BAB 10

1637 Words
SUAMI ONLINE 10 Oleh: Kenong Auliya Zhafira Kecurigaan yang tidak ada buktinya bisa menjadi fitnah dan berujung kesalahpahaman. Kenes masih berusaha membuang jauh pikirannya tentang dia. Ia tidak berpikir negatif sebelum mendapatkan bukti. Dulu, ia sudah menjelaskan banyak alasan karena tidak bisa menerima hubungan yang pernah ditawarkan olehnya. Patah hati memang sakit, tetapi jika sampai membuatnya menjadi penguntit, itu cukup keterlaluan. Kenes tidak bisa membayangkan jika dia benar-benar melakukannya. Atau mungkin penolakan itu membekas begitu kuat? Kenes sudah pernah meminta maaf padanya saat malam purnama di depan warungnya. Bulan dan bintang yang menjadi saksinya. Malam itu, ia terlihat legowo dan bisa menerima keputusannya. Akan tetapi, dalamnya hati tidak ada yang tahu. Bisa saja ia terluka karena penolakan waktu itu. Danesh memperhatikan wajah Kenes yang penuh tatapan kosong. Ia pasti menjadi khawatir karena ucapannya. Niat hati hanya ingin bercerita bukan untuk membuatnya gelisah. "Sayang ... kok, malah melamun? Emang kamu tahu siapa orangnya?" tanya Danesh sembari mengelus lembut tangan wanitanya. Kenes menoleh saat merasakan sentuhan pada tangannya. Senyumnya merekah untuk menutupi kegelisahan hati yang semakin banyak bermunculan. "Enggak apa-apa. Aku enggak melamun. Aku juga lagi mikir, kira-kira siapa orangnya," elaknya lalu memandang langit-langit dalam kamarnya. Danesh mengusap lembut kepala Kenes dan mengecupnya singkat. "Enggak usah terlalu mikirin yang aku tanyakan. Mungkin saja pria itu sedang berteduh," ucap Danesh untuk menenangkan pikiran sang wanita yang mulai memberikan sinyal untuk pernikahan ini. Sentuhan tangan Danesh di kepala semakin membuat Kenes merasa mengantuk. Perlahan, kedua matanya mulai terasa berat, kemudian tertutup dengan mudahnya. "Selamat tidur siang, Ken-ken," ucapnya lalu memberikan kecupan singkat di bibir yang sedikit kemerahan. Setelah memastikan Kenes tertidur, Danesh juga ikut merebahkan dirinya. Ia ingin menidurkan sedikit raganya yang beberapa hari ini sudah cukup lelah karena pikiran. Harapan melupakan sejenak tentang semua problema kehidupan yang merenggut hampir seperempat waktunya. Danesh mencoba menutup kedua matanya, menyusul wanita yang lebih dulu tamasya ke alam mimpi. Sebelum mata menyerah oleh rasa kantuk, Danesh melantukan janji akan menyelesaikan masalahnya satu per satu. Mulai dari memberitahu Danesh dan Emran adalah orang yang sama, mencari tahu tentang pernikahannya, dan tentang pria yang berteduh di bawah pohon mangga, juga masih banyak lagi. Danesh akhirnya menutup mata dan memasuki alam bawah sadarnya. Ketika tidur, ia bisa melakukan hal yang di luar dugaan. Ia terkadang bisa memeluk apa pun yang berada di sebelahnya, baik bantal guling atau pun teman tidurnya. Itu benar adanya. Mereka bisa tidur dengan berbagai gaya dalam waktu satu jam. Kenes yang sering mengganti posisi, Danesh yang selalu membawa Kenes dalam pelukan. Sebagai lelaki kadang tidak membutuhkan waktu lama untuk tidur siang. Danesh sudah membuka matanya lebih dulu. Ketika matanya terbuka, ia melihat Kenes yang tertidur pulas menghadap dirinya dengan mulut sedikit terbuka. Danesh mengangkat kedua tangannya yang telah lancang memeluk Kenes dengan pelan, takut membuatnya terbangun. Senyum Danesh merekah ketika menatap Kenes tidur. Ia bisa menatap wanita yang berhasil memikatnya dengan unik lebih dekat. Kenes memiliki bulu mata yang lentik. Hidungnya juga sederhana, setengah mancung dan setengah pesek. Dagunya apalagi ... lancip, sesuai sama wajahnya. Danesh menurunkan lagi pandangannya dan berhenti pada satu titik yang membuatnya ingin menyentuhnya. Ya, bibir. Kenes memiliki bibir yang tidak terlalu tipis dan tebal tapi cukup menggoda imannya sebagai seorang lelaki. Entah mendapat keberanian dari mana, Danesh menyentuh bibir kemerahan itu dan mengusapnya lembut. Sekali lagi, setan memegang kendali atas raganya. Danesh perlahan mendekat dan memberinya kecupan lembut di atas bibir yang seperti madu. Kenes tersenyum dalam tidurnya setelah mendapat ci*man sederhana dari Danesh. Ia mungkin sedang bermimpi indah. "Mas ...." Kenes mengigau dengan bibir maju seperti akan mencium seseorang, persis ikan cupang. Danesh seketika tertawa manja melihat sisi lain dari Kenes. Bisa-bisanya ia tertidur dengan mimpi m***m. "Ken-ken ... mimpi apa kamu sampai bibir monyong begitu," batin Danesh. Ada rasa tersendiri bisa melihat Kenes dengan segala sisi lainnya yang tidak pernah ia sadari. Senyum semakin merekah ketika wanita di sampingnya membuka kedua matanya. Kedua tangan yang meregang seketika menggantung melihat wajah pria di sebelahnya tersenyum. "Selamat sore ... mimpinya udah selesai?" sapa Danesh. "Mim-mimpi?" Emang kalau mimpi bisa ketauan?" tanya Kenes yang masih merasa bingung. "Iya lah! Kamu aja mimpinya sampai monyong itu bibir. Hayo ... mimpi 21+ ya?" goda sang pria. "Enggak! Enak aja! Kamu tuh ... udah, sih! Aku mau mandi dulu." Kenes buru-buru bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi. Ia lebih baik menghindar dan menyembunyikan wajahnya yang menghangat menahan malu karena ketahuan mimpi dicium oleh Danseh. Setelah punggung wanita itu tidak terlihat, Danesh memilih keluar untuk membasuh wajahnya di teras depan. Guyuran air dari slang di dekat tanaman memberikan kesegaran yang cukup. Ketika sedang mengeringkan wajah dengan handuk kecil, telinganya mendengar suara sapaan dari seorang perempuan. "Sore Mas ...." Danesh berbalik. Wanita yang usianya seumuran dengan ibunya sedang berdiri tersenyum penuh arti. "Sore, Bu ... ada yang bisa saya bantu?" jawab Danesh sopan. Ia seperti pernah melihat di suatu tempat, tetapi lupa di mana. "Saya cuma mau kasih ini ...." Wanita itu mengulurkan dus berwarna putih. Meskipun ragu, Danesh menerima pemberiannya. "Makasih, Bu. Kalau boleh tahu, ini apa ya?" tanya Danesh agar nanti tidak salah memberi info pada Kenes. "Ini makanan ringan aja, kok, Mas. Sesama tetangga, kan, biasa saling berbagi. Mas, orang baru ya? Kayak pernah liat tapi di mana ...." Wanita itu memperhatikan Danesh dari ujung kepala sampai kaki. Wajah pria di depannya seperti tidak asing. "Ah, iya! Masnya suami online-nya Mbak Kenes, kan? Iya, sekarang saya ingat," ucap wanita itu dengan menepuk tangannya. "Su-suami online?!" ucap Danesh terbata. Ia bingung kenapa wanita di depannya bisa tahu istilah suami online. "Iya. Kan, Masnya nikah di ponsel. Saya kemarin yang nemenin Mbak Kenes. Kasian tiap hari liat Mbak Kenes pulang malam, enggak ada yang nyambut, enggak ada yang antar jemput. Tapi sekarang lumayan senang Mbak Kenes sudah punya orang yang selalu menemani. Saya turut bahagia untuk kalian. Masnya yang sering ngalah sama Mbak Kenes, ya?" pesan wanita itu setelah menceritakan kedekatan mereka. Danseh merasa tenang ada satu orang yang mengetahui statusnya dengan Kenes, setidaknya ada yang mendukungnya. "Makasih, Bu, doanya. Insyaallah saya akan mencoba belajar memahami Kenes. Sekali lagi terima kasih untuk doa dan makanannya," jawab Danesh seraya menganggukkan kepala. "Sama-sama, Mas. Salam buat Mbak Kenesnya. Saya pamit," ucapnya kemudian berlalu pergi. Hal semacam inilah yang membuat Danesh betah tinggal di desa. Rasa toleransi dan kekeluargaan sesama tetangga terkadang mampu menjalin satu hubungan yang seperti saudara. Tidak semua tetangga itu kepo dan sok tahu dengan semua kegiatan kita. Masih ada banyak tetangga seperti wanita yang baru saja pergi. Danesh kembali masuk rumah sembari tangannya membawa dus. Saat baru meletakkan di meja, Kenes yang sudah selesai mandi langsung mendekat dan menunggu dus itu terbuka seperti anak kecil. Ia mungkin lapar. "Dari siapa, Mas?" tanya Kenes sambil menatap Danesh yang sibuk membuka penutup dusnya. "Dari ibu-ibu yang nemenin pas kamu nikahan. Tadi lupa mau tanya namanya," jawabnya. Tangannya sibuk membuka tali rafia yang mengikat dusnya. Sebelum talinya terlepas, Kenes berdiri mengambil dua piring dan sendok lalu duduk ke posisi semula. "Maksudnya ... Bu Hesti? Bilang ada apa enggak?" tanya Kenes yang masih menunggu melihat isinya. "Enggak. Cuma bilang pengen berbagi, itu aja." Setelah beberapa menit berjuang, akhirnya Danesh berhasil melepas talinya. Isinya terlihat cukup mewah. Ada tiga kotak kecil dengan isi sayur berbeda: kentang balado, mi, dan kering tempe. Satu kotak ukuran sedang berisi ayam goreng Upin Ipin, telur asin, dan tempe goreng. Semua itu membuat perut keduanya keroncongan. "Ini piringmu." Kenes menggeser satu piring ke arah Danesh. Ia langsung memilih sayur yang terlihat enak lalu memakannya. Cacing dalam perutnya mulai protes karena sejak pagi hanya makan nasi goreng dan cemilan. Danesh memperhatikan Kenes dengan heran tingkat tiga. Wajahnya begitu berbinar melihat makanan. Namun, senyumnya memudar ketika tangannya ditahan oleh Danesh saat memasukkan sendok ke mulut. "Tunggu!" cegahnya. Kenes menghela napas. Ia menjadi kesal karena harus menunggu kenyang gara-gara ulah sang pria. Sendok yang berada di genggaman terpaksa diletakkan kembali di piring. "Ada apa, sih?" tanya Kenes, jengkel. Orang kalau lagi lapar bisa berubah bar-bar. "Doa dulu ... biar enggak keselek," titahnya. Seketika Kenes menadahkan kedua tangannya membaca doa mau makan dalam hati. Hatinya nyeri karena urusan seperti anak TK diingatkan oleh Danesh. Kenes menyadari sering melupakan jika kesibukannya membuat waktu makan siang atau malam menjadi singkat. Setelah berdoa, Kenes menyantap makan malamnya dengan semangat. Ia merasa menemukan sisi baik karena mempunyai teman hidup. Teman yang mengingatkan dalam hal kebaikan. Acara makan kali ini menjadi momen terindah selama hidup, di mana Danesh bisa makan ditemani wanita spesial dengan status yang juga spesial. Menatapnya dalam diam, akan selalu menggetarkan hati untuk terus berjuang memiliki wanita yang sekarang tengah makan dengan lahap. Danesh berpikir kalau perjodohan ini memang kehendak Tuhan. Ketika melihat gerak tangannya mencari sesuatu, ia segera memberikan air minum. Meski sempat beradu tatap, Kenes langsung mengambil dan meminumnya. "Pelan-pelan ... nanti tersedak, bahaya," tutur Danesh lembut. Kenes tetap meneguk air seperti biasa. Namun, suara dering ponsel dalam saku membuatnya terbatuk. "Kan, udah dibilangin minumnya pelan-pelan. Bandel juga kamu," ucap Danesh sembari mendekat dan mengusap lembut punggung sang istri. "Ma-maaf ... tadi kaget ada telepon." Kenes mencoba bersikap biasa dengan perlakuan yang diberikan Danesh. Ia berusaha menyadarkan angannya dengan mengambil ponsel yang sejak tadi menjerit ingin diperhatikan. Kenes mengernyitkan dahi. Tidak biasanya ada telepon dari orang warung. Karena sudah menjadi kebiasaan Kenes jika akan cuti atau sibuk kegiatan lain, ia akan meninggalkan catatan yang begitu komplit untuk keperluan warung. Namun, sekarang .... Kenes segera menggeser tombol hijau. Suara Yuyun, orang kepercayaannya terdengar sedikit panik di seberang sana. "Halo, Mbak Bos ... bisa ke warung sekarang enggak?" tanyanya. "Apa ada masalah, Yun?" "Sedikit, Mbak Bos. Cepetan ke sini ya ... saya tunggu." Kenes berpikir sejenak. Dari sambungan telepon, samar terdengar ada suara keributan kecil. Kenes lumayan mengenali suara itu. Raganya tiba-tiba melemas saat mengetahui siapa yang sedang membuat keributan di warungnya. "Kenapa dia harus datang lagi? Bukankah dulu semua urusan sudah selesai secara baik-baik?" -----***---- Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD