SUAMI ONLINE 22 A
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Perdebatan hati tentang hal yang belum jelas semakin membuat Danesh bingung. Ia masih berpikir kalau panasnya Kenes tidak ada sangkut pautnya dengan kehamilan. Sejauh yang ia tahu orang mengandung bawaannya mual dan muntah. Namun, Kenes tidak memiliki gejala seperti itu.
Danesh mengingat sekali lagi wajah sang istri yang pucat dan terlihat sangat lelah. Ia tidak mungkin tega membangunkannya karena baru beberapa menit terlelap.
"Buruan, Dan ... malah bengong," ucap sang mama lagi yang merasa geregetan karena anaknya tidak kunjung berangkat.
"Kalau harus bawa ke sana ... kayaknya enggak mungkin, Ma. Kasian ... selama ini Kenes selalu sibuk dan pulang malam. Mungkin sekarang tubuhnya butuh istirahat," jawab Danesh.
"Kalau gitu kamu jemput aja ke sini. Jam segini pasti di rumah, apalagi hari Minggu," titah sang mama.
Pria yang selalu menjadi suami terbaik itu bergegas menuju ke rumah bidan. Danesh memilih menaiki motor yang sudah terparkir di bawah pohon mangga. Matanya menangkap sang ayah yang lagi asyik duduk di bangku dekat teras. Memang tempat itu terkadang menjadi favoritnya. Semilir angin dari dedauan sekitar memberi kesejukan yang menenangkan.
"Yah ...," panggil Danesh. Langkahnya seakan berlari menghampiri pria yang telah menuntun dirinya berjodoh dengan Kenes.
Sang ayah bangkit membenarkan duduknya, lalu menatap anaknya yang hendak pergi.
"Ada apa? Mamamu udah mau pulang? Ayo deh ...," jawabnya lekas berdiri. Namun, sedetik kemudian kembali duduk karena Danesh menggeleng.
"Mama belum mau pulang, Yah. Aku mau pinjem motor. Kuncinya mana? Kenes tiba-tiba enggak enak badan, jadi Mama lagi nemenin di kamar. Aku mau manggil bidan sebentar," jelasnya sembari menadahkan tangan menunggu kunci motor.
Dengan gerak cepat sang ayah mencari kunci motor yang disimpan di saku celana, lalu memberikan pada anak lelakinya.
"Hati-hati, Dan!" pesannya.
"Iya, Yah ... aku berangkat sekarang." Danesh meninggalkan ayahnya dan bergegas melajukan motor dengan kecepatan sedang.
Selama di perjalanan, pikiran tidak karuan membayangkan Kenes tertidur lemah di kamar. Rasanya ingin sekali cepat sampai di tempat Bu Rose. Meskipun terbilang warga pendatang, Danesh lumayan tahu tentang Bu Rose karena sering lewat depan rumahnya. Bayangan sang istri kembali menghimpit d**a membuat hati tak henti berdebar karena rasa sabar berkurang.
Setelah melewati jalanan yang sedikit ramai, akhirnya Danesh tiba di depan rumah tingkat dua berwarna kuning gading. Logo gambar hati bertuliskan bidan delima menghiasi dinding sebelah pintu masuk.
Ketika tangan hendak mengetuk pintu, matanya melihat benda bertanda gambar lonceng di dekat jendela kaca. Danesh menekan tanda itu sekali.
Ting ... tong ... ting ... tong.
Satu suara itu membuat pintu terbuka. Seorang wanita yang seumuran mamanya berdiri menyambut kedatangan Danesh.
"Silakan masuk, Mas ...." Danesh mengikuti wanita yang mungkin bernama Bu Rose ke rumah. Namun, langkah mereka terhenti saat Danesh mengeluarkan suaranya.
"Maaf, sebelumnya ... begini, istri saya sedang tidak enak badan. Tapi kata Mama suruh bawa Ibu ke rumah. Soalnya tadi lagi tiduran. Saya tidak tega. Apa Ibu mau ke rumah saya?" pinta Danesh dengan wajah mengiba.
Wanita itu terlihat berpikir akan permintaan pria di depannya. Namun, sisi pedulinya terlalu tinggi jika mengabaikan orang yang membutuhkan pertolongan.
"Baiklah. Sebentar ya ... saya ambil tas dulu. Oh ya, kalau boleh tahu istri Anda sakit apa? Maksudnya lemas, atau panas, atau gimana?" Wanita yang bernama Bu Rose itu bertanya dengan sangat rinci.
"Em ... kayaknya istri saya kelelahan, Bu. Dari kemarin ia pulang malam terus. Ditambah lagi kemarin beres-beres rumah sendirian setelah pulang kerja," jawab Danesh apa adanya.
Bu Rose menempelkan jari telunjuknya di atas bibir sembari berpikir. Ia tidak ingin asal memberikan obat, takut kondisi lemahnya karena sesuatu.
"Em, maaf, sebelumnya ... apa kalian pengantin baru?" tanya Bu Rose sedikit ragu. Namun, itu lebih baik daripada nanti ada penyesalan yang terjadi.
Danesh menggaruk kepalanya. Ia benar-benar bingung apa hubungannya pengantin baru dengan kondisi tubuh Kenes saat ini.
"I-iya ... kami pengantin baru, Bu. Baru sebulan yang lalu," jawab Danesh malu mengakui kalau pengantin baru.
Bu Rose kini mengerti apa yang harus dipersiapkan untuk memeriksa keadaan istri pria di hadapannya.
"Ya sudah. Saya ambil tas dulu, terus berangkat." Tanpa menunggu jawaban, Bu Rose segera ke ruangannya dan mempersiapkan semuanya. Baik stetoskop dan obat-obatan yang mungkin dibutuhkan.
"Ayo, Mas!" ucap Bu Rose yang sudah siap dengan tas berwarna hitam di tangannya.
Danesh berjalan lebih dulu menyalakan motornya sembari menunggu Bu Rose sampai dan naik boncengan dengan aman.
Tas berwarna hitam diletakkan di tengah sebagai tanda keberadaan jarak antara pria dan wanita.
Diam-diam hati Danesh melega langkahnya membawa Bu Rose dipermudah. Semoga Tuhan selalu memberi perlindungan untuk keluarga kecil yang akan ia bangun bersama Kenes.
Sementara menunggu anaknya kembali, mamanya Danesh setia menemani menantu kesayangan. Ia bahkan membawa satu mangkuk air hangat dan handuk kecil untuk mengompres dahi Kenes agar panasnya sedikit turun.
Tangan kasarnya berkali-kali mencelupkan handuk kecil dan memerasnya lalu menempelkan ke dahi menantu tersayang. Bibirnya selalu komat-kamit melantukan doa agar cepat diberi kesehatan. Ia tidak ingin terjadi sesuatu yang membuat senyum anaknya pudar.
"Sehat, Nes ... biar bisa bercerita banyak hal sama Mama. Bangun, Sayang ..." ucapnya dengan air mata yang mulai menetes.
Suami yang sudah tahu kondisi Kenes langsung ke kamar ingin melihat bagaimana keadaannya. Kenapa di saat seperti ini, Karta justru sudah kembali ke desanya. Mungkin saja mantunya butuh semangat dari orang tuanya.
"Gimana, Ma? Kenes sakit apa?" tanyanya sembari duduk di sisi lain tepi tempat tidur.
"Sedikit panas, tapi udah mendingan," jawabnya tanpa menoleh pada prianya. Hatinya diam-diam nyeri melihat wanita yang kini menjadi bagian anaknya terlelap lemah.
"Kayaknya mantumu kelelahan, Ma. Coba nanti bilang ke Danesh suruh jangan terlalu semangat bekerja," usul pria yang menemani hidupnya selama ini.
"Nanti kalau sudah ketahuan sakitnya apa, Yah."
Suara motor yang berhenti di depan rumah membuat mereka menoleh bersama. Dari suara motornya itu pasti Danesh, anaknya. Sang ayah bergegas keluar menemui mereka.
Danesh sengaja langsung membawa Bu Rose ke kamarnya. Ia sudah tidak sabar istrinya mendapat penanganan yang tepat.
"Eh, bidannya sudah datang ... silakan masuk, Bu ...," sapa sang ayah ramah.
Bu Rose segera meminta ruang agar leluasa memeriksa wanita yang masih tertidur dengan wajah pucat.
"Permisi sebentar, ya, Bu ...." kata Bu Rose sembari membuka tas dan mengeluarkan stetoskop lalu memasang di telinga.
Tangan yang masih terlihat halus itu bergerak sana sini seakan sedang mencari penyebab Kenes merasa lelah dan lemas. Raut wajahnya mengerut dan serius. Hal itu membuat Danesh dan orang tuanya semakin tegang menunggu hasilnya.
"Bagaimana istri saya, Bu?" tanya Danesh ketika melihat Bu Rose mengalungkan stestoskop ke lehernya.
"Istri Anda hanya kelelahan, Mas. Suruh jangan terlalu capek. Sepertinya saya sering melihat istri Anda pulang malam setiap hari. Karena sering lewat depan rumah, saya jadi sedikit paham. Nanti akan saya kasih Paracetamol biar suhunya kembali normal," jelasnya.
Danesh mengusap dadanya, lega. Ia akan lebih mengingatkan Kenes untuk tidak terlalu lelah dalam bekerja. Namun, pria yang baru saja tenang justru bingung melihat ekspresi sang mama. Kenapa wajahnya seperti tidak senang keadaan Kenes tidak mengkhawatirkan?
"Ma ... kok, mukanya begitu?" tanya Danesh bingung.
"Mama pikir tadi Kenes lagi hamil. Makanya suruh kamu panggil bidan. Takut salah kasih obat," jawabnya terdengar kecewa. Besar harapannya jika Kenes saat ini benar-benar mengandung cucu pertamanya.
Bu Rose yang mendengar hanya menahan tawanya. Memang kalau pengantin baru godaannya selalu tentang buah hati. Padahal prosesnya tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Beberapa obat tersimpan dalam plastik berwarna bening, lalu Bu Rose memberikan pada pria yang wajahnya sudah tidak sekhawatir saat pertama bertemu.
Sebelum bidan itu berlalu pergi, mamanya Danesh ingin bertanya tentang seputar kehamilan. Rasanya ingin sekali mempunyai cucu secepatnya.
"Maaf, Bu ... apa ada cara untuk membuat mantu saya cepat hamil?" tanyanya ragu.
Kepalanya menunduk sebelum mendapat lirikan dari anaknya. Danesh malu kalau harus membahas hal pribadi pada orang lain. Meskipun hatinya memiliki harapan besar untuk impian itu.
Bu Rose tersenyum, lalu menatap wanita di depannya. Ia tahu kehadiran buah hati akan selalu menjadi sesuatu paling dinanti oleh pasangan mana pun.
"Apa benar kalau makan toge bisa membantu cepat hamil, Bu?" Mamanya Danesh bertanya lagi. Ia pernah mendengar kabar itu dari beberapa temannya. Namun, tidak pernah mencari tahu kebenarannya. Jadi, ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan saat bertemu dengan Bu Rose–selaku bidan desa. Karena bertanya dengan orang yang tepat bisa meminimalisir sikapnya sebagai mertua di jaman sekarang.
Ia tidak mau menjadi mertua yang berpikiran kuno tanpa menyesuaikan perkembangan. Danesh diam-diam juga penasaran dengan jawaban yang ditanyakan mamanya.
"Kehamilan itu sebenarnya rahasia Tuhan. Tapi tidak salahnya sebagai manusia juga berusaha sebisa mungkin. Karena anak memang akan menjadi penerus darah kita. Untuk toge sendiri memang ada kandungan vitamin B6 dan vitamin E. Vitamin B6 untuk menghasilkan nutrisi yang dibutuhkan untuk mengatur hormon reproduksi."
Penjelasan Bu Rose berjeda sejenak. Ia menghirup napas lalu mengembuskannya perlahan. Kemudian melanjutkan kembali memberi jawaban yang ia ketahui. Karena kedua wajah di hadapannya tengah menunggu jawaban berikutnya.
"Toge dapat meningkatkan kualitas s****a pria karena mengandung vitamin E. Hal ini berdasarkan NCBI tahun 2011. Vitamin E bisa berperan penting sebagai antioksidan yang dapat melindungi tubuh dari radikal bebas, sehingga pembentukan s****a tidak terganggu. Tapi harus diingat, Bu ... toge dikonsumsi dalam keadaan dicuci dan setelah matang. Jangan dimakan mentah, karena bisa ada bakteri. Selain toge, masa subur dan pola hidup sehat juga penunjang utama. Jangan lupa usaha dan berdoa itu penting," jelas Bu Rose lagi sembari menyimpan stetoskop ke tas.
Danesh terdiam memikirkan penjelasan wanita yang sedang bersiap-siap untuk pulang. Sementara sang mama mulai menyusun banyak menu dari satu bahan di kepalanya.
"Ya sudah, saya permisi. Insya Allah setelah minum obat dan istirahat cukup nanti cepat sehat kembali," ucapnya lalu keluar diikuti Danesh di belakangnya.
Pria yang hatinya melega karena wanitanya baik-baik saja mengantar kembali Bu Rose ke rumahnya. Ia berjanji dalam hati akan menyuruh Kenes tidak terlalu lelah bekerja. Jantungnya hampir terlepas ketika mendapati wanita yang dicintainya terkulai lemas.
-----***------
Bersambung