Episode 10 : Intan, Wanita Berhati Bersih

1927 Words
Berat, pak Saman sampai menghela napas dalam beberapa kali sesaat setelah tangan kanannya mendadak kebas, tak sanggup menghadapi kenyataan mengenai jalan hidup Intan. Tatapan prihatinnya kembali terfokus pada Intan yang duduk tegang di sebelahnya. “Aku jadi ikut merinding, Mah,” bisik Diana pada sang mamah. Tak beda dengan nenek Kanaya, pandangannya juga terus tercuri pada kebersamaan Intan dan pak Saman. “Kamu orang yang sangat baik,” ucap Pak Saman berat. Kedua matanya masih berkaca-kaca menatap Intan. “Hatimu benar-benar bersih, jarang ada orang sebaik kamu.” Intan masih diam dan memilih tidak berkomentar. Ia hanya menjadi penyimak baik, takut salah langkah kemudian akan membuat orang tuanya kembali marah padanya. “Sayangnya, aura kehidupan kamu benar-benar gelap. Kalaupun ada warna, pasti tetap tertutup.” Jujur, menyimak ucapan pak Saman juga membuat Intan berulang kali merinding. Hati Intan seperti diiris dengan telaten oleh benda tajam tak kasat mata. Pak Saman menghela napas dalam. “Dari lahir, kamu sering sakit-sakitan. Bahkan semenjak kamu di kandungan, mamah kamu nyaris meninggal karena sering sakit-sakitan, sementara usaha papah kamu bangkrut. Karena itu juga, mereka benci sama kamu. Semua yang kamu lakukan selalu salah di mata mereka karena mereka menganggap kamu pembawa sial. Hidupmu benar-benar penuh fitnah. Fitnah dari orang-orang yang harusnya menyayangi kamu. Mereka orang terdekat dalam hidup kamu.” Pak Saman menahan napas dan berakhir sesenggukkan, tangisnya pecah. Tangan kanannya merah salah satu tangan Intan dan berangsur ia genggam menggunakan kedua tangan. “KAMU, ENGGAK AKAN KUAT!” raungnya yang sampai bersimpuh dan meletakan keningnya di genggaman tangannya dan Intan. Melihat pak Saman yang menangis sesenggukkan layaknya sekarang, pak Saman yang terlihat sangat peduli bahkan kasihan pada Intan, nenek Kanaya dan Diana menjadi terenyuh. Tanpa mereka sadari, air mata mereka mengalir membasahi pipi. Merinding, dan detik itu juga, mereka saling menoleh hingga tatapan mereka akhirnya bertemu. “Arden ke mana sih? Tadi dia pamit ke mana?” sesal Kanaya. Diana menyeka sekitar matanya menggunakan jemari tangannya. Wanita berambut pendek dan sengaja di-blow hingga mengembang rapi sekaligus elegan, mendadak tak bisa berkata-kata. Kenapa aku jadi mikir, maksudnya enggak akan kuat yang pak Saman, justru kematian, batinnya. Intan berlapang dadda dan berusaha menyikapi keadaan dengan sedamai mungkin. “Tidak apa-apa, Kek. Setiap kehidupan memang sudah ada garisannnya masing-masing. Setiap kehidupan memiliki takdir sekaligus jalan yang berbeda dari kehidupan orang lain. Apa pun itu, menjalani dan menyelesaikan adalah hal yang harus dilakukan hingga semuanya benar-benar berakhir.” Berkaca-kaca, Intan juga minta maaf pada nenek Kanaya dan Diana. Mengenai kekacauan yang Inara lakukan. “Saya benar-benar minta maaf. Saya, mewakili Inara sekaligus orang tua saya, ... mohon maaf atas kefatalan yang telah terjadi. Sungguh, saya benar-benar minta maaf!” Intan menunduk menyesal. “Saya akan mengambil semua tanggung jawab untuk kejadian ini. Dan apa pun itu, akan saya lakukan sebagai wujud dari penyesalan sekaligus permintaan maaf saya.” Setelah berkata demikian, Intan berangsur bangun dari duduknya dan menuntun pak Saman untuk bangun. Menggunakan kedua tangannya yang kurus, ia membimbing pak Saman duduk. “Arden ke mana, sih?” Nenek Kanaya bertanya lagi mengenai keberadaan Arden yang tadi tiba-tiba pamit pergi dan berdalih ada pekerjaan sangat penting yang harus dikerjakan. Selain Arden yang menyerahkan semuanya pada mereka asal pernikahannya dan Intan bisa dilaksanakan sesuai rencana. “Arden pergi karena ada urusan yang sangat penting, Mah. Tadi pamitnya begitu, kan?” balas Diana sengaja berbisik pada Kanaya. Nenek Kanaya mendengkus dan menatap sang putri dengan tatapan bengis. “Anak itu benar-benar jadi enggak berguna gara-gara cintanya ke Inara, ya!” tegasnya lirih. “Memangnya ada yang lebih penting lagi melebihi rencana pernikahan ini? Semuanya nyaris hancur gara-gara cinta bodohnnya ke Inara dan harusnya itu dia di sini. Harusnya telinganya suruh mendengar apa yang tadi dibahas oleh pak Saman barusan!” lanjutnya masih bertutur lirih. “Mohon maaf, Ibu Kanaya, ... Arden dan Intan kurang cocok. Kalaupun tetap dijalani, Intan yang harus selalu berkorban. Intan enggak mungkin kuat. Sebentar, ... kamu beneran kakaknya Inara?” Pak Saman mengalihkan tatapannya pada Intan. Ia menatap wanita berwajah pucat di sebelahnya dengan banyak keseriusan. Meski bingung dan tidak yakin, Intan berangsur mengangguk. “Iya, Kek. Saya, kakaknya Inara.” Pak Saman langsung tidak bisa berkata-kata. “Coba dikasih syarat, Pak Saman.” Nenek Kanaya berusaha menawar agar wanita sebaik Intan bisa menjadi bagian dari mereka. Pak Saman menghela napas berat seiring tatapannya yang tertuju kembali pada nenek Kanaya. “Berat banget, Ibu Kanaya. Ditambah ini, saya baru ingat, saya baru paham kalau dia justru kakaknya dari calon Arden yang sebelumnya. Ya ampun hampir kecolongan. Lebih baik enggak usah, Ibu Kanaya. Enggak apa-apa dibatalkan saja.” “Saya mohon, saya hanya akan menjadi istri pengganti dan menjalani pernikahan sementara karena setelah Inara pulang, Mas Arden akan menceraikan saya untuk menjalani pernikahan nyata dengan Inara. Pernikahan saya dengan Mas Arden hanya formalitas untuk melanjutkan semua persiapan pernikahan. Saya janji, demi Tuhan saya bersumpah hanya menjadi pengganti. Hadirnya saya di sini benar-benar tidak berpengaruh pada hubungan Mas Arden dan Inara maupun keluarga kami.” Berderai air mata Intan benar-benar memohon. Di hadapan pak Saman, ia bersimpuh, menatap ketiga wajah di sana dengan sangat memelas. Bisa kiamat andai mereka menolak kehadirannya sebagai istri pengganti untuk Inara. Irma dan Andri akan bunuh diri bahkan lebih. Tidak, Intan tidak mau makin menjadi anak tak diuntung. Sebagai seorang wanita, seorang ibu yang memiliki hati normal, Diana tidak tega melihat Intan memohon-mohon layaknya sekarang tak ubahnya pengemis. Intan sampai bersimpuh memohon pada pak Saman, bersumpah rela melakukan apa pun asal rencana Inara dan Arden menjadikannya istri pengganti bisa dijalani. Diana yang menghampirinya, berusaha menghentikan sekaligus menenangkan melalui pelukan yang ia lakukan. Di tengah dadda yang terasa sangat berat sekaligus sesak, nenek Kanaya yang juga berlinang air mata berkata sambil menatap memohon pada pak Saman. “Apa pun itu, katakan. Saya, ... saya akan bertaruh semuanya untuk melindunginya.” “Ibu Kanaya tahu, pengaruh calon yang sebelumnya benar-benar buruk pada Arden. Aura Arden sampai jadi gelap karena Arden benar-benar sulit disadarkan. Arden sungguh melakukan segala cara hanya untuk membahagiakan wanita itu. Sedangkan bila Arden dan Intan, ... Intan tidak punya kekuatan. Kasihan Intan bila terus berkorban. ... andai kalian menemukan calon yang benar-benar cocok, pilih yang cocok saja.” Pak Saman sungguh menyesalkan keadaan. “Apa pun itu, saya benar-benar memohon, Pak Saman. Sebelumnya saya belum pernah begini pada orang lain.” Berderai air mata, nenek Kanaya sungguh ingin menjadikan Intan bagian dari hidupnya. “Orang sebaik dia yang disia-siakan keluarga bahkan orang tuanya sendiri. Pak Saman bahkan sangat sedih dengan perjalanan hidupnya. Beri syarat agar dia kuat. Saya, ... saya sendiri yang akan membantunya!” Ia menatap Pak Saman penuh keseriusan. Isak pilu Intan yang turut disertai isak Diana sungguh membuat nalurinya berkobar-kobar. Berat, Pak saman menoleh ke sofa seberang bekas Arden duduk dan entah di mana sekarang pria itu berada. Kini di sana ada Diana yang duduk dan masih merangkul Intan. Intan yang berusaha tegar dan sesekali menyeka air matanya yang masih sibuk berlinang, menatapnya dengan banyak harapan. Intan tak ubahnya pengemis dan ia tahu, Intan begitu demi kebahagiaan Inara sekaligus orang tuanya. Padahal, Inara dan orang tuanya juga yang menjadi penyebab dari semua luka-luka Intan. “Sesuai yang Mas Arden dan Inara harapkan, saya hanya akan menjadi istri pengganti. Kami akan tinggal terpisah. Atau bila tidak, setelah acara pernikahan selesai dan hanya benar-benar untuk formalitas, kami bisa menjalani pembatalan pernikahan dan kami akan merahasiakannya sebelum akhirnya Mas Arden menikah dengan Inara.” Intan masih memohon, meyakinkan ketiga orang yang ada di sana. “Saya ingin kamu jadi istri sah Arden, bukan hanya sementara apalagi pura-pura!” tegas nenek Kanaya sambil menatap marah pada Intan. Intan terdiam tak bisa berkata-kata, benar-benar tidak percaya. Refleks, ia menggeleng takut. “Kenapa?” tanya nenek Kanaya dengan gayanya yang benar-benar galak. “K-karena ... karena Mas Arden, ... Mas Arden tidak mencintai saya. Yang Mas Arden cintai, ... Inara adik saya.” Intan masih meyakinkan. “Itu tidak penting!” tegas Nenek Kanaya. “Yang penting kamu bisa nyetir Arden.” Intan langsung menunduk bingung tapi cenderung takut. Takut apa yang terjadi apalagi keinginan nenek Kanaya, akan melukai Arden dan Inara bahkan keluarga mereka. Beberapa saat kemudian, nenek Kanaya dengan segala kuasanya, mengatur semua rencana sekaligus strategi agar Arden dan Intan benar-benar menikah, menjadi istri resmi Arden sekaligus menjadi bagian dari keluarga mereka. Tak ada yang boleh menolak apalagi menentang. Nenek Inara bahkan langsung meminta Intan untuk tinggal di sana. *** “Seperti namamu, Tan. Kamu itu sangat berharga tapi kamu boddoh! Kamu terlalu boddoh karena kamu selalu menyakiti dirimu sendiri!” omel nenek Kanaya tak lama setelah pak Saman pamit undur. Pak saman pulang setelah mengaturkan segala keperluan pernikahan Intan dan Arden. Iya, Intan dan Arden akan menikah. Mereka sepakat mengelabuhi Arden dan Inara maupun orang tua Intan. Apalagi Arden sudah bilang sendiri sanggup menikahi Intan secara resmi. Selebihnya, mengenai rencana Arden dan Inara, nenek Kanaya sendiri yang akan menggagalkannya. Belum lagi, sebenarnya menurut kepercayaan kejawen mereka, Inara hanya membawa pengaruh buruk pada Arden. Pengaruh buruk yang akan membuat Arden susah dan tidak pernah bisa diatur bahkan oleh keluarganya sendiri. Selain itu, masih dikata pak Saman, meski hubungan Arden dan Inara bisa dijalani, Arden yang akan banyak mengalami kesulitan. Arden diramalkan akan berurusan dengan banyak tindakan kriminal yang mengantarkan Arden ke ranah hukum bahkan penjara. Sementara pada Intan, Intan yang akan selalu mengalah bahkan tidak kuat. Namun bila mereka sama-sama berupaya mengendalikan Arden dan nenek Kanaya akan turun tangan, masih ada harapan. “Kamu cukup jalani saja sesuai rencana kita. Ingat, Tan, ... kami sangat peduli kepadamu. Kami ada untuk kamu, kamu memiliki kami. Andalkan kami di setiap kamu butuh apa pun tanggapan Arden dan keluargamu! Demi Arden, kamu sudah tahu apa yang akan terjadi pada Arden bila Arden tetap bersama Inara.” Nenek Kanaya menatap marah Intan yang duduk di sofa sendirian karena Diana tengah pamit menerima telepon. Ia berdiri tepat di hadapan Intan. “Tidak semua yang saling mencintai akan berakhir bersama apalagi menjalani pernikahan dengan banyak cinta. Tidak. Apalagi saya juga tidak yakin, bila Inara benar-benar mencintai Arden. Tak semata karena adikmu itu kurang sopan santunnya pada kami, tetapi ini mengenai keseriusannya yang lebih memilih mengorbankan pernikahan. Padahal bila dia tidak berangkat hari ini pun, kami tetap mengizinkan dia melanjutkan pendidikannya! Kami akan membiayai semuanya karena tanpa diminta pun, Arden pasti akan melakukannya! Benar-benar, dasar wanita egois!” Intan yang sedari tadi menyimak, buru-buru meminta maaf. “Bukan kamu yang salah!” bentak nenek Kanaya dan langsung membuat Intan tidak berani berkomentar. Intan mengangguk-angguk paham dan tak lagi berani berkomentar. Apalagi tak lama setelah itu, dari seberang, Diana mendadak bersorak girang sambil loncat-loncat. Mulut galak nenek Kanaya sampai mengatai sang putri gilla. “Sumpah, Jeng. Keyra hebat banget! Kejuaraan Shanghai, ... dan Keyra bisa menyabet juara satu! Ya ampun aku sampai merinding. Ah jadi nyesel kemarin nolak ajakan Jeng buat ikut ke situ!” Kabar baik dari sang sahabat membuat Diana melupakan beban hidupnya perkara pernikahan Arden, meski hanya untuk beberapa saat. “Kamu kenal Keyra? Keyra Miranti, dia balerina,” ucap nenek Kanaya yang perlahan duduk di sebelah Intan. Intan menggeleng dan memang tidak tahu menahu. “Tidak, Nek. Saya tidak kenal.” “Saya juga belum pernah bertemu dia secara langsung. Namun karena dia anak sahabat mamahnya Arden, dikit-dikit saya jadi kenal,” ucap nenek Kanaya. Dalam diamnya, Intan tengah merenung. Merenungi nasibnya yang diberi tanggung jawab oleh Diana dan nenek Kanaya untuk menjadi istri resmi Arden. Mereka peduli kepadaku dan aku harus berjuang menjadi istri Mas Arden! Mimpi apa aku sampai diminta menjadi istri bahkan bagian penting dari Mas Arden sekeluarga? batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD