fokus ke pernikahanmu dan Intan saja, batin Arden menasehati dirinya sendiri.
****
Tak kurang dari satu jam setelah itu, Intan sudah duduk di sebelah Arden yang mengemudikan mobil. Di luar sana, suasana mulai sore dan langit pun mulai tidak begitu terang. Sambil mengamati suasana luar, Intan mencari-cari di dalam tote bag-nya. Ia mengeluarkan dompetnya dan mengambil cek kosong yang pagi ini ia temukan. Itu cek dari Arden dan ia sengaja mengembalikannya.
Sambil terus mengemudi, Arden melirik apa yang Intan taruh di sekat kebersamaan mereka. Tanpa bicara, Intan buru-buru merapikan isi tote bag-nya kemudian mengunci ritsletingnya sebelum kembali meletakkannya di pangkuan.
Berbeda dengan Inara yang selalu tampil modis bahkan menggoda, penampilan Intan benar-benar sederhana. Tak hanya rias yang sangat minim menghiasi wajahnya dan membuat lingkar hitam di sekitar mata Intan tampak sempurna. Karena sandang penampilan Intan juga sangat sederhana jauh dari merek mahal. Intan mengenakan levis pensil panjang warna biru tua sebagai bawahan dan menjadikan kemeja lengan panjang yang dilipat hingga siku sebagai atasan. Kemeja tersebut kedodoran sedangkan rambut hitam lurusnya dikuncir tinggi layaknya biasa bak ekor kuda.
Bila Intan sudah terbiasa disewa, harusnya Intan selalu menjaga penampilan yang tentu saja menjadi modal Intan menjual diri, kan? Pikir Arden yang diam-diam kembali memperhatikan Intan dan baginya terlalu kurus. Intan seperti kekurangan gizi meski harusnya tidak. Iya, tubuh Intan bahkan lebih kecil dari Inara meski usia keduanya hanya terpaut hanya dua tahun.
“Itu milikmu,” ucap Arden sambil sesekali melirik Intan yang menjadi menyikapinya dengan dingin.
“Tidak perlu, masalah kemarin malam aku ikhlas nolongin Mas. Tidak perlu ada yang dibahas apalagi dibayar.” Intan tetap fokus dengan tujuannya—tanggung jawab tanpa berharap pada apa pun bahkan berharap pada keajaiban.
“Simpan saja, suatu saat kamu pasti akan membutuhkannya,” ucap Arden tak kalah dingin dari Intan.
“Beneran tidak perlu, Mas. Apa yang kumiliki sudah lebih dari cukup.” Sebisa mungkin, Intan tidak akan mengambil apa pun yang bukan miliknya, bahkan meski Intan diberi dengan cuma-cuma. Sakitnya bisa sampai dibawa mati bila apa yang Intan dapat dari orang lain bahkan orang tuanya sendiri diungkit ketika mereka sedang konflik.
Arden akan kembali meyakinkan Intan untuk menerima ceknya, tapi wanita di sebelahnya, mendapat telepon masuk.
“Lala yang, ... kemarin sakit gigi?” tebak Intan sambil tersenyum bahagia.
“Iya Ante Doktel. Hali ini, Lala datang beleng Papah kalena kebetulan Papah libul. Eh, Ante Doktel enggak masuk? Apa gwla-gala Lala telat datang, ya? Oh, iya, Ante, ini nomor Papahnya Lala, ya. Nanti kalau Lala kangen Ante Doktel, Lala telepon pakai nomor ini.”
Intan tak hanya mengobrol dengan Lala, tetapi juga dengan papah Lala. Fendri—papah Lala meminta maaf sekaligus berterima kasih kepada Intan karena telah membuat hari-hari Lala menjadi sangat ceria. Namun Fendri khawatir, selama mengenal Lala telah merepotkan Intan, selain Fendri yang ingin mengenal Intan lebih jauh lagi. Fendri sampai meninta waktu untuk bertemu. Bertemu di luar jam kerja dan benar-benar untuk jalan-jalan semacam kencan manis bersama Lala.
Intan tersenyum kecut mendengar itu bersama dirinya yang merasa sangat berdosa karena telah membuat orang-orang baik terluka. Dan meski niat mereka baik, Intan harus jujur agar semuanya tidak makin fatal.
“Papah Lala, saya benar-bebar minta maaf. Untuk tiga hari ke depan mungkin saya akan sangat sibuk karena saya akan menikah.” Dalam hatinya, Intan meneriaki dirinya sebagai orang jahat. Bisa ia pastikan betapa Lala dan Fendri terluka karenanya. Namun tak apa, alasan yang baru saja Intan katakan jauh lebih manusiawi ketimbang mereka harus disakiti Irma.
Dalam diamnya, Arden yang menyimak langsung yakin bila Intan baru saja menolak ajakan kencan bahkan lebih dari sosok yang Intan panggil sebagai papah Lala. Lala merupakan salah satu pasien Intan, sesuai apa yang baru saja Arden simak dari obrolan Intan.
Sampai detik ini, Arden makin merasa tak enak hati pada Intan yang langsung mengorbankan banyak hal bahkan masa depan cintanya. Diam-diam, Arden menjadi kerap melirik Intan yang juga kembali diam. Intan bahkan lebih memilih mengamati suasana luar melalui kaca jendela pintu di sebelahnya. Bagi Arden, apa yang Intan lakukan karena wanita itu sengaja menghindarinya.
Arden menghela napas berat, tak mau hubungan mereka membuat Intan berkorban terlalu banyak. “Katakan padanya semuanya akan baik-baik saja. Aku akan menemuinya secara langsung setelah pertemuan kita dengan keluargaku selesai.”
“Tidak perlu, Mas.”
“Ayolah, Tan. Jangan begitu, kita sama-sama saling bantu. Aku enggak mau kamu berkorban lebih lagi.”
“Memang tidak perlu karena aku tidak mau memberikan harapan palsu ke dia, Mas. Sudah, kita fokus ke urusan kita saja jangan melibatkan orang lain. Jangan sampai kita melukai orang lain hanya untuk kepentingan diri sendiri.”
“Kamu nyindir aku.” Arden tak bisa berkata-kata lagi karena apa yang baru saja Intan katakan sama persis seperti apa yang Arden dan Inara lakukan pada Intan. Melukai orang lain hanya karena kepentingan diri sendiri.
“Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya mengatakan apa yang aku rasakan, Mas. Dan aku tidak mau melukai orang lain hanya untuk kepentinganku,” ucap Intan pasrah.
Menyimak itu, Arden refleks mengernyit tanpa berniat berkomentar dan memang sengaja menyimpan renungan sendiri mengenai apa yang Intan katakan.