SUAMI ONLINE 14 B
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Sang pria tidak menjawab. Ia malah semakin mendekat dengan posisi seperti hendak memeluk. Kenes otomatis sedikit memundurkan tubuhnya ke belakang.
"Mau ngapain sih? Kalau mau meluk jangan di tempat umum. Malu!" protes Kenes yang mulai merasa bisa mencium aroma wangi tubuh sang pria.
Perlahan, kedua tangan Danesh merapikan rambut yang berantakan dan mengikatnya ke belakang dengan gelang karet. Meskipun agak sulit, sang pria tetap berusaha sebaik mungkin. Sikap Danesh kali ini membuatnya tidak berkutik. Degup jantung yang berdetak tak karuan sudah tidak dihiraukan lagi. Biar saja sang pria tahu kalau berdekatan dengannya bisa membuat debar d**a tak menentu.
"Udah. Dah, lanjutin makannya. Gemes sendiri liat kamu makan sambil benerin rambut terus," ucap Danesh yang sudah kembali berdiri dan menatap Kenes tanpa helaian rambut yang menutupi.
Penjual bubur ayam hanya tersenyum geli melihat pemandangan di belakangnya. Ia bisa menebak kalau mereka adalah pengantin baru dari model cincin yang sama di jari manis masing-masing.
Entah kenapa Kenes tiba-tiba merasa tenggorokannya susah untuk menelan. Ia mungkin masih terkejut dengan sikap Danesh yang tanpa malu bersikap berlebihan di tempat umum.
"Kenapa lagi? Pengen minum?" tanya Danesh yang sadar wajah Kenes berubah tegang.
Kenes mengangguk. Sedangkan di depannya tiba-tiba sudah ada botol minum yang digenggam oleh sang pria. Hati meleleh sudah mendapat perhatian yang sepeka ini.
"Minum dulu ...." Danesh menawari botol minumnya.
"Ma-makasih." Kenes menerima dengan ragu lalu meminumnya perlahan.
Setelah itu mereka sibuk dengan makanannya. Danesh sudah menghabiskan sejak semenit yang lalu. Ia beranjak menghampiri bapak penjual untuk membayarnya.
"Berapa, Pak?"
"Lima belas ribu, Mas."
Danesh mengambil dompet lalu memberikan uang pas. Ia kembali mendekat ke arah sang istri yang sedang menikmati suapan terakhir.
Kenes meletakkan mangkuk di bawah kursi lalu bangkit berjalan menuju warungnya sendiri diikuti oleh Danesh.
Dengan sabar sang pria menunggu Kenes membuka warungnya. Setelah terbuka, mereka masuk bersama. Kenes berinisiatif menurunkan kursi dari meja lalu ditata dengan rapi. Danesh juga ikut membantu. Setelah selesai, mereka duduk berhadapan di salah satu kursi dekat jendela kaca.
"Kamu enggak jadi ke rumah ayahmu?" tanya Kenes memecah keheningan.
"Jadi. Nanti kalau Yuyun sudah datang, aku pergi. Biar tenang ninggalin kamunya. Takut kejadian kemarin terulang lagi," jawab Danesh dengan senyum manisnya.
Kenes dibuat jatuh berkali-kali dengan perhatian yang diberikan sang pria.
Danesh menatap sang istri dengan senyum yang entah. Wajahnya terlihat lucu karena baru menyadari ada setitik bubur di pinggir bibir.
"Kamu kalau makan suka ninggalin sisa, ya?" tanya sang pria masih mengulum senyum.
"Enggak!"
"Lah, itu, di bibirmu masih ada bekasnya," tunjuk Danesh.
Kenes mencoba membersihkan bibir yang ditunjukkan Danesh. Namun, tidak kunjung bersih dengan arahan Danesh yang selalu gonta-ganti. Kenes menjadi semakin kesal.
"Ish! Tempat yang ada di mana sih?! Sini, salah! Sana, salah!" kesal Kenes dengan wajah cemberut.
Danesh menghela napas dalam. Ia juga lumayan lelah memberi arahan
"Dah lah! Biar aku aja sini yang bersihin." Danesh berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke arah istrinya.
Jempolnya mengusap lembut bibir yang kemerahan karena lipstik. Tatapan mereka yang saling bertemu di satu titik membuat d**a keduanya berdebar hebat.
Hati yang mulai dikuasai setan membuat Danesh berani mendaratkan kecupan singkat di bibir sang wanita. Kedua mata Kenes membulat sempurna, tetapi hati justru berbunga-bunga.
"Udah bersih," ucap Danesh sembari mengusap pipi sang istri dengan lembut.
Dari arah luar ada orang yang melihat pemandangan romantis itu dengan rasa tidak percaya. Ya, Yuyun dan Anto tidak menyangka kalau Mbak Bos bisa sedekat itu dengan pria. Apalagi sampai ciuman di warung disertai tatapan seperti orang bucin, butuh cerita indah.
"Pantas aja Mbak Bos berangkat pagi, Ant. Taunya mau ehem-eheman di warung," bisik Yuyun pada teman seperjuangannya.
"Hush! Jangan gitu, Yun. Sapa tahu hubungan mereka sudah serius," jawab Anto yang masih berpikir positif.
"Kan, kamu tahu sendiri ... Mbak Bos lebih sering bekerja dan bekerja. Dia tidak ada waktu untuk bercengkerama seromantis itu dengan pria," ucap Yuyun lagi.
"Heleh! Daripada penasaran kita tanya aja," jawab Anto yang akan bersiap berdehem untuk menyadarkan mereka akan keberadaannya.
"Ehem!"
Anto berdehem dengan keras. Kedua manusia yang sedang tersandung cinta menoleh bersama. Ada rasa canggung dalam hati keduanya karena tidak menyadari kehadiran mereka.
"Eh ... ka-kalian udah datang." Kenes berusaha menepis tangan sang pria lembut.
"Mbak Bos ngapain sarapan ciuman pagi-pagi, di warung pula?" tanya Anto dengan tegas dan tepat sasaran.
"Iya. Di sini, kan, bukan tempat ciuman." Yuyun ikut menimpali. Ia juga ingin tahu hubungan mereka yang sejak pertama begitu dekat, bahkan terlalu.
Kenes menjadi salah tingkah mendapati pertanyaan yang begitu jelas. Sedangkan Danesh justru ingin tertawa melihat wajah Kenes kebingungan. Ia pasti belum siap mengumumkan statusnya.
Akan tetapi, untuk sekadar memberi tahu Yuyun dan Anto tidak ada salahnya. Karena akan berinteraksi dengan mereka setiap hari. Tidak mungkin membiarkan pikiran mereka menjadi jelek tentang hubungan bosnya.
Danesh bangkit berdiri dari kursinya, lalu menatap serius ke arah dua manusia di depannya.
"Perkenalkan, nama saya Danesh, suaminya Kenes. Maaf tidak ada pengumuman apalagi undangan buat kalian. Karena kemarin acaranya mendadak," ucap Danesh dengan jelas dan tegas.
Kenes hanya tersenyum menahan malu saat menatap karyawannya.
"Maaf ...." Hanya satu kata yang keluar dari bibir Kenes.
Yuyun dan Anto saling menatap dengan bibir membentuk huruf O.
"Jadi, Mas Tampan sama Mbak Bos ...." Yuyun menyatukan dua jari telunjuk sebagai kode pertanyaan untuk hubungan mereka.
Kenes mengangguk. Lalu tersenyum tipis. Anto diam-diam memperhatikan jari manis keduanya, memang mengenakan cincin yang sama.
"Pantes aja selalu siap sedia buat Mbak Bos," gumam Anto dalam hati.
Danesh merasa lega karena kedatangan karyawan Kenes. Ia bisa meninggalkan sang istri dengan hati tenang.
"Ya udah. Kalau gitu saya pamit duluan. Ada keperluan. Titip Kenes," pesan Danesh pada Yuyun dan Anto.
"Asyiap, Mas Bos!" jawab Yuyun dan Anto secara bersamaan.
Danesh berbalik menatap wanita yang sedang tersipu malu.
"Aku ke tempat Ayah dulu ya? Kamu hati-hati, jangan melamun," pamit sang pria sembari mengecup lembut kening sang istri.
"Hm ... kamu juga hati-hati di jalan. Jangan kecentilan," pesan Kenes lalu meraih tangan dan menciumnya.
"Iya ... Sayang ... iya," jawab Danesh lalu mengusap lembut pipi sang istri.
Yuyun dan Anto merasa iri melihat pengantin baru yang lagi mesra-mesranya.
"So sweet ...." Yuyun berbicara sambil memegangi tangan Anto.
Anto menatap Yuyun dengan senyum kelewat bahagia bisa berpegangan tangan dengannya. Biasanya Yuyun selalu cuek padanya.
Keduanya tak henti menatap Danesh hingga berjalan melewati mereka.
"Mari ... saya duluan," pamit Danesh dengan sopan. Tubuhnya yang mulai menghilang masih menjadi perhatian mereka semua.
Kenes memilih menuju dapur setelah memastikan kepergian suaminya. Senyumnya terus merekah. Semangat pagi ini seakan bertambah karena sang pria.
Yuyun menyusul Mbak Bos ke dapur. Sementara Anto membersihkan meja dan mempersiapkan warung dalam mode buka.
Kenes mencuci semua mangkuk yang berada di wastafel. Sedangkan Yuyun membilasnya.
"Em, Mbak Bos seneng udah punya pasangan?" tanya Yuyun sambil membilas piring.
"Ya ... seneng iya, sedih juga."
"Kok, gitu? Mas Bos kayaknya perhatian banget."
Kenes terkekeh.
"Iya sedih lah ... kenapa nikahnya enggak dari dulu," jawab Kenes sambil tertawa.
"Heleh! Mbak Bos!" Keduanya kembali tertawa bersama.
Setelah semuanya selesai, Yuyun menyiapkan bumbu yang masih tersedia. Mulai dari kencur, bawang putih dan bawang merah. Cabai juga tidak ketinggalan. Semua bahan itu digiling dengan blender satu per satu lalu dimasukkan wadah yang sesuai namanya.
Kenes ingin mencuci tangannya sebentar dengan sabun cuci. Saat membasuh telapak tangan, ia merasa sedikit risih dengan keberadaan cincin di jari manisnya. Ia belum terbiasa melakukan aktifitas di warung menggunakan perhiasan.
"Lepas dulu sebentar lah," ucapnya pada diri sendiri.
Kenes melepas cincin dan menaruh di dekat tumpukan piring. Setelah mengelap tangan dengan kain kering, ia berlalu begitu saja membantu Yuyun. Ia melupakan cincin pernikahannya.
"Yun, jadi liat sayur sawi di tempat yang kamu ceritakan?" tanya Kenes setelah selesai merapikan semua bumbu ke tempatnya.
"Mbak Bos, mau ngajak berangkat sekarang?"
"Boleh sih, biar enggak kelamaan. Kasian Anto sendirian."
"Ya udah, ayo."
Karyawan dan juragan itu berjalan bersama keluar dari dapur. Anto terlihat hampir selesai membersihkan semua meja.
"Ant, kami pergi beli sayur sawi dulu. Enggak lama. Kamu bisa, kan?" tanya Kenes sebelum melangkah pergi.
"Asyiap, Mbak Bos!" jawab Anto. Kemudian dua wanita itu melangkah pergi meninggalkan warung.
Anto menatap sekeliling ruangan yang sudah mengkilap. Kebersihan warung memang selalu menjadi prioritas utama setelah kenyamanan dan kepuasan pembeli.
"Semua beres. Tinggal cuci tangan lalu stay di tempat," gumam Anto lalu pergi ke dapur.
Baru saja akan memutar kran, matanya melihat benda kecil berkilauan di dekat tumpukan piring. Bentuknya seperti cincin. Ia mengambil dan mengamati dengan teliti.
"Modelnya begini amat ... punya siapa ya?" Anto berbicara sendiri sembari melihat cincin dengan seksama.
Matanya lagi-lagi menangkap ukiran tulisan di dalam cincin. Ada tulisan 'Danesh Emran' mengelilingi di lapisan dalam cincin tersebut.
"Apa punya Mbak Bos? Kan, tadi kalau enggak salah nama Mas Bos itu Danesh. Ah, simpen dulu aja ... siapa tahu punya Mbak Bos. Kasian entar mewek kalau ilang." Anto memutuskan menyimpan cincin tersebut di saku celana. Kemudian mencuci tangan dan duduk manis di belakang meja kasir.
~~
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam, akhirnya Kenes dan Yuyun sampai di tempat tujuan. Pemandangan sawah yang berjejer di tepian jalan terlihat memanjakan mata. Jalan sekitar Dorowati memang masih dominan seimbang antara bangunan dan sawah. Apalagi menuju tempat yang dimaksud Yuyun, rumahnya Danesh. Hijaunya sawah masih menjadi pemandangan alam yang indah.
Kenes merasa seperti pulang ke rumah sendiri. Ia menunggu Yuyun mencari tempat parkir yang lebih teduh dengan sabar dan hati berdebar. Hati menjadi gugup jika nanti melihat Danesh dikelilingi gadis-gadis yang diceritakan Anto. Kenes berpikir memang bukan cuma hati yang butuh keteduhan, motor pun sepertinya perlu. Biar tidak kepanasan seperti hatinya nanti apabila melihat suaminya, Danesh digoda wanita lain.
Letak wisata sayur yang berada di dekat jalan membuat orang mudah mencarinya, termasuk dirinya. Hal ini bisa mendukung penjualan.
Yuyun tersenyum menatap Mbak Bos yang dengan setia menunggunya.
"Ayo, Mbak Bos, masuk. Malah diem," ajak Yuyun.
"Nungguin kamu. Kan, kamu yang lebih tahu tempat ini," jawab Kenes sambil mengikuti langkah karyawan kepercayaannya.
Baru saja melangkah sampai pintu selamat datang, satu suara yang sekarang mulai dirindukan menyapa rungunya.
"Kenes!"
Kedua wanita itu berbalik. Seorang pria yang dikenal dengan baik sedang tersenyum menatapnya.
"Loh, Mas Bos, kok, ada di sini? Apa jangan-jangan pria yang kemarin saya ceritakan itu, Mas Bos?" tanya Yuyun dengan wajah kaget, tidak enak, dan malu.
Danesh hanya tersenyum menanggapinya.
"Kamu aja yang enggak hafal sama wajahku," jawabnya dengan santai.
"Berarti nanti bisa gratis dong, Mas Bos?"
"Hahahaha ... gampang itu. Nanti biar aku aja yang itung-itungan sama Kenes," jawabnya lagi dengan mengedipkan matanya ke arah sang wanita.
"Cocok, Mas Bos." Yuyun ikut tertawa.
Kenes hanya diam mendapati godaan dari suami sendiri. Bisa-bisanya ia tidak malu berbuat hal demikian di depan Yuyun, karyawannya.
Saat Kenes merapikan rambutnya, Danesh melihat ada yang berbeda dengan jari manis sang istri. Cincin yang berkilauan sebagai tanda akan hubungan mereka tidak melingkar di jari manisnya.
"Sayang ... cincin kamu di mana? Kok, enggak dipakai?" tanya sang pria sembari mendekat dan memegang jemari wanitanya.
Seketika Kenes menatap jemarinya. Memang benar, cincin itu tidak menghiasi jari manisnya. Rasa takut bercampur sedih menjalar di hatinya. Ia masih ingat kalau cincin itu dipesan spesial oleh sang pria, dan sekarang ia menghilangkannya.
"Tadi pagi aku pakai, Mas. Beneran! Aku lupa tadi naruhnya. Padahal itu cincin pernikahan kita, kalau ilang gimana?" Kenes menjawab dengan suara bergetar. Matanya juga mulai berkaca-kaca. Sekali kedipan mungkin hujan akan membasahi kedua pipinya.
"Aku tidak mau kehilangan cincin itu. Apalagi sampai kehilangan orang yang ngasih. Kenapa aku baru sadar kalau cincin dan orangnya itu begitu berarti?"
-----***-----
Bersambung