BAB 1
SUAMI ONLINE
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Menikah dengan suami yang rupawan dan mapan akan menjadi idaman setiap perempuan, termasuk Kenes Nismara. Hidup menua dan saling mencintai bersama suami sampai nanti, sampai mati. Akan tetapi, itu hanya sebatas mimpi baginya.
Usianya yang hampir tiga puluh tahun, ia masih menyandang gelar jomlowati elegan. Kenapa elegan? Karena meskipun jomlo, ia tidak pernah memberikan harapan palsu pada laki-laki. Sakit rasanya.
Padahal jika mau mengingat sudah ada beberapa pria yang ingin serius menjalin hubungan. Namun, hati belum tergerak sama sekali. Tidak ada pria yang bisa menarik hatinya. Semua pria yang mendekat hanya mengincar keberhasilannya. Tanpa pernah tahu bagaimana prosesnya.
Sebagai wanita karir yang berada di puncak kesuksesan, seharusnya bisa mudah mendapatkan jodoh. Tangan tinggal menunjuk sesuai kriteria yang diinginkan. Namun, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kenes memilih sendiri daripada harus dituntut menikah karena usia. Ia ingin menikah apabila sudah waktunya. Ia percaya jodohnya sudah disiapkan Tuhan. Meskipun sering meminta di setiap sujudnya, tetapi nyatanya sosok itu belum juga menghampirinya. Mungkin tersesat di tengah pencarian.
Sosok pria yang bisa membuat dirinya jatuh hati pada pandangan pertama, masih ditunggunya dengan setia. Ia sampai melupakan usia yang semakin tua.
Kenes adalah perempuan tangguh. Hidupnya digunakan untuk bekerja dan bekerja. Meski bukan pegawai negeri, tetapi hasil dari usahanya cukup lumayan. Ia membeli apa pun yang diinginkan untuk menunjang penampilannya.
Satu hal yang ia tidak bisa ... pria. Kenes tidak bisa membelinya.
Setahun sudah ia memilih pergi dari rumah meninggalkan orang tua dan belajar hidup mandiri. Kenes menyewa rumah yang terbilang cukup untuk tinggal seorang diri di dekat Alun-Alun kota. Ia sengaja berlari dari tuntutan sang ibu dan bersembunyi di balik kesibukan.
Kenes masih mengingat ucapan sang ibu ketika menyampaikan niatnya. Ada rasa tidak rela kala itu. Wajahnya menyiratkan rasa kecewa melihat anaknya enggan menikah.
“Pikirkan lagi, Enes ... mending kamu menikah saja. Jadi kamu tak perlu kerja. Usiamu juga sudah matang. Buat apa banyak uang kalau suami saja kamu tak punya. Kamu mau dikatai perawan tua?”
“Aku bukan perawan tua hanya karena belum menikah. Jadi berhentilah memaksaku, Bu ....”
Ekspresi sang ibu yang mencoba menerima keputusan anaknya membuat d**a merasa nyeri. Kenes tanpa sengaja menyakiti hati keduanya. Seiring berjalannya waktu, mereka memilih mengalah menerima kemauan sang anak.
Semarah apa pun orang tua, ia akan selalu menyayangi anaknya. Sedangkan anak selalu mendekat, meski diusir beberapa kali.
Sekarang ia bisa membuktikan kerja kerasnya. Satu tahun lebih merintis warung seblak akhirnya membuahkan hasil. Kenes memiliki beberapa cabang yang tersebar di beberapa titik ramai. Untuk mencapai proses itu dibutuhkan banyak tenaga dan pikiran super ekstra. Pengorbanan waktu dan juga cintanya ikut menjadi sasaran.
Untuk membuat pelanggan tidak bosan, Kenes mencoba penambahan toping berbeda. Mulai dari rasa original, toping ceker, bakso, dan masih banyak lagi. Level kepedasan juga ada tingkatannya sendiri, dari level satu sampai level tujuh. Konsep warung yang diusung untuk nongkrong kawula muda ternyata mampu menarik pembeli dari berbagai kalangan.
Bagi pencinta pedas, tempat ini cukup banyak yang memburu, khususnya para remaja. Selain itu, untuk tempat nongkrong minum kopi atau santai dengan pacar dan keluarga, 'Waroeng Seblak Kenes' adalah rekomendasi yang tepat. Apalagi dilengkapi full musik. Pengunjung dipastikan betah tinggal berlama-lama. Lampu warna-warni juga semakin menambah keramaian.
Ada juga yang hanya datang untuk segelas teh manis sembari memandang pemilik warung. Tidak dimungkiri, Kenes memiliki wajah cantik dengan kulit yang bisa dibilang tidak putih dan juga hitam, tetapi itulah titik pesonanya.
Jadi, wajar saja kalau penampilan Kenes mengundang lelaki mendekat ke warungnya.
Ketika ada waktu senggang, Kenes menggunakan untuk beristirahat. Ponsel yang bergetar di meja sedikit mengagetkannya. Kenes tetap menjawab meski enggan menerimanya. Nama sang ibu menghiasi layar ponselnya.
"Halo, Bu ...."
"Kamu kapan balik, Kenes?"
Kenes menghela napas dalam. Ia tahu tujuan kepulangannya pasti akan dikenalkan dengan laki-laki.
"Masih sibuk, Bu. Mungkin bulan depan. Apa ada hal penting?" tanya Kenes.
"Ibu sudah nemu calon suami buat kamu. Pokoknya kamu pasti suka. Dan dia bisa menikahimu kapan saja. Dia lelaki baik, sopan, pekerja keras, ganteng ... pokoknya pas." Suara Ibu terdengar antusias akan perjodohan ini.
Sebenarnya bukan perjodohan, tepatnya pemaksaan.
Kenes lagi-lagi terdiam, menolak sama saja akan menyakiti hati ibunya. Namun, soal hati bukankah tidak bisa dipaksa?
"Kenes enggak janji, Bu. Tapi kalau untuk ketemu dulu, sih, oke ...." Kenes masih berupaya mengulur waktu.
"Ndak perlu. Jumat depan kalian langsung ijab. Kalau kamu sibuk, enggak perlu pulang tidak apa. Biar calon suami sama saksi dan wali serta penghulu saja yang hadir. Nanti dihubungkan lewat video call," jelas sang ibu lagi.
"Segitunya Ibu nyuruh aku nikah? Masa nikah virtual sama orang yang tidak kenal? Sama aja kayak beli kucing dalam karung," gerutu Kenes dalam hati. Mungkin kesalnya sudah sampai di ujung kepala.
Kenes merasa jenuh disuruh menikah terus menerus, karena menikah bukan perkara mudah. Melainkan menyatukan dua visi untuk satu tujuan. Akan tetapi, sekarang sepertinya mengalah menjadi pilihan terbaik. Ia tidak mau menjadi anak yang tidak berbakti.
"Kamu denger enggak? Pokoknya, Ibu tidak mau denger penolakan apalagi pembantahan. Sudah cukup, Ibu nururti kemauanmu. Sekarang giliran kamu yang nurut," tegasnya lagi. Lalu sambungan telepon terputus begitu saja.
"Aaarrrggghhh ...!"
Kenes memaki diri sendiri sembari mengacak rambutnya. Ucapan Ibu sepertinya tidak main-main kali ini.
"Masa aku nikah pakai virtual sih? Jaman udah modern malah mau punya suami online. Ketemu juga belum, udah main ijab. Kan, hati jadinya kayak terjerembab," ucap Kenes lirih. Seakan merutuki nasibnya sendiri.
Seseorang diam-diam memperhatikan gerak dan ekspresi wajah yang menurutnya lucu juga menggemaskan.
Wanita cantik yang penampilannya sebelas dua belas dengan orang jalanan. Cara memakinya juga sama persis. Tawanya hampir saja pecah melihat tingkahnya yang berbanding terbalik dengan wajah ayunya.
"Mbak, oke, kan?" tanya seseorang itu yang tergerak ingin mendekat.
Kenes mendongak, menatap orang yang bertanya padanya. Sekali, ia mengedipkan matanya. Kedua, matanya tak berkedip memandang makhluk ciptaan Tuhan yang nyata. Suaranya terdengar merdu dan mampu menghipnotis akal sehatnya.
Meskipun masker menutupi separuh wajah, tetapi matanya memancarkan aura wajah rupawan.
"Eh, oh, aku oke. Ada yang bisa dibantu?" tanya Kenes setelah perasaanya kembali mode biasa. Padahal dalamnya luar biasa. Berantakan.
"Ma-maf ... rambutnya," tunjuknya ke arah rambut yang seperti sarang burung.
Seketika Kenes merapikan rambut dengan ujung jarinya. Apes! Pertama bertemu pria yang masuk dalam impiannya justru dalam keadaan berantakan.
Malu? Banget lah.
Sang pria menatapnya lekat, membuat Kenes salah tingkah. Cara dan gayanya terlihat natural, tanpa dibuat-buat. Ia menyukainya.
Pria lain biasanya pasti sudah merayunya dengan ciri khas gaya buaya kelaparan. Kenes langsung memberikan penolakan. Penolakan yang langsung membuat Kenes ingin segera berlari.
Dering ponsel menjeda obrolan mereka sejenak. Sang pria memberi kode untuk menerima panggilan telepon. Kenes merespon dengan mengangguk disertai senyum.
Jarak yang tidak terlalu jauh, membuat Kenes dapat mendengar pria itu berbicara.
"Iya, Ma. Ini aku lagi mau menuju ke tempat. Aku akan lakukan apa pun untuk Mama. Termasuk menikah dengan wanita pilihan Mama. Ya udah, aku mau lanjut jalan lagi."
Ada rasa yang entah apa merasuk ke jiwa. Kenes seakan sakit tapi tidak tahu karena apa. Saat ia mendengar mau menikah, layu sudah bunga yang baru saja mekar. Hatinya patah seketika menjadi dua.
Nasibnya ternyata sama-sama dijodohkan. Bedanya, ia masih enggan menerima, sedangkan pria itu ... menerima.
Pria itu kembali mendekat setelah memasukkan ponsel ke saku. Ada rasa penyesalan mengapa pertemuan ini terjadi sekarang. Kenapa tidak seminggu sebelumnya saat belum ada perjodohan.
"Mbak, teh manisnya berapa?"
"Tiga ribu, Mas."
Pria itu memberikan selembar kertas berwarna biru. Kenes menerima dengan gemetar. Bukan karena saling bersentuhan jemari, tetapi karena kembaliannya tidak ada. Ia lupa menukar uang receh.
"Em, maaf, Mas ... kembaliannya belum ada," ucap Kenes sambil mengembalikan lagi. "Enggak usah bayar aja. Hari ini teh manis sedang ada promo gratis. Itung-itung ngerayain besok Jumat mau nikah," imbuh Kenes sok baik. Padahal hatinya sudah kejungkir bolak-balik.
"Mbak-nya mau nikah hari Jumat? Kok, sama? Aku juga mau nikah hari itu. Wah, bisa barengan ya?" Pria itu bertanya seolah berpikir nasibnya sama.
"Ya bisa. Kan, memang para jomlo masih banyak yang gentayangan. Kayak aku gini. Yang enggak bisa itu, kalau kita tukeran jodoh," jawab Kenes asal. Sang pria tertawa mendengar ucapan wanita yang sikapnya apa adanya.
Lagi, Kenes merasa tersihir melihat tawa manisnya yang mengandung gula. Desiran dalam d**a tetiba datang tanpa diundang, membuat hati seakan dipenuhi suara kendang.
"Mbak bisa aja. Namanya siapa?" tanya sang pria.
"Kenes. Kenes Nismara."
"Aku, Emran. Senang bertemu denganmu, Ken-ken."
Ada rasa seperti mendapat banyak gulali mendengar panggilannya berubah imut. Manis.
Setelah perkenalan tanpa jabat tangan, Emran berlalu meninggakan impian demi kenyataan yang tampak di hadapan. Rasa yang ada mungkin disimpan di tempat aman.
Kenes mau tidak mau harus merelakan pertemuan menjadi kenangan sekaligus bayangan. Bayangan tentang khayalan memilikinya.
Ah, kenapa dalam hidup yang namanya kenyataan selalu menjadi hal yang menakutkan.
"Coba aja calon suaminya bisa diganti sama Emran. Boleh bermimpi, kan, ya?"
Mimpi jangan di siang bolong!
-----***-----
Bersambung