BAB 14 A

1394 Words
SUAMI ONLINE 14 A Oleh: Kenong Auliya Zhafira Pernikahan memang bertujuan menyatukan dua manusia untuk bisa memberikan keturunan yang soleh dan soleha. Anak menjadi impian yang dinanti oleh berjuta pasangan suami istri. Karena hidup akan lebih memiliki tujuan jika ada kehadiran orang-orang terkasih, termasuk anak. Akan tetapi, tidak semua mental jiwa merasa siap untuk menjadi seorang ibu. Kenes tidak mau menjadi ibu yang menyia-nyiakan buah hati hanya karena tekanan batin seperti berita di televesi. Kesadaran Kenes memudar saat sentuhan lembut tangan sang pria mengusap pipinya. Mungkin memang sudah saatnya menjalankan kewajibannya sebagai istri yang baik. Sepasang mata kehitaman itu menatap dengan penuh cinta yang menggelora. Senyumnya terlihat begitu bahagia bisa mendapatkan wanita seperti dirinya. Sebenarnya ia juga merasa beruntung bisa bersanding dengan pria seperti Danesh. Apalagi setelah tahu kalau dia adalah Emran. Ya, Danesh Emran–pria yang membuatnya jatuh sayang. "Kenapa? Kok, diem? Enggak suka sama hidangan pembuka dariku?" tanya Danesh yang melihat wajah Kenes begitu datar tanpa ekspresi. "Eh, enggak, kok. Aku suka. Cuma kaget aja tadi. Maaf, udah buat khawatir, Mas." Kenes berusaha menutupi semuanya. Ia sadar kalau Danesh pasti punya alasan sendiri tidak mengatakan siapa jati dirinya. Sebelumnya dia juga sudah berpesan tidak boleh marah kalau mengetahui sesuatu yang mengejutkan tentangnya. "Ya udah. Kita sarapan aja, Mas. Biar tinggal berangkat," ucap Kenes lagi berpura-pura sibuk. Ia tidak mau Danesh khawatir karena perubahan sikapnya. Danesh menurut, lalu duduk dengan tenang menunggu Kenes yang sedang mengambilkan nasi. Sebagai wanita yang pernah hidup sendiri, Kenes sering memasak nasi dengan cara praktis tanpa ribet. Rice cooker selalu menjadi andalannya. Namun, terkadang ia terlalu lelah untuk memasak di rumah. Kenes lebih sering membeli makanan di luar. Saat Kenes membuka tutup rice cooker, matanya tiba-tiba membulat menatap isinya. Tubuhnya mendadak lemas. Ia lupa menekan tombol cook ke bawah. Padahal sayur sama lauk sudah menunggu. Danesh apalagi .... "Begonya aku! Kenapa bisa sampai lupa menekan tombol cook. Untung statusnya yang udah punya suami gak lupa," rutuk Kenes dalam hati. Kenes mencoba berbalik dan menatap suaminya. Danesh sepertinya senang sekali karena akan sarapan bersama untuk pertama kali dengan masakan istri. Namun, terancam gatot, gagal total. Masa makan sayur tanpa nasi ... ya, enggak kenyang. Danesh mulai curiga dengan sikap Kenes yang masih berdiri di dekat rice cooker. Seolah ada hal yang ia sembunyikan. "Nasinya mana, Sayang? Aku nungguin loh ... ayo buruan," tanya Danesh yang sudah tidak sabar ingin menyantap sarapan pagi. Kenes mencengkeram kuat piring dengan kedua tangannya. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada sang suami. "Em ... a-anu ... em ...." Kenes gelagapan, membuat Danesh semakin penasaran. "Anu kenapa? Masih mau minta hidangan pembuka?" Danesh mencoba menebak. Siapa tahu dapat bonus. Hiaaa .... "Em ... ini, Mas ... a-anu ... nasinya ...." Kenes masih saja gagap. Ia malu mengatakan kalau nasinya masih berwujud beras. "Nasinya kenapa?" Danesh memilih mendekati Kenes dan melihat sendiri ada apa dengan nasinya. Kenapa begitu jahat sampai membuat Kenes menjadi gagap. Kenes sudah tidak bisa lagi menyembunyikan rasa malunya. Ia hanya bisa menunduk. Sementara Danesh menggeleng heran menatap beras yang berenang dengan gaya batu. "Ma-maaf, Mas. Tadi lupa mencet tombolnya," sesal Kenes dengan suara lirih. Danesh terkekeh mendengar pengakuan sang istri. Sedangkan Kenes mulai berani menatap sang suami karena responsnya yang di luar dugaan. Ia berpikir kalau Danesh akan marah karena kelalaiannya. "Kamu enggak marah?" tanya Kenes ragu. "Ngapain harus marah? Ya udah, kita berangkat sekarang aja sekalian cari sarapan di luar," ajak Danesh dengan senyum yang selalu merekah. Kenes merasa lega dengan sikap Danesh yang tidak terlalu menuntut dari semua kekurangannya. "Terus sayurnya gimana? Mubazir dong, enggak ada yang makan? Kita pulang ke rumah aja jam sembilan, sayang kalau basi. Makan sayur yang diangetin enggak enak. Persis kayak diajakin balikan sama mantan," ucap Kenes panjang lebar. Danesh tertawa terbahak mendengar ucapan Kenes. Dari mana ia mendengar istilah begitu. "Kamu kasih aja ke Bu Hesti. Gampang, kan?" Danesh menjawab dengan santai. Seperti hubungannya yang kini mulai santai tapi tetap semakin mesra. Kenes merasa solusi itu menjadi yang terbaik. "Ya udah. Aku ke tempatnya Bu Hesti, lalu kamu nyusul aku aja sekalian berangkat." Kenes membawa dua piring ke tempat Bu Hesti. Sebelum melangkah semakin jauh, Kenes berbalik dan berteriak, "Jangan lupa kunci pintunya, Mas!" "Iya!" Danesh menyahut singkat sembari menutup pintu rumah dan menguncinya. Kemudian menuju garasi mengeluarkan motor dan menutupnya kembali. Kenes berjalan pelan menuju rumah Bu Hesti yang terletak di belakang rumahnya. Kebetulan sekali Bu Hesti sedang menyapu halaman rumah. "Selamat pagi, Bu ...." Kenes menyapa dengan ramah. "Eh, Mbak Kenes. Tumben pagi-pagi ke sini, ada apa?" "Ini ... mau ngasih sayur sama lauk, Bu. Mas Danesh ngajak sarapan di luar. Terus aku kepikiran Bu Hesti," ucap Kenes basa-basi. Aslinya sedang menutupi rasa malu karena nasinya masih utuh berwujud beras. "Wah ... pagi-pagi udah dapet rejeki. Alhamdulillah, jadi enggak masak ini. Makasih ya, Mbak." Bu Hesti terlihat senang sekali. Ternyata bertetangga bisa bahagia hanya dengan berbagi sepiring sayur. Tit ... tit! Suara klakson membuat kedua wanita itu menoleh. Mereka menatap pria yang sedang mengendarai motornya Kenes. "Aku pamit, ya, Bu .... Nanti kalau ada yang cari bilang aja kalau aku udah kerja lagi," pinta Kenes. "Siap, Mbak. Oh, ya ... gimana Mas Danesh? Suami idaman, kan? Pasti enggak nyesel punya suami tampan dan perhatian sepertinya," tanya Bu Hesti yang terdengar ingin tahu. Kenes menggaruk rambutnya yang tidak gatal mendapati pertanyaan Bu Hesti. Jujur, ia mulai menerima pernikahannya dan ingin menjalani dengan hati. Karena prianya adalah pria yang sama, sama-sama membuatnya jatuh hati kemudian jatuh cinta dan akhirnya jatuh sayang. "Em ... sedikit nyesel sih, Bu ... nyesel kenapa nikah sama Danesh-nya enggak dari dulu. Udah sih, aku mau kerja dulu, Bu. Assalamu'alaikum ...." Kenes berpamitan dengan menahan senyum. Sementara Bu Hesti tertawa renyah. "Wa'alaikumsalam. Mbak Kenes ... semoga selalu bahagia karena sudah ada suami yang selalu menemani," lirih Bu Hesti lalu masuk ke rumah. Sebagai tetangga dekat, Bu Hesti selalu mendoakan apa pun yang terbaik untuk Kenes, termasuk soal pria. ~ Pagi hari ini jalanan lumayan ramai. Mungkin bertepatan dengan orang-orang yang akan beraktifitas. Kenes sudah tidak malu lagi berpegangan erat dan mesra. Ada keinginan yang tiba-tiba menguat untuk menunjukkan pada dunia kalau dirinya sudah menikah. Cincin di jari manisnya sudah dianggap benda yang paling berharga. "Mau sarapan di mana?" teriak Danesh agar suaranya terdengar. "Di depan warung aja. Biasanya kalau pagi ada bubur ayam," jawab Kenes yang tak kalah kencang suaranya. "Oke, Sayang ...." Danesh menghentikan motor di parkiran warung. Keadaan masih sepi. Yuyun dan Anto belum datang, mungkin sedang bersiap-siap di rumahnya. Karena biasanya warungnya memang buka jam delapan pagi sampai sembilan malam. Semisal molor paling tutup sampai jam sepuluh. Kenes turun dan berjalan diikuti Danesh menuju penjual bubur ayam. Lumayan untuk mengganjal perut sampai siang. "Pak, buburnya dua porsi ya?" pesan Kenes sambil mengambil duduk, begitu juga Danesh. Mereka menunggu sambil mengobrol layaknya seorang pasangan. "Kamu biasa sarapan di sini ya?" tanya Danesh sembari menatap wanita yang selalu terlihat cantik dengan dandanan seadanya. "Kadang-kadang. Kalau engvak sempat masak biasanya ke sini," jawab Kenes sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dengan jarinya. Danesh akan selalu terpesona melihat setiap gerak sang wanita. Tangannya yang lihai membenahi rambutnya sendiri, wajahnya yang tidak berlebihan dalam berdandan, semuanya begitu meluluhkan hati. Senyumnya selalu saja tak pernah lepas jika menatap kecantikan sang istri. "Ini, Mas ... bubur ayamnya." Suara bapak yang menjual bubur ayam membuat mereka menghentikan obrolan. Kenes menerima dua mangkuk bubur ayam, lalu dengan cepat memberikan satu ke suaminya. "Makasih, Pak." "Sama-sama, Mbak. Silakan dinikmati." Mereka saling melempar senyuman sebagai ungkapan terima kasih. Bapak penjual itu memang selalu ramah sama pembeli. Makanya Kenes kadang suka makan di sini. Kenes mulai mengaduk bubur ayamnya lalu memakannya lahap. Perutnya sudah terasa lapar. Semilir angin pagi membuat helaian rambut Kenes sedikit berantakan. Ia terpaksa makan sambil membenahi rambutnya. Danesh yang sejak tadi memperhatikan mulai risih melihatnya. Rasanya geram sendiri, sudah tahu rambutnya mengganggu tapi tidak kunjung mengikatnya. Matanya melihat ada karet gelang di gerobak bubur ayam. Ada niat untuk memintanya. "Maaf, Pak. Boleh minta gelang karetnya satu?" ucap Danesh yang sudah berdiri di samping gerobak. "Boleh, Mas. Ambil saja," jawab bapak penjual ramah. "Makasih, Pak." Danesh mengambil satu lalu menghampiri wanita yang masih saja makan sambil membenahi rambutnya. Kenes menatap prianya yang semakin mendekat padanya. Bukannya menghabiskan buburnya malah berdiri di hadapan. "Mau ngapain?" tanya Kenes dengan wajah penuh tanda tanya. -----***----- Bersambung Yuk, bantu Danesh meluluhkan Kenes dengan jejak love dari kalian. ?????
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD