Rumah Arden tak ubahnya sebuah pabrik produksi yang sengaja dipersiapkan untuk hasil terbaik. Maksudnya, selain dibenteng tinggi sekitar empat meter, bagian gerbang rumah yang terbuat dari besi tua dan tampak sangat kokoh dengan ukiran daun juga ditutup rapat menggunakan bahan khusus dari dalam hingga keadaan dalam sama sekali tidak bisa dilihat dari luar. Lebih tepatnya, Arden sekeluarga seolah menutup diri dari kehidupan luar selain Arden yang sengaja memberikan perlindungan terbaik untuk kehidupan di rumahnya. Kenyataan tersebut dikuatkan dengan ada dua satpam yang terjaga sekaligus dan semuanya langsung siaga menjalankan tugas.
Suasana mulai petang ketika mobil yang Arden kemudikan memasuki halaman rumah yang luas sekaligus segar dengan keberadaan rumput Jepang yang menghiasi hamparan sebelah jalan. Tanpa mau mengamati lebih jauh lagi karena sudah dipastikan rumah Arden sangat megah sekaligus mewah, Intan menunduk dalam. Intan menghela napas pelan yang mendadak menjadi kesibukannya.
Pantas mamah sama papah silau, sekaya ini keluarga Arden. Bila harus mencari yang lebih dari ini, sampai kapan pun aku tidak akan bisa menikah, batin Intan seiring rasa ngilu yang menguasai daddanya.
Kini merupakan kali pertama Intan datang sekaligus mengetahui keberadaan rumah Arden. Karena sekadar cerita pun, Inara dan orang tua mereka tidak pernah memberi tahu Intan padahal sebagai anggota dari keluarga mereka harusnya Intan tahu. Tidak usah dijelaskan karena mereka memang tidak pernah menganggapku, itulah alasan kenapa aku tidak tahu semua hal yang menyangkut mereka. Mereka tidak pernah mengabarkan kebahagiaan kepadaku. Yang mereka kabarkan hanyalah beban-beban yang harus aku bereskan dan turut dibubuhi ancaman seperti apa yang terjadi siang tadi. Namun Intan juga berpikir, Inara dan orang tua mereka sengaja mengucilkan Intan, takut Intan merebut kebahagiaan mereka karena sejauh ini pun, Irma terus mengirimi Intan pesan agar Intan tidak merebut Arden dari Inara.
Mama : Kamu enggak pantas bersanding dengan Arden karena Arden hanya milik Inara! Awas saja kalau kamu sampai keluar dari peraturan kita!
Intan sengaja mematikan ponselnya. Ia melakukannya karena sadar diri, dirinya bukan wanita kuat sekuat baja. Intan wanita biasa yang memiliki sisi rapuh lebih dominan. Dan Intan tidak mau usahanya membereskan masalah sekaligus beban fatal yang Inara tinggalkan, gagal. Intan harus fokus daripada Irma dan keluarga mereka justru mengamuk andai Intan justru gagal.
Di depan garasi yang menjadi tempat Arden menghentikan mobil, ada dua buah mobil yang terparkir. Satu sedan hitam, satunya lagi Kijang warna hitam. Intan turun sendiri tak lama Arden turun. Mereka sama-sama dibukakan pintu oleh satpam rumah.
Ketika Arden hanya diam dan tampak sangat angkuh tanpa sedikit pun senyum yang terpasang di wajah tampannya bahkan untuk sekadar basa basi wujud terima kasihnya pada sang satpam, pemandangan berbeda diberikan oleh Intan yang sampai mengucapkan terima kasih pada sang satpam di antara senyum hangat yang terpasang. Intan segera mengejar kepergian Arden yang sudah langsung melangkah cepat meninggalkannya. Intan sampai lari karena ia sangat tertinggal.
Sejenak, di tengah larinya, Intan mengamati sekitar termasuk keadaan rumah bagian atas. Bukan, Intan tidak terpana bahkan tergiur untuk menjadi bagian di sana. Yang ada Intan takut apalagi posisinya hanya anak tak diharapkan yang diwajibkan menjadi istri pengganti. Ini mengenai sederet kamera CCTV yang terpasang di setiap rumah Arden bahkan di dalam ruangan kediaman rumah Arden. Keamanan di sana benar-benar ketat.
Di ruang keluarga kediamannya sudah dihuni Diana sang mamah, nenek Kanaya, dan juga seorang pria tua berparas tenang dan Arden ketahui bernama Saman. Iya, pria itu pak Saman—orang tua yang paham hitungan kejawen, sosok yang bisa membaca silsilah hidup seseorang, dan bisa membaca ramalan nasib seseorang hanya dari tanggal lahir sekaligus hari lahir atau yang di kepercayaan kejawen mereka disebut sebagai weton. Ada lagi istilah kalau tidak salah pasaran, dan lain sebagainya karena meski Diana dan nenek Kanaya paham, Arden yang masa bodo terhadap semua itu tidak berharap menjadi bagian dari mereka. Arden hanya terpaksa menjadi bagian mereka karena nenek Kanaya yang sudah renta terus memaksa. Arden melakukannya demi kesehatan nenek Kanaya.
Setelah terdiam sejenak, Arden kembali melanjutkan langkahnya, tapi karena di sebelahnya tidak ada tanda-tanda kehidupan lain dan harusnya itu Intan, ia juga segera memastikan. Benar, Intan tak ada di samping atau setidaknya belakangnya. Bingung bahkan panik, Arden segera putar balik dan berniat mencari.
Arden dapati, Intan yang justru melangkah buru-buru ke ruang sebelah sambil mencari-cari. “Tan?” panggil Arden.
Intan tersesat meski baru di ruang depan bagian dari kediaman Arden yang terlampau besar dan dihiasi banyak ruangan. Belum lagi, suasana yang gelap juga membuat Intan bingung dan berakhir tersesat.
“Mas jalannya jangan cepat-cepat.” Intan melangkah agak lari demi segera sampai di sisi Arden. Iya, ia sadar. Alasan Arden begitu cuek kepadanya karena Intan bukan Inara. Namun, tak adakah sedikit rasa toleransi karena biar bagaimanapun mereka tetap harus kerja sama? Apakah memang, tak hanya Inara dan orang tuanya yang mengharapkan Intan menyelesaikan sekaligus bekerja sendiri karena hal yang sama juga akan Arden sekeluarga lakukan kepada Intan?
Arden tidak memberi tanggapan lebih karena alasannya melangkah cepat memang tak hanya untuk secepatnya sampai, melainkan menjaga jarak dari Intan demi Inara. Demi hubungannya dan Inara, Arden tidak akan memberikan celah sedikit pun pada wanita lain bahkan meski itu Intan yang harus ia nikahi.
Sesuai yang Arden rencanakan dan sudah Inara setujui, Arden memang akan menikahi Intan selama Inara masih harus menyelesaikan pendidikannya di luar negeri, tanpa adanya kontak fisik di antara mereka. Karena sudah Inara pastikan, Intan juga tidak akan tinggal di rumah Arden. Arden dan Intan akan tinggal terpisah dan terus begitu. Adanya pernikahan benar-benar hanya untuk formalitas menyelamatkan persiapan pernikahan yang tinggal menjalani hari H. Setelahnya, Arden akan langsung menceraikan Intan sesuai rencana.
Kenyataan Intan yang langsung menyapa tak lama setelah Arden justru hanya diam dan langsung duduk, cukup mengusik Arden. Apalagi Intan juga langsung menyalami satu persatu dari ketiga orang di sana dengan sangat takzim karena Intan juga sampai mencium punggung tangan mereka.
Setelah itu, Intan kebingungan harus duduk di mana karena Arden yang ia harapkan membimbingnya benar-benar mengabaikannya. Intan memang bisa duduk di sebelah Arden, tapi Intan sengaja menjaga jarak dan duduk di kursi tunggal yang ada di sebelah pak Saman.
Diam-diam, Diana dan nenek Kanaya terus mengamati Intan dengan saksama. Ini memang merupakan pertemuan pertama mereka meski hubungan Inara dan Arden sudah berjalan selama dua tahun. Di mana keduanya juga sempat melangsungkan pertunangan akbar. Namun, selama itu juga bahkan saat pertunangan Arden dan Inara yang juga memakan waktu panjang dalam persiapannya, Intan benar-benar tidak ada. Sebelumnya mereka benar-benar tidak pernah bertemu.
Diana dan nenek Kanaya mengamati Intan dari ujung kaki hingga ujung kepala. Jujur saja, cara Intan yang sangat santun dan langsung memisahkan diri dari Arden membuat hati mereka terketuk. Mereka tak menyangka Intan memiliki sikap yang bertolak belakang dengan Inara tanpa terkecuali mengenai segi penampilan. Keduanya terlihat sangat berbeda meski keduanya memiliki garis wajah yang sama. Hanya saja, Intan memang terlihat jelas kurang merawat diri bahkan cuek terhadap penampilan. Mereka berpikir, Intan ini tipikal yang asal masih berpenampilan sopan, sudah lebih dari cukup tanpa harus ada yang berlebihan apalagi kemewahan. Namun karena Intan merupakan kakak Inara yang telah membuat mereka telanjur kecewa, mereka tetap pasang jarak pada Intan.
Intan masih sibuk menghela napas pelan. Rasa tegang yang berlebihan mulai menimbulkan rasa takut di sanubarinya. Ia menurunkan tote bag-nya dari pundak kanan seiring tatapannya yang berangsur menunduk. Bisa, Tan. Bisa, kamu wajib bisa! Batin Intan menyemangati dirinya sendiri. Ia siap menghadapi keluarga Arden.
Pemandangan aneh nenek Kanaya dan Diana dapati dari pak Saman yang diam-diam memperhatikan kedua tangannya. Bulu kuduk pria tua itu kompak berdiri dan mereka yakin, yang mencuri perhatian pak Saman di kedua tangannya karena semua itu. Anehnya, kedua mata pak Saman yang berangsur menoleh dan menatap Intan, menjadi berkaca-kaca.
“Kamu, baik-baik saja?” tanya pak Saman pada Intan.
Suara pak Saman terdengar bergetar—sengau—khas orang menangis. Kenyataan tersebut makin mencuri perhatian Diana apalagi nenek Kanaya.
Intan berangsur menoleh pada pak Saman dan membuatnya mendapati pria tua itu menatapnya dengan berkaca-kaca. Suatu kenyataan yang seolah langsung menyalur tak ubahnya aliran listrik yang menyetrum hingga rasa nelangsa itu tumbuh dan menguasai sanubarinya dengan begitu cepat. Intan mengangguk santun, sebagai balasannya pada pak Saman. Keadaan kini mengenai ia yang mendadak merasa nelangsa sekaligus terharu luar biasa, ia yakini karena sebelumnya belum ada yang bertanya mengenai keadaannya dengan ekspresi yang begitu peduli bahkan sampai menatapnya dengan berkaca-kaca layaknya apa yang pak Saman lakukan padanya.
Pak Saman masih menatap Intan dengan tatapan yang begitu dalam. “Kamu tahu, semuanya selalu ada batasnya termasuk kesabaran bahkan kekuatan? Kenapa kamu tidak pergi saja? Kenapa kamu masih saja bertahan padahal mereka selalu melukaimu? Kamu sakit, ... tidak hanya fisik karena hati dan mental kamu juga terluka.”
Air mata pak Saman yang sedari awal ia bersalaman dengan Intan sengaja ditahan, akhirnya jatuh membasahi pipi hanya karena melihat Intan. Wanita itu tetap tersenyum meski kedua matanya berkaca-kaca membalas setiap tatapannya.
“Lihat, saya sampai merinding. Sangat jarang saya begini.” Pak Saman tak bisa berkata-kata.
Intan kebingungan menatap pak Saman. “M-maafkan saya.” Sedahsyat itu? Hanya bersebelahan dan tadi sampai bersalaman, apakah semua itu langsung melukai pak Saman? Pikir Intan. “Saya benar-benar minta maaf.” Ia menunduk menyesal. Cairan hangat yang sedari tadi memberontak keluar, kini sudah ada di pelupuk mata dan nyaris jatuh.
“Jangan minta maaf karena kamu tidak salah. Selama ini, kamu selalu melakukan yang terbaik dan kamu selalu melukai dirimu sendiri demi kebahagiaan orang lain khususnya kebahagiaan adik dan orang tua kamu. Tak seharusnya kamu begitu karena kamu juga berhak bahagia.” Pak Saman menatap Intan dengan tatapan prihatin.
Intan tak bisa berkata-kata, dan memilih menunduk. Merasa heran, kenapa pria tua di sebelahnya seolah bisa membaca perjalanan hidupnya tanpa harus ia bercerita? Padahal sekadar mengeluh dalam hati saja, Intan tidak melakukannya.
Sadar lawan bicaranya kebingungan dengan maksud ucapannya, Pak Saman sengaja berdeham. Sambil membuka buku di hadapannya kemudian meraih pulpen yang ada di atasnya, ia berkata, “Coba katakan pada saya, tanggal lahir dan hari weton kamu. Harusnya, apa yang saya lihat dan saya rasakan setelah kita bersalaman, tidak jauh berbeda.”
Tanggal lahir? Hari weton? Intan tidak paham dengan apa yang dimaksud weton. Ia mengedarkan tatapan bingungnya pada Arden kemudian berhenti pada kebersamaan Diana dan nenek Kanaya. Tak lama setelah itu, tampak nenek Kanaya yang menyikut sang putri hingga Diana bergegas melangkah cepat menghampiri Intan. Bila melihat dari kondisi nenek Kanaya dan Diana, tadi kedua sejoli tersebut tengah diam-dian mengamatinya.
Semoga aku tidak salah apalagi melukai orang lain lagi! Batin Intan.