SUAMI ONLINE 22 B
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Sepuluh menit berlalu, akhirnya Danesh kembali melihat rumah tingkat dengan warna kuning gading. Bu Rose turun dengan hati-hati dari motor.
"Makasih, Mas ...," ucap Bu Rose yang masih berdiri dengan membawa tasnya.
"Saya yang makasih, Bu. Sudah memeriksa istri saya dan memberikan informasi banyak tentang kehamilan," jawab Danesh malu. Malu kalau pria ingin tahu tentang urusan mengandung.
Bu Rose lagi-lagi tersenyum. Padahal itu harusnya menjadi pengetahuan yang biasa untuk pria menikah.
"Enggak apa-apa. Pokoknya berdoa dan usaha terus. Jangan menyerah. Dan jangan lelah menjaga tulang rusuk seperti dia. Soalnya dia lumayan wanita kuat. Pasti akan datang kesempatan itu." Ucapan Bu Rose seperti mengandung sihir. Rasanya menyejukkan hati. Danesh bisa mengerti kalau sikap wanita belum tentu setangguh raganya. Bisa saja jiwanya lelah tanpa ia sadari.
Ketika wanita berhati lembut dan sabar itu menghilang di balik pintu, Danesh melajukan kembali motornya. Bayangan tentang Kenes kini sungguh membuat pikirannya hanya tertuju padanya. Ia berharap, setelah sampai di rumah nanti bisa melihat senyumnya kembali.
Rasa tidak sabar membuat Danesh melajukan motor lebih cepat. Suara kendaraan lain seolah mengajak berlomba untuk cepat sampai tujuan. Angin yang berhembus seakan membuai angan terbang melayang entah ke mana. Namun, satu hal tentang Kenes mampu membuatnya tetap tinggal di satu titik.
Rumah yang terlihat berjejeran di tepi jalan sekarang menjadi pemandangan biasa baginya. Sama seperti dirinya yang mulai biasa berdekatan dengan Kenes dalam setiap suasana. Ia bersyukur tidak harus berjuang terlalu lama untuk meluluhkan hatinya. Ternyata Tuhan memberikan ujian di saat yang tepat hingga sama-sama menyadari arti penting kehadiran masing-masing.
Tepat sepuluh menit, Danesh sampai di rumah yang kini menjadi tempat favorit kedua selain rumah orang tuanya. Di tempat ini ada seseorang yang mengisi hatinya secara penuh. Setelah memarkir motor, ia bergegas menemui Kenes di kamar. Ayah dan mamanya setia menemani di sampingnya.
"Assalamu'alaikum ...," sapa Danesh langsung menarik kursi plastik yang berada di dekat lemari pakaian. Ia duduk di sisi tempat tidur sembari menatap istri tersayang. Ada banyak rasa yang mengaduk hatinya.
"Wa'alaikusaalam ...," jawab mereka bersamaan.
"Kenes gimana, Ma?" tanya Danesh. Tanganya mengusap rambutnya, lembut.
"Panasnya sih udah sedikit turun. Mungkin nanti setelah makan dan minum obat udah baikan," jawab sang mama yang sedari tadi begitu perhatian pada perkembangan menantunya.
"Syukurlah ...." Danesh mengelus dadanya beberapa kali. Lega.
"Kalau Mama mau pulang silakan ... aku enggak apa-apa di rumah sendirian," kata Danesh yang tidak ingin merepotkan orang tuanya. Ia merasa mampu menjaga Kenes dengan baik. Selain karena mampu, menjaga dalam keadaan sakit dan sehat merupakan kewajibannya sebagai seorang suami.
"Mama mau pulang? Ya, ayo?!" Sang ayah ikut bicara. Ia tidak tega kalau semua harus merasa lelah.
Sang mama menoleh dengan sorot mata tajam. Bagaimana mungkin ia pulang, sedangkan menantunya masih terbaring lemah.
"Em, aku di sini sampai besok ya, Yah? Kasian Kenes ... nanti kalau butuh apa-apa, kan, bisa bantu kalau Danesh lagi sibuk," jawabnya sembari memohon untuk tetap tinggal.
Sebagai istri yang baik, Mamanya Danesh selalu minta izin pada suami. Ia ingin apa pun yang dilakukan mendapatkan ketenangan. Sepertinya itu juga bukan ide yang buruk.
"Ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu. Nanti kalau pulang minta anterin Danesh saja," pesannya. Lalu, satu kecupan lembut menghiasi punggung tangan prianya.
Sungguh pemandangan yang indah.
Danesh berharap usia pernikahannya dengan Kenes bisa bertahan seperti orang tuanya. Saling mengerti dan saling memahami, juga saling mendengarkan apa pun masalah yang menghadang hingga menemukan satu solusi.
"Titip, Mama, ya?" kata sang ayah sembari menepuk lembut lengan anaknya.
"Siap, Yah!"
Ayah dan anak itu berjalan bersama sampai ke teras depan. Danesh melambaikan tangan ketika motor melaju dan semakin menjauh. Kemudian masuk kembali ke rumah.
Ia menyusuri ruang tamu yang masih sedikit berantakan setelah pertemuan keluarga tadi. Ia bahkan merapikan tatanan letak bantal kecil di sofa, mengelap meja dan mengumpulkam beberapa sampah yang masih tersisa. Kemudian membuangnya dalam tong sampah.
Danesh menepuk kedua tangannya setelah semua pekerjaannya selesai. Satu senyuman menghiasi pipi ketika melihat hasil kerjanya. Namun, perhatiannya teralihkan saat mendengar suara di depan rumahnya.
"Mbak Kenes ...! Sayur ...!"
Sebelum Danesh keluar rumah, langkah sang mama sudah lebih dulu berjalan menuju sumber suara. Ternyata itu suara penjual sayur keliling. Jadi, Danesh memilih ke kamar untuk menemani istrinya.
Penjual sayur itu merasa heran melihat wanita yang keluar bukan Mbak Kenes. Selama ini ia tidak pernah tahu kalau Mbak Kenes tinggal dengan orang lain, karena yang ia tahu tinggal sendiri.
"Siang menjelang sore, Bu ...," sapa Abang penjual sayur.
"Siang juga, Mas. Boleh milih-milih, kan?" tanyanya meminta izin.
"Boleh, Bu."
Mamanya Danesh kepikiran untuk memasak semua menu dengan olahan toge. Kebetulan sekali ada beberapa plastik toge.
"Mas, aku ambil togenya, ya? Berapa semuanya?"
Penjual sayur itu melirik lima plastik toge yang tersisa. "Lima ribu, Bu."
Semua toge telah berpindah di kantong plastik, dan beberapa daun bawang juga ikut masuk dalam belanjaan. Bahkan tempe dan tahu juga dibeli sebagai pelengkap.
"Semuanya jadi berapa?" Mamanya Danesh menunjukkan semua barang belanjaannya.
"Tempe lima, satu plastik tahu, daun bawang, sama toge, semuanya empat belas ribu, Bu."
Mamanya Danesh memberikan uang lima belas ribu. "Kembaliannya tomat aja," ucapnya lagi.
"Sip ...," jawabnya.
"Makasih, Mas."
"Sama-sama."
Mamamya Danesh berjalan kembali masuk ke rumah. Ia ingin segera memasak untuk menantunya. Biar nanti ketika sudah bangun bisa langsung makan dan minum obat.
Penjual sayur itu menggeleng beberapa kali. Ia merasa kasian jika harus makan menu semua serba toge.
"Kasian Mbak Kenes ... hari ini menunya toge semua," batinnya kemudian pergi melanjutkan keliling rumah menjajakan sayuran.
~~
Di dapur, mertua yang katanya paling baik sedunia sedang membuat bakwan dengan bahan toge dan daun bawang. Setelah semua bahan dicuci bersih, tinggal membuat adonan. Kebetulan di lemari pendingin terlihat ada wortel. Sayur toge juga akan dipersiapkan setelah bakwan selesai dan matang.
Aroma bakwan tercium sampai ke kamar Kenes. Dari aromanya sepertinya rasanya enak. Danesh berharap Kenes bisa segera bangun dan makan.
"Sayang ... bangun yuk?" ucap Danesh pelan sembari mengelus lembut jemari sang istri. Suhu tubuhnya juga sudah mulai turun, tidak sepanas sebelumya.
Perlahan Kenes membuka matanya. Ia merasa sedikit pusing, tetapi badannya lumayan tidak terlalu lelah. Mungkin selama ini raganya butuh istirahat lebih lama.
"Mas ...." Kenes memanggil lirih.
"Syukurlah ... kamu udah bangun. Gimana rasanya? Pusing? Atau pengen sesuatu?" tanya Danesh tanpa henti.
"Udah enggak terlalu, Mas. Orang tuamu udah pulang ya? Maaf, ketiduran ... tadi rasanya lelah sekali." Kenes menyesal tidak mengantar kepulangan mertuanya. Tiba-tiba ia merasa kecil hati, takut dianggap menantu tidak baik
"Kamu enggak perlu minta maaf. Tadi badan kamu panas, aku sampai panggil bidan ke sini. Aku enggak tega kalau harus bangunin kamu. Besok, kerjanya jangan terlalu ya? Kan, udah ada Yuyun sama Anto. Mereka sepertinya cukup bisa dipercaya. Aku enggak mau lihat kamu sakit lagi," jawab sang pria sembari mengelus lembut pipi istrinya.
Bukannya senang mendapat perhatian dari sang suami, Kenes justru sibuk mencium aroma yang cukup meneteskan air liurnya.
"Mas ... kok, bau enak ya? Kamu lagi masak?" tanyanya sembari terus memonyongkan bibir.
Danesh terkekeh. Sepertinya memang wanita di depannya sudah lebih baik. Nyatanya, ia bisa mencium aroma masakan enak.
"Bukan aku yang masak, Sayang ... tapi Mama. Mama mau mastiin kamu baikan dulu baru pulang. Tapi Ayah udah pulang duluan. Kamu mau makan?" tawarnya lembut.
Kenes mengangguk, tanda setuju. Pria yang membuat hidupnya kini berwarna, memapahnya berjalan hingga ke ruang makan.
Di sana, mama mertua sudah menyiapkan beberapa makanan. Senyumnya menyambut kedatangan anak dan menantunya.
"Alhamdulillah, kamu sudah bangun, Sayang ... tadi Mama khawatir kamu kenapa-kenapa," katanya lembut sembari menarik satu kursi.
Dengan bantuan sang pria, Kenes bisa duduk dengan nyaman. Sesekali belaian lembut tangan wanita yang telah melahirkan pria sebaik Danesh terasa begitu hangat.
"Mama ambilkan ya? Mau makan pakai apa?" tawarnya dengan membawa piring di tangan.
Kenes menatap beberapa menu di meja makan dengan mata melebar. Semua menu dari berbahan toge: bakwan, sayur tahu dan toge, bahkan tempe juga ada. Ia tidak habis pikir, padahal di lemari pendingin ada beberapa sayuran lain. Akan tetapi, yang jadi menu justru dari satu bahan, yakni toge.
Sementara Danesh hanya bisa pasrah dengan ulah mamanya. Ia tidak tahu kalau akan belanja toge begitu banyak. Semua itu demi usaha mendapatkan buah hati dengan cepat.
"Ma ... kok, semua menunya toge?" tanya Kenes merasa bingung.
"Iya. Biar kamu cepet sehat, terus bisa kasih Mama cucu," jawabnya ringan. Kemudian mengambilkan nasi dan lauk beserta sayur, lalu menyodorkan pada menantunya.
Seketika Kenes menelan ludahnya sendiri menatap piring di hadapannya.
"Apa toge dan cucu saling berkaitan? Jangan-jangan, aku akan makan pakai toge setiap hari ... tolong ... kepalaku mendadak pusing."
-----***-----
Bersambung
Tolong, saya juga pusing. ??? Butuh jejak love di sini dan di mertua super duper juga terjerat cinta wanita panggilan. ????
???