SUAMI ONLINE 19 C
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Danesh dan Kenes hanya diam melihat Bu Hesti berani berbicara banyak pada Ratan. Jarak mereka yang sangat dekat menjadi terurai saat Ratan melangkah pergi dengan gontai meninggalkan cinta masa lalunya yang begitu indah tapi seperti bintang di langit. Jauh dan tidak tergapai.
Pria yang mungkin hatinya hancur dan patah entah untuk keberapa kalinya, terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Ia berjanji tidak ingin mengingat masa-masa di mana hatinya merasa sakit.
"Mbak Kenes, saya pulang dulu ya? Semoga ini menjadi pembelajaran buat kita semua," pamitnya sembari matanya melirik pria yang hampir menghilang di pertigaan gang.
"Iya. Makasih, Bu. Maaf sudah ngerepotin," ucap Kenes malu.
"Sama-sama."
Bu Hesti melangkah pergi meninggalkan pasangan pengantin baru yang menurutnya cukup kuat menghadapi segala ujian. Ia ikut bahagia. melihat Kenes bisa bertahan dengan pernikahannya.
Danesh menatap kepergian Bu Hesti dengan satu senyuman. Satu masalah besar telah teratasi. Kemungkinan akan menambah perasaan mereka semakin dalam dan kuat. Karena sejatinya ujian dan cobaan tidak selalu menghancurkan, tetapi juga bisa saling menguatkan.
"Kita masuk ya, Sayang .... udah malam juga. Mending sekarang kita istirahat," ajak Danesh yang langsung disetujui oleh sang istri.
Mereka berdua berjalan bersama menuju kamar. Tangan keduanya bergandengan erat. Pandangan mata sesekali terlempar dan mengukir satu senyum di bibir masing-masing.
Kejadian apa pun itu akan selalu menyisakan arti tersendiri. Baik lebih menyadarkan atau mengingatkan tentang segala hal yang menutup mata batin.
Kedua manusia itu mungkin akan bisa tidur terlelap untuk malam ini. Beban hati yang sempat memaksa masuk sudah keluar menyisakan banyak ruang untuk bernapas.
Sementara Ratan–pria yang baru saja merasakan patah hati terhebat melajukan motornya dengan air mata yang berderai. Ingatan tentang kedekatan dengan Kenes tiba-tiba muncul dalam benaknya. Di mana pernah bercanda dan tertawa bersama. Selalu saling menghibur ketika salah satu bersedih.
Semua itu seperti memori yang menyayat ulu hati. Kenangan itu sebentar lagi tidak akan pernah berarti sama sekali. Tanpa sadar, motornya membawa ke depan warung seblak Kenes. Karena terlalu memikirkan wanita yang kini milik orang membuat akalnya menyetir langkahnya menuju tempat biasa mereka bertemu.
Di bangku panjang dekat bunga-bunga itu bayangan mereka tertawa terlihat jelas di matanya. Hatinya semakin perih. Air mata pun kembali turun layaknya hujan yang membasahi kedua pipi. Tangannya memukul dadanya sendiri yang memanas.
"Nes ... aku harus bagaimana tanpamu? Kenapa kamu memilih dia ... kenapa?" rintihnya di sela tangisan. Luruh lemas raganya hingga kepalanya tenggelam di bawah tangan yang bersandar di motor.
Pandangan orang yang berlalu lalang sudah tidak dihiraukan lagi. Logika ingin bangkit dan mengusap air mata, tetapi akal berbanding terbalik. Kelakuannya sukses menjadi pusat perhatian seorang wanita yang kebetulan ingin singgah untuk mencicipi seblak di warung Kenes.
Namun, langkahnya tergerak ingin mendekat dan melihat. Siapa tahu sedang membutuhkan pertolongan. Tangan kanannya terulur menyentuh pundak pria yang masih menenggelamkan kepalanya.
"Mas ... enggak apa-apa?" tanyanya terdengar lembut.
Ratan mengangkat kepalanya mendapati sentuhan di pundaknya. Dengan cepat tangannya mengusap kedua pipinya. Ketika berbalik dirinya mendapati seorang wanita yang kecantikannya hampir sama jika disandingkan dengan Kenes.
"Mas ...?"
Suara lembut itu lagi-lagi menyapa rungunya. Bola matanya yang bening seakan memberi mantra untuk tetap menatapnya.
"Eh, iya ... ini tadi lagi liatin ban motor, takut kurang angin," jawab Ratan seolah menutupi sisi lemahnya.
Wanita itu tersenyum. Ia tahu jika pria di depannya hanya pura-pura. Padahal suara tangis itu sangat jelas terdengar terbawa suara angin.
"Masnya mau ke warung seblak juga?" tanyanya lagi karena melihat berhenti di depan warung milik istrinya Danesh.
"Em ... i-iya. Mbak mau ke sana juga? Bareng aja kalau gitu," jawabnya sedikit gugup.
Tanpa memberi jawaban, wanita itu berjalan bersama di sebelah sang pria yang menuntun motornya. Mereka menuju warung seblak yang letaknya sudah terlihat di depan mata. Suasana sudah mulai sepi karena setengah jam lagi warung akan tutup.
"Maaf, apa kamu baru pertama kali ke warung ini?" tanya Ratan setelah memarkir roda duanya. Cara wanita itu memperhatikan sekeliling seakan merasa takjub oleh kecantikan warung seblak milik wanita yang telah mematahkan hatinya.
Ada rasa panas yang masih menumpuk dalam d**a menginjakkan kaki kembali di warung ini. Namun, ia hiraukan.
"Iya. Aku baru pertama kali. Ingin membuang rasa dalam d**a lewat makan seblak yang pedes banget," jawabnya sembari menatap ke arah pria yang kemungkinan besar habis ditolak cewek.
"Makan pedes lumayan bisa buat rasa marah hilang loh ... gimana kalau kita sama-sama buang perasaan itu?" tanyanya lagi sembari tersenyum.
Ratan menelan ludahnya. Ia tidak menyangka kalau wanita di depannya bisa tahu keadaan hatinya.
"Bo-boleh. Ya udah, masuk yuk ... takut keburu tutup," titahnya lalu melangkah lebih dulu masuk ke warung. Wanita itu mengikuti dari belakang.
Yuyun dan Anto seketika saling pandang menyadari pengunjung yang baru saja datang adalah Ratan. Ada rasa jengah jika harus meladeni sikapnya yang kekanakan. Namun, rasa itu mereka urungkan melihat wanita yang berjalan di belakangnya.
Yuyun masih mengingat wajah wanita itu dengan baik saat bertemu di kebun sayur milik Mas Bos.
"Kok, bisa wanita itu datang bareng si biang kerok? Apa mereka saling kenal?" batinnya.
Anto yang melihat perubahan sikap Yuyun menjadi ingin tahu.
"Apa kamu kenal sama wanita itu? Kok, liatnya begitu amat?" tanyanya. "Buruan sana ditanya mau pesan apa? Mereka pengunjung terakhir," imbuh Anto lagi kemudian berlalu ke dapur membuat persiapan.
Yuyun menghentakkan kakinya ke lantai. Desahan kasar dari bibirnya keluar begitu saja.
Keributan tempo hari masih membekas kuat dalam ingatan. Ia tidak ingin hal itu terjadi lagi.
"Apa yang harus aku lakukan? Haruskah menelpon Mbak Bos jika terjadi sesuatu seperti kemarin? Ah, tapi Mbak Bos aja lagi sedih habis kehilangan cincin kawin. Aku harus bagaimana?"
----***----
Bersambung