Episode 7 : Rencana yang Ditentang

1308 Words
Intan terbangun dengan sebuah cek yang ada persis di sisi wajah kanannya. Cek kosong tersebut tertindih botol infus tak begitu penuh dan hanya berisi sekitar seperempat. Intan telah terbaring di tempat tidurnya dan harusnya menjadi tempat Arden berbaring. Iya, Arden tak lagi ada di sana sesuai memo yang turut pria itu tinggalkan di bawah cek kosong. Terima kasih untuk semuanya, tapi sepertinya ke depannya aku akan lebih sering merepotkanmu. Cek itu milikmu, isi saja semaumu. Satu lagi, mengenai semalam, tolong rahasiakan semua. Istirahatlah, khusus hari ini kamu wajib istirahat total apalagi biar bagaimanapun, operasi di lengan kiri kamu terbilang serius. Cepat sembuh. Intan refleks memastikan lengan kirinya yang masih dihiasi perban. Semalam, Arden yang harusnya berbaring dan istirahat, tak segan membantunya mengeluarkan peluru dari sana. Iya, Arden paham dunia medis, dari mengeluarkan peluru, membersihkan luka, mengobatinya, kemudian menjahitnya. Dan mungkin karena efek operasi yang dijalani secara mandiri, Intan sampai tak sadarkan diri, selain Intan yang tidak tahu Arden sampai memboyongnya ke tempat tidur. Intan tidak berniat mengembalikan cek maupun memarahi Arden yang begitu perhitungan padanya. Karena yang akan ia lakukan adalah menyimpan cek berikut memo tersebut. Iya, seberharga itu memang semua yang Arden berikan bahkan meski hanya sekadar memo. Dengan tertatih, ia beranjak dan meraih laci nakas paling atas. Di sana ada dompet lipat miliknya dan ia menyelipkan lipatan cek maupun memo-nya di balik KTP miliknya terselip. Tak lama setelah itu, pandangan Intan menyisir suasana sekitar. Gorden sebelahnya dalam keadaan tertutup dan Intan yakin itu masih ulah Arden. Membuat Intan berpikir sekaligus berencana untuk tidak mengubah keadaan kamarnya bahkan untuk sekadar membersihkannya demi mempertahankan jejak Arden di sana. Iya, aroma tubuh Arden masih tercium sangat kuat tanpa terkecuali dari bantal di sebelah Intan dan beberapa saat lalu baru saja Intan tinggalkan. Meninggalkan Intan yang tersenyum cerah hanya karena mencium jejak Arden yang masih tersisa, di Bandara, Arden yang sudah mengenakan lengan panjang warna hitam yang disingsing hingga siku dijodohkan dengan celana levis warna hitam, tengah melepas kepergian Inara, di bandara. Arden berkaca-kaca, melepas setiap langkah Inara dengan sangat nelangsa. Di hadapannya dan makin jauh, Inara melangkah menunduk dan tampak sangat berat. Seberat ini? Kenapa harus begini? Batin Arden sengaja mengulumm bibirnya demi menghalau tangis yang nyaris pecah. *** “Karena kamu tidak tegas!” Nenek Kanaya—nenek Arden langsung murka setelah Arden menyampaikan rencana Inara sekeluarga dan akan menjadikan Intan sebagai Istri pengganti. Intan akan menjalani pernikahan sementara dengan Arden. “Kamu laki-laki, kamu yang akan menjadi kepala rumah tangga tapi dari awal kamu sudah diinjak-injak mereka. Pada kami, kamu tidak peduli, tapi pada mereka kamu memperlakukan mereka seperti dewa!” Menggunakan tongkat dan tertatih, nenek Kanaya memil pergi dari sana. Diana sang mamah, ketar-ketir, tapi jujur Diana kecewa. Semua yang dikatakan nenek Kanaya sudah mewakili isi hatinya yang kecewa pada Arden. “Susah payah kita mencari hari baik untuk pernikahan kalian. Susah payah kami mensyarati agar kalian tetap bisa menikah karena meski kalian bisa menikah, di hitungan weton kalian, kesulitan akan terus menimpa hubungan kalian khususnya menimpa kamu!” nenek Kanaya masih marah-marah, sambil berlalu ia kerap menoleh dan menatap pada Arden yang duduk menunduk di sofa tunggal di hadapan Diana. “Bila dia sudah pergi bahkan tanpa pamit secara langsung pada kami, sudah batalkan saja semuanya. Tak ada pernikahan, tak ada lagi kalian. Cari yang lain saja!” Umpat nenek Kanaya. “Dia sama sekali tidak punya sopan santun. Dia sama sekali tidak menghargai kami sebagai orang tua kamu. Kami yang membuat kamu ada hingga sesukses sekarang!” lanjut nenek Kanaya. “Nek, keadaan benar-benar mendadak dan tidak memungkinkan. Ini saja Inara sudah izin ke universitasnya.” Arden berusaha menjelaskan, mencoba membela sekaligus melindungi wanita yang sangat ia cintai. Nenek Kanaya berhenti melangkah kemudian melemparkan tongkatnya pada Arden. Tepat mengenai kepala Arden, tapi Arden memilih diam menerima. Lain halnya dengan Diana yang langsung syok ketakutan. “Bila dia bisa izin, kenapa dia tetap tidak inisiatif izin lagi dan menemuiku secara langsung? Sudah kamu tidak usah membelanya lagi! Cari wanita lain dan menikah dengan wanita lain saja!” “Hari ini juga aku akan membawa Intan ke sini, Nek!” lantang Arden sambil berdiri menghadap nenek Kanaya. “Nikahi dia secara resmi. Tidak ada istri pengganti apalagi pernikahan sementara seperti ide gila mereka!” balas nenek Kanaya masih meledak-ledak. Arden langsung kebas. Menikah resmi bukan pernikahan sementara sedangkan Intan bukan istri pengganti? “Lanjutkan persiapan pernikahan yang sudah ada dan hapus Inara dari sana. Ingat, tidak ada pernikahan pura-pura apalagi istri pengganti!” lanjut nenek Kanaya wanti-wanti. Arden tak bisa berkata-kata. Ketika tatapannya tidak sengaja berhenti pada Diana, mamahnya itu mengangguk, memberinya kode keras agar ia mau menuruti kata-kata sang nenek. “Bawa Intan ke sini, hari ini juga. Diana, hubungi pak Saman dan ceritakan semua yang terjadi. Kita harus tetap mencari hari baik sesuai kepercayaan kejawen kita,” lanjut Kanaya. “Kenapa harus sesuai kejawen, kejawen, dan kejawen lagi? Hidup ini realistis dan—” Arden tak kuasa melanjutkan ucapannya karena di depan sana, nenek Kanaya sudah kembali meledak-ledak dan memintanya untuk tutup mulut. **** “Intinya begitu saja, kamu harus jadi istri pengganti untuk Inara dan menjalani pernikahan sementara untuk Arden. Bahkan meski nanti mereka meminta pernikahan sungguhan, mereka meminta kamu benar-benar menjadi istri Arden, kamu jangan mau karena Arden hanya punya Inara! Ingat, jangan mau dan cukup pura-pura apalagi Arden juga enggak mungkin mau sama kamu kalau bukan Inara yang memaksa!” Dari seberang, suara Irma meledak-ledak. Seperti biasa, seolah Intan merupakan orang dunguu bahkan idiott yang harus berulang kali menerima penjelasan bahkan dengan cara kasar. Pedih, Intan kembali merasakan itu. Intan pikir, alasan sang mama menelepon untuk hal lain atau justru karena Rio sudah datang meminta restu, tapi nyatanya justru untuk hal lain yang bahkan tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Intan. Menjadi istri pengganti dan menjalani pernikahan sementara? Sebegitu rendahkah dirinya di mata keluarganya? Kenapa mereka rela menjual kebahagiaan Intan? Karena meski harus menjalaninya dengan Arden selaku laki-laki yang sangat Intan cintai, apa yang harus Intan jalani benar-benar melukai Intan. “Cari orang lain saja karena aku memang tidak bisa. Seperti yang kalian khawatirkan, aku bukan orang yang tepat untuk menjalankan misi dari kalian apalagi aku memang tidak akan pernah menjual diriku untuk menjalani hal semacam itu!” ucap Intan dengan nada dingin. Ia yang masih duduk selonjor di tengah tempat tidur dengan infus yang menghiasi pergelangan tangan kiri, nyaris mengakhiri sambungannya. Namun karena dari seberang sang Mama berteriak, ia urung melakukannya. “Kamu ingin Mamah mati karena jantungan? Kamu ingin membunuh papah Mamah, hah? Enggak tahu diuntung kamu! Mamah sudah capek-capek hamil kamu, Mamah sudah susah payah melahirkan kamu, dan Mamah mati-matian besarin kamu! Begini balasanmu, bahkan kamu tidak peduli pada nasib adikmu sendiri!” Berderai air mata, Intan berkata, “Aku selalu peduli, Mah. Namun dari dulu dan sampai detik sekarang, semua yang aku lakukan selalu salah. Kalian tidak pernah menganggap aku! Kalian selalu begini. Kalian memperlakukanku seperti ....” Intan tak kuasa melanjutkan ucapannya. Ia mendengkus pasrah sambil mengangguk-angguk paham. “Baca WA dari Inara. Dengerin WA suaranya!” lanjut Irma. Sudah, Intan sudah membaca sekaligus mendengar pesan yang Inara kirimkan padanya. Semuanya yang nyaris berjumlah sepuluh pesan intinya sama seperti yang Irma dan Andri katakan. Inara meminta Intan menggantikannya di pernikahan, menjadi istri pengganti dan menjalani pernikahan sementara dengan Arden. “Berani kamu menolak, tidak butuh dua jam dari sekarang kamu akan langsung mendapat kabar kematian Mamah!” lanjut Irma yang kali ini sampai mengakhiri sambungan telepon mereka. Deg .... Jantung Intan seolah langsung berhenti berdetak detik itu juga. Ya Tuhan, ... benarkah mereka orang tuaku? Atau memang aku yang sudah sangat keterlaluan? batin Intan. Terengah-engah, Intan mencoba menenangkan pikiran, mencari jalan terbaik untuk keputusannya. Menjadi istri pengganti dan menjalani pernikahan sementara dengan Arden. Membuat luka-luka kian terukir sempurna dalam hidupnya hanya karena Intan merasa permintaan Inara dan orang tua mereka tak beda dengan menjual Intan secara paksa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD