SUAMI ONLINE 21 A
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Setiap kekurangan yang kita punya pasti tidak ingin terlihat di depan pasangan. Entah itu sifat atau pun kebiasaan. Bukan karena tidak boleh mengenal lebih bagaimana karakter asli kita, melainkan karena hati yang belum siap menanggung rasa malu.
Dengan langkah yang dibuat setenang mungkin seperti pencuri, Kenes berjalan mengendap menuju kamar mandi. Kedua matanya melotot menatap mesin cuci yang isinya kosong, tetapi colokan masih tertanam pada stopkontak.
Perlahan tangan Kenes menarik colokan dan meletakkan di atas mesin cuci. Kepalanya terus mengingat kejadian saat di mana dirinya duduk di kursi menunggu bilasan baju berhenti.
"Tadi siang aku duduk di sini, apa mungkin aku ketiduran lalu digendong Danesh? Lalu di mana baju-bajunya," batinnya bicara pada sendiri.
Kenes mulai sadar telah kehilangan baju yang dicuci. Ia yakin kalau di lingkungannya tidak pernah ada pencuri. Secara desa yang ditinggali Kenes masih setia dengan tradisi ronda malam. Mereka berjaga secara berkelompok dan bergantian di tempat pos khusus buat ronda.
"Masa sih ada maling di jam segini? Gede juga nyalinya," kesalnya lagi entah sudah yang keberapa kali.
Ia tidak ingin tersulut emosi tanpa mencari tahu kebenarannya. Setelah berpikir lima menit, Kenes memutuskan untuk menemui Ibu dan bapaknya. Biarlah semua ocehan kasih sayang mengandung malu ia terima dengan hati layu di depan sang suami. Mungkin memang lebih baik saling tahu kebiasaan buruk masing-masing. Bukankah wajar karena status mereka suami istri?
Kenes melangkah dengan lemas ke ruang tamu. Wajahnya yang menunduk dalam pun menjadi pusat perhatian.
"Kamu sakit, Nes?" tanya sang ibu yang melihat anaknya persis orang hidup di jalanan tanpa makan, lecek.
Danesh pun ikut khawatir. Apa karena ini ia memilih pulang lebih awal dari warung? Matanya meneliti wajah istrinya tanpa berkedip, takut ada gejala yang tidak terlihat. Wanita itu duduk di sampingnya, lalu kepalanya bersandar pada dinding sofa.
"Kamu beneran sakit?" Danesh bertanya sembari menempelkan telapak tangannya di kening sang istri. Tidak panas.
Kenes menyingkirkan lembut tangan yang berada dia atas dahinya. "Aku enggak apa-apa, Mas. Cuma lagi bete aja," ungkapnya dengan bibir monyong.
Danesh mengubah posisi duduknya, berganti menghadap sang istri. Kepalanya masih berpikir kalau di warung terjadi sesuatu.
"Dia ganggu lagi?" tanyanya bernada serius.
"Enggak. Dia enggak ke warung, kok."
"Beneran? Terus kenapa itu muka sampai begitu?"
Kenes mengangkat kepalanya dengan sikap duduk tegak. Bibirnya mencoba terbuka untuk menceritakan hal yang membuatnya lemas.
"Em ... begini, Mas. Tadi aku lagi nyuci tapi tiba-tiba pas ada kursi rasanya ingin duduk santai. Eh, malah ketiduran dan bablas sampai sore. Pas tadi bangun liat mesin cuci bajunya udah enggak ada. Udah gitu aku jadi pindah ke kamar, masa aku tidur sambil berjalan," katanya dengan mata berkaca-kaca. Mungkin hujan sebentar lagi akan membanjiri pipinya.
Sang ibu dan Bapak hanya menggeleng mendengar cerita anaknya. Bagi mereka semua kelakuan Kenes yang kadang pelupa sudah menjadi hal biasa.
Danesh justru tertawa melihat ekspresi wanita yang kini menjadi istrinya. Ia tidak menyangka kalau ulahnya membuat sang istri menjadi panik dan tidak bersemangat.
Perlahan sang pria mendekat dan berbisik, "Kamu lucu kalau lagi begini. Maaf ... tadi aku yang nyelesein cuciannya. Udah aku jemur juga, dan yang mindahin kamu ke kamar juga aku. Aku tidak tega lihat kamu tidur sambil kecapean gitu."
Seketika energi Kenes kembali penuh. Tubuhnya juga lebih kuat, tidak lemas. Namun, sorot matanya berubah merah seperti orang kesurupan.
"Kok, enggak bangunin sih, Mas? Kan, aku malu tidak ikut menyambut Ibu sama Bapak," protesnya dengan bibir membentuk kerucut.
"Ya, maaf ... tadi kamu tidurnya pules banget. Enggak tega kalau bangunin," jawab sang pria.
Kedua orang tua Kenes menggeleng beberpa kali melihat tingkah anak dan mantunya. Namun, dalam hatinya ia merasa bahagia melihat pernikahan mereka bisa akur.
"Nak Danesh jangan kaget kalau Kenes begitu ... pokoknya ditambah aja sabarnya," sela ibu mertua sembari tersenyum.
Kenes semakin malu ketika wanita yang melahirkannya malah membuat sisi lainnya bertambah jelas.
"Enggak usah malu! Dalam pernikahan itu sudah keharusan tahu warna asli pasanganmu." Bapak juga ikut membuat harga diri anaknya semakin jatuh tersungkur.
Danesh merasakan kehangatan yang alami, tanpa dibuat-buat. Hatinya bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga mereka.
"Tadi Bapak bawa pisang kapok, Nes. Kayaknya enak buat nemenin obrolan kita," ucap Bapak seakan memerintah.
"Bener, Nes ... Ibu bantuin yuk? Sekalian bawa tas ini ke kamar," kata sang ibu mengiakan.
"Ya udah. Sampai lupa nunjukin kamar buat istirahat," jawab Kenes lalu berdiri dan melangkah ke kamar yang berada di sebelah kamarnya.
Ruangan berukuran sedang cukup terasa nyaman. Dinding bercat hijau muda semakin menambah kesejukan. Lemari kayu juga terlihat masih kuat tertata di dekat tempat tidur. Kenes menunggu sang ibu menaruh tas berwarna hitam itu ke lemari. Sesekali matanya melirik keadaan kamar yang rapi dan bersih. Senyumnya merekah tipis di sudut bibir membayangkan Kenes berjuang merapikan seisi rumah. Meskipun keras kepala, ternyata anaknya bisa bertahan dan hidup lebih baik dalam kesendirian.
"Udah, Bu?" tanya Kenes sambil menatap wajah sang ibu yang semakin keriput.
"Udah."
Mereka keluar kamar bersama dan menuju dapur. Lagi, sang ibu memandangi keadaan dapur yang tampak rapi tanpa piring kotor. Kepalanya mengangguk sebagai tanda kebanggaan karena anaknya bisa bertanggung jawab dengan pilihannya.
Sementara Kenes membuka isi kantong yang lumayan besar. Matanya memicing menatap isinya. Bisa-bisanya sang bapak membawa beras dan pisang sampai ke sini dalam kantong yang beratnya lumayan. Padahal ia tidak pernah meminta apa pun kalau akan berkunjung.
"Bapak, kok, bawa barang banyak banget, Bu? Kan, berat," tanya Kenes merasa tidak enak.
"Enggak apa-apa. Siapa tahu kamu kangen rumah, jadi dibawakan ...." Sang ibu menjawab tanpa merasa lelah.
Pepatah 'Kasih ibu sepanjang masa' mungkin benar adanya. Nyatanya ibunya tidak pernah lelah memberi tanpa mengharap kembali. Hatinya mendadak nyeri membayangkan selama ini sikapnya sering membuatnya khawatir.
"Bu, aku minta maaf karena selama ini sering keras kepala. Padahal niat Ibu pasti ingin memberi yang terbaik untukku." Kenes tiba-tiba mengatakan isi hatinya yang terdalam. Sekarang ia menyadari kalau yang diputuskan sang ibu kemungkinan besar selalu untuk kebaikannya. Hanya cara penyampaiannya terkadang membuat Kenes berlari menjauh.
Wanita yang tengah sibuk mengupas kulit pisang itu menjadi bangga akan sikap anaknya setelah menikah. Ia tidak salah menerima tawaran perjodohan dengan kelurga Danesh yang memang berteman dekat dengan suaminya. Selain sudah tahu bibit, bobot, bebetnya, Danesh adalah anak teman sang suami. Jadi lebih gampang menilai dengan mata sendiri.
"Kamu enggak usah minta maaf. Ibu juga kadang salah sering memaksa," jawabnya yang sadar akan sikapnya sendiri. Air mata tidak mampu lagi tertahan, setitik demi setitik pipi yang mulai mengendur membasah. Namun, tangannya gesit menghapus.
------***-----
Bersambung