SUAMI ONLINE 20 C
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Kenes bangkit dan berdiri sembari menghirup napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Jalan takdir memang unik dan tidak pernah bisa ditebak. Ia percaya kalau usaha dan doa ibu akan selalu menjadi senjata utama untuk merayu Tuhan.
"Mungkin lantainya udah kering setelah istirahat beberapa menit. Tinggal mengumpulkan baju kotor dan mencucinya. Faighty!" ucapnya penuh semangat empat lima.
Kenes melangkah memasuki rumah yang langsung terasa sejuk setelah dibersihkan. Wangi lavender juga masih tercium kuat oleh hidungnya. Ia menuju ke kamar dan membawa keranjang berisi pakaian kotor. Namun, sebelum itu Kenes membereskan kamarnya. Mulai dari melipat selimut dan menata bantal.
Biasanya ia hanya melipat dengan asal, tetapi kali ini ia melipatnya dengan rapi. Setelah semua selesai, ia membawa keranjang yang ada beberapa baju kotor ke kamar mandi. Satu mesin cuci sudah bersiap sedia meringankan bebannya.
Pakaian kotor dimasukkan ke mesin cuci setelah Kenes menyikat beberapa pakaian yang terlalu kotor. Setelah semua siap, Kenes memilih menunggu di depan kamar mandi dengan duduk di kursi plastik.
Tiga puluh menit menunggu membuat matanya lama-lama merasa mengantuk. Mesin cuci yang terus berputar tanpa henti malah terdengar seperti nyanyian nina bobo.
Sementara Danesh langsung pulang ketika membaca pesan kalau Kenes sudah berada di rumah. Ada rasa khawatir karena terjadi sesuatu hingga memilih pulang tanpa menunggu dirinya.
Pria yang tengah gugup karena rasa gelisah memikirkan istrinya melangkah pergi begitu saja tanpa berpamitan pada orang tua. Ia bergegas melajukan motor dengan kecepatan sedang. Jalanan seakan mengajak berlomba untuk sampai di tempat tujuan.
Dua puluh lima menit terlewati dengan hati yang berdebar di setiap detiknya. Pikirannya terus tertuju keadaan Kenes. Bayangan saat pria yang pernah ditolaknya kembali datang tanpa henti.
Danesh memarkir motor di halaman rumah. Dengan perasaan campur aduk, ia melangkah cepat masuk ke rumah. Namun, melihat pintu rumah sedikit terbuka malah menambah ketakutan itu. Matanya melihat ada yang berbeda dengan keadaan rumah. Rasa dingin begitu nyata terasa di telapak kakinya.
Aroma wangi lavender yang tersisa masih tercium hidungnya meski tidak sekuat aroma aslinya.
"Apa Kenes habis bersih-bersih rumah?" batinnya dalam hati sembari melangkah mencari sang istri.
Dari ruang tamu yang sudah kinclong, sampai kamar yang terlihat rapi, Danesh tidak menemukan istrinya. Langkahnya kembali berjalan ke dapur, dan matanya melebar mendapati Kenes sedang tertidur dalam kondisi duduk dan bersender pada dinding.
"Kenapa tidur di sini," gumamnya. Matanya melirik kamar mandi yang pintunya terbuka. Mesin cuci berada di sana dan sudah berhenti berputar.
Tangannya bergegas memutar tombol untuk membuang air kotor bekas cucian. Sembari menunggu habis, Danesh menggendong sang istri hingga ke kamar. Ia membaringkan tubuh Kenes ke tempat tidur dengan hati-hati. Wajahnya memperlihatkan rasa lelah. Meski begitu cantiknya tidak hilang sama sekali.
Danesh mengusap pipinya lembut lalu mengecup keningnya sekilas. Karena terlalu lelah, Kenes tidak menyadari ulah sang pria.
Setelah memastikan Kenes kembali tidur dengan nyaman, ia bergesas menuntaskan cucian. Danesh kembali menuang air dan pewangi, kemudian memutar tombol dengan durasi waktu lima belas menit. Baginya waktu menunggu cucian baju tidak selama menunggu Kenes membuka matanya.
Sebagai suami yang baik itu harus selalu siap diandalkan meskipun bukan kegiatan privasinya. Karena ini adalah bentuk kepedulian untuk saling menjaga keharmonisan sebuah rumah tangga.
Ketika mesin berhenti kedua kali, maka berarti sudah selesai dan wangi. Danesh mengambilnya dan memasukkan dalam keranjang lagi. Kemudian membawa ke halaman rumah untuk melalui tahap pengeringan alami. Maklum, mesin cuci di sini adalah peninggalan dari pemilik rumah.
Di bawah panas matahari yang lumayan panas, Danesh menjemur satu per satu pakaiannya. Tepat di jemuran terakhir, suara motor terdengar jelas memasuki halaman rumahnya.
Danesh memperhatikan dua orang yang memakai helm dengan kaca tertutup. Namun, ia bisa hafal kalau itu adalah mertuanya.
"Apa karena Kenes tahu kedatangan mereka? Jadi, dia mempersiapkan semuanya sendiri?" tanyanya dalam hati.
Setelah meletakkan keranjang di sisi jemuran baju, Danesh menghampiri mereka dan menyambutnya.
"Assalamu'alaikum, Nak Danesh?" sapanya ramah. Sementara bapak mertua membawa setengah kantong besar yang isinya lumayan berat.
"Wa'alaikumsalam. Ya Alloh, Bapak sama Ibu kapan datang? Kok, enggak telepon dulu ... kan, biar nanti aku jemput," ucap Danesh yang menyambut tangan ibu mertua dan mencium punggung tangannya dan beralih ke bapak mertua.
"Tadi pagi udah telepon Kenes. Kenesnya mana?" tanyanya dengan senyum yang entah apa artinya melihat Danesh semakin segar setelah menikah.
"Kenes lagi tidur, Bu. Mungkin kecapean. Kan, dia selalu sibuk. Mari masuk, Pak, Bu ...." Danesh berinisiatif membawakan kantong yang dibawa oleh bapak mertua, lumayan berat.
"Bapak bawa beras sedikit biar kamu enggak beli. Terus ada beberapa pisang yang kemarin baru panen," kata bapak mertua setelah mereka sampai di ruang tamu.
Danesh langsung meletakkan kantong itu di dapur sekalian membuat minum untuk mertuanya. Teh manis hangat kesukaan ibu dan kopi s**u andalannya bapak mertua.
Setelah dua gelas berada dalam nampan, Danes kembali menuju ruang tamu.
"Minum dulu, Pak, Bu ...." Danesh memberikan pelayanan layaknya seorang menantu idaman.
Ibu mertua terlihat manggut-manggut menatap keadaan rumah yang tidak terlalu mewah. Akan tetapi, dia merasa nyaman karena keadaan rumah yang bersih dan wangi.
"Kenes gimana, Nak? Enggak ngerepotin, kan?" tanya bapak mertua setelah meneguk kopi susunya.
"Enggak, Pak. Malah aku yang sering ngerepotin," jawab Danesh tersipu malu.
Ibu mertua yang baru saja meletakkan gelasnya di meja juga ikut menimpali, "Kamu yang sabar ngadepi Kenes, ya? Kadang dia keras kepala, tapi sebenarnya anak yang baik."
"Iya, Bu ...."
"Pokonya jangan menyerah."
Danesh tersenyum karena kedetakan dengan keluarga Kenes selalu gampang terjalin. Saling bercanda sudah seperti hal biasa bagi mereka. Padahal jarang bertemu. Suara tawa mereka bahkan sampai terdengar ke kamar.
Kenes yang merasa sedikit terganggu menjadi terbangun. Kedua matanya terbuka perlahan menatap langit kamar. Kepalanya mengingat kalau tadi sedang mencuci pakaian. Namun, sekarang ia tertidur di kamar.
Suara itu ....
Ia bergegas bangkit dan berdiri keluar kamar. Suara itu adalah suara yang sangat dikenalnya, siapa lagi kalau bukan wanita yang melahirkannya.
"Mampus! Tadi lagi nyuci ... kalau sampai nanti tahu cucian ditinggal tidur, bisa kena ceramah tiga hari tiga malam. Mau ditaruh mana ini muka, apalagi suami sudah pulang."
------***-----
Bersambung