SUAMI ONLINE 13 B
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Kepalanya terus mencoba mengingat siapa pemilik mata dan alis tersebut.
Dan ternyata ....
Kenes menutup mulut dengan kedua tangannya. Tubuhnya terasa lemas setelah mengingat pemilik alis tebal itu adalah Emran, pria yang sempat membuatnya jatuh hati dan patah hati.
"Jadi ... pria yang menikah di hari yang sama denganku waktu itu adalah dia? Emran ... Danesh ... Danesh Emran? Kebetulan macam apa ini?" lirih Kenes masih belum percaya.
"Enggak mungkin ... aku pasti salah tebak. Bagaimana bisa aku tidak punya keyakinan tentang semua firasatku selama ini? Apa ini sungguh kekuatan cinta sejati? Atau justru ini bukan satu kebetulan, melainkan hal yang sudah direncanakan." Kenes masih terus mencoba berpikir dengan kenyataan yang baru saja ia ketahui.
Ia ingin sekali membangunkan Danesh untuk mempertanyakan semuanya agar mendapat kejelasan. Namun, kepalanya mengingat ucapan Danesh semalam kalau tidak boleh marah karena mengetahui banyak hal tentangnya.
Kenes tidak tahu harus marah karena merasa tertipu atau harus bahagia bisa menikah dengan pria yang sempat membuatnya terkesan. Ia hanya menyadari satu hal, entah bersama Emran atau Danesh, keduanya sama-sama memberikan rasa nyaman.
Itu.
Kenes kembali menatap suaminya dengan perasaan yang entah. Hati merasa bahagia tapi d**a merasa panas. Tidak terasa air mata menetes saat selimut berwarna hijau itu menurun, memperlihatkan keseluruhan wajah sang pria.
Tangisnya semakin terisak merasakan takdir yang seolah penuh kejutan di setiap rahasianya. Bahkan Kenes sampai menyembunyikan wajahnya di sela kedua tangannya.
Danesh yang mendengar suara samar wanita menangis di pagi-pagi buta menjadi terbangun. Ia takut ada hantu wanita yang bersedih karena iri pada kemesraannya saat semalam.
Kedua mata terbuka perlahan dan mendapati sang istri tengah menangis dan menyembunyikan wajahnya. Danesh merasa benar-benar tidak tahu kalau wanita bisa secepat itu berubah emosinya. Semalam saja mereka masih terlihat mesra dan baik-baik saja tanpa ada masalah apa pun.
Akan tetapi, pagi harinya Kenes malah menangis hingga bersembunyi seperti sekarang.
"Kamu kenapa, Sayang ...? Kok, nangis? Mimpi buruk?" Danesh bertanya sembari mengelus lengan Kenes.
Ketika merasa ada sentuhan, Kenes mengangkat kepalanya dan menatap pria yang begitu ia inginkan ternyata ada di depan mata.
Kedua pipinya sudah banjir dengan air mata.
Danesh mengusap air mata itu dengan jempolnya. Rasa khawatir sungguh membuat rasa sabarnya menipis karena ingin tahu alasan apa yang membuat Kenes menangis.
"Kamu kenapa nangis? Mimpi buruk?" tanya Danesh lagi.
Kenes menggeleng. Sedetik kemudian Kenes menubruk dan memeluk sang suami. Tangisnya kembali pecah begitu saja. Danesh yang merasa bingung hanya bisa membalas pelukan Kenes. Sebisa mungkin ia memberikan support terbaiknya meski tidak tahu masalah apa yang sedang dihadapi sang istri.
"Udah ... Sayang ... udah. Malu sama tetangga. Entar ngiranya aku buat nangis anak orang. Mending kita jamaah salat Subuh ya?" Danesh mengusap punggung Kenes berkali-kali untuk meredakan tangis yang tanpa alasan.
Hampir satu menit Danesh menenangkan tanpa banyak bicara. Setelah mulai mereda, Kenes melepas pelukannya. Ia mencoba menatap wajah sang suami dengan pandangan yang memburam. Ia masih merasa bodoh karena tidak bisa menyusun semua persamaan Danesh dan Emran menjadi satu orang yang sudah menjatuhkan hatinya.
"Udah nangisnya? Kalau udah, sekarang kita salat dulu. Terus siap-siap," titah Danesh sembari memapah Kenes agar mengikuti ke arah kamar mandi.
Kenes memilih mandi terlebih dulu biar sekalian kepala menjadi segar dan bisa sadar akan kebodohannya. Danesh menunggu dengan sabar di depan pintu sambil duduk berjongkok. Ia masih mencoba memahami makhluk bernama wanita. Kenapa rasanya sangat sulit menebak isi hatinya. Ia juga masih tidak paham kenapa wanita bisa dengan cepat berubah emosinya.
Ketika pintu terbuka, Kenes menatap heran dengan kelakuan Danesh yang duduk di samping pintu kamar mandi. Kepala Kenes sudah lebih segar dari sebelumnya. Hatinya juga sudah lebih tenang. Ia memilih menyimpan semuanya. Ia akan mencoba mengerti alasan Danesh menyembunyikan semua ini. Satu yang jelas baginya adalah pernikahan ini akan menjadi pernikahan idamannya, bukan lagi sebuah penyesalan.
"Mas ...? Kamu ngapain duduk di situ?" tanya Kenes yang masih memperhatikan wajah Danesh. Terlihat begitu serius. Entah apa yang dia pikirkan.
Danesh mendongak, lalu bangkit berdiri.
"A-aku nungguin kamu. Kamu udah mandinya? Tungguin bentar ya? Biar jamaah bareng?" jawabnya lalu masuk begitu saja ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban.
Kenes menatap pintu kamar mandi yang tertutup sekilas, lalu berjalan ke arah lemari pakaian. Saat pintu terbuka, ingatan ucapan Danesh tentang baju-bajunya kembali terngiang.
"Memang benar ... bajuku ternyata banyak juga. Kenapa aku baru sadar," gumamnya dalam hati.
Matanya menangkap rak baju bagian Danesh. Ada rasa bersalah melihat baju sang suami yang saling bertumpuk penuh sesak. Ia menjadi berpikir ingin membongkar isi lemari dan memilih baju yang ia suka. Akan tetapi, mungkin lain waktu.
Kenes memilih baju yang akan ia pakai hari ini. Rok panjang model payung dan kemeja motif bunga menjadi pilihan untuk mengawali kesibukan dengan status baru. Kenes menggulung baju bagian tangan menjadi setengah lengan. Ia kemudian memilihkan baju untuk sang suami.
Setelah menimbang karena akan membantu ayahnya, Kenes memilihkan kaos berwarna putih dan celana jeans panjang. Baju kaos Danesh lebih dominan ke warna putih dan warna gelap. Baju Koko juga tak lupa diletakkan di atas sajadah.
"Ternyata punya suami bisa buat bahagia. Bisa saling perhatian dan saling berbagi cerita," lirih Kenes sambil tersenyum manis.
Danesh yang baru selesai mandi sedikit bingung melihat Kenes. Baru beberapa menit yang lalu ia menangis, dan sekarang malah tersenyum sangat manis. Benar-benar aneh.
"Kamu udah baikan, Sayang? Alhamdulillah kamu udah senyum lagi," ucap Danesh sambil mengusap dadanya yang merasa lega.
Kenes menatap sang pria dengan wajah yang artinya entah apa. Namun, bahagia terlihat jelas di matanya.
"Bajumu udah aku siapin. Aku nunggunya di sana aja. Sekalian siap-siap," ucap Kenes yang tidak menjawab pertanyaan sang suami. Kemudian ia berlalu menata sajadahnya di samping tempat tidur yang lumayan menyisakan celah untuk salat.
Danesh masih bingung melihat perbedaan yang terjadi pada Kenes. Namun, ia tidak ingin ambil pusing. Ia bergegas memakai pakaiannya lalu menyusul Kenes yang sudah bersiap menjadi makmum.
Mereka berdua saling terpesona melihat penampilan masing-masing. Kenes dengan mukenanya dan Danesh dengan baju koko serta pecinya.
"Udah siap?" tanya Danesh yang akan bersiap menjadi imam.
"Udah."
Keduanya saling merendahkan diri di hadapan Tuhan dengan khusyuk setelah suara merdu takbir Danesh mengawali salat jamaah mereka. Selama tinggal berdua baru kali ini salat Subuh berjamaah. Kebetulan pagi ini hari terakhir Kenes kedatangan tamu bulanan. Ia juga tidak terlalu memperhatikan waktu Danesh saat berdua bersama Sang Pencipta. Apabila sedang tanda merah, Kenes lebih sering menggunakan waktu untuk menonton televisi jika di rumah, atau sekedar mengintip media sosial.
Ketika salam terakhir selesai, Danesh berbalik. Kenes langsung menyambut tangan kanan sang pria dan mencium punggung tangannya. Sedangkan kepalanya merasakan ada sentuhan yang mengusap dan menciumnya dengan lembut.
"Kamu cantik kalau pakai begitu," puji Danesh. Ia mulai berharap ada keinginan Kenes untuk memakai hijab. Namun, ia tidak akan memaksanya.
"Maksudmu kalau aku pakai hijab?" tanya Kenes.
"Iya. Tapi itu terserah kamu. Aku enggak akan maksa. Yang penting kamu tahu batasan karena sudah menjadi seorang istri," jawab Danesh sambil mengusap pipi sang istri.
"Sebenarnya ada niatan sih ... tapi belum punya cukup nyali," jawab Kenes sambil menunduk.
"Pelan-pelan aja. Enggak usah terlalu menjadi beban karena ini. Perasaan ini tidak akan berubah. Karena cinta ini dari sini, dari hati." Danesh menunjuk dadanya di mana hatinya berada.
Kenes kini meyakini kalau Danesh memang pria yang baik. Ibunya tidak salah memilihkan suami. Apalagi ternyata Danesh adalah orang yang sama dengan Emran. Ah, kenapa jadi kangen sama ibu.
"Mas ...Aku jadi kangen sama Ibu?" ucap Kenes dengan wajah sedih.
"Kenapa enggak pulang? Bukannya, kamu jarang pulang karena takut dijodohkan? Sekarang kamu udah ada aku, jadi enggak perlu lagi menghindar. Lagian di warung juga ada Yuyun sama Anto. Mereka pasti bisa jaga warung dengan baik." Danesh mencoba memberikan ide.
Kenes berpikir sejenak. Memang benar apa yang dikatakan Danesh. Akan tetapi, untuk Minggu ini masih belum bisa. Ia harus melengkapi persediaan bahan yang tersedia.
"Kalau Minggu ini masih belum bisa, Mas. Aku harus memastikan semua bahan di warung tersedia untuk jangka waktu seminggu atau beberapa Minggu."
"Ya udah. Enggak apa-apa. Kan, rencana hari ini kamu mau beli sawi. Bisa nyicil dikit-dikit biar lengkap."
"Iya. Makasih, kamu udah mau ngerti, Mas. Karena dengan pura-pura sibuk, aku bisa lupa kalau tidak punya pasangan dan bisa lari dari tuntutan Ibu." Kenes memasang senyum tipis untuk perhatian yang diberikan Danesh.
"Udah enggak usah bahas tentang itu. Sekarang kamu bisa berhenti berlari. Kamu hanya harus berjalan bersama denganku menyusuri pernikahan ini sampai menemukan banyak kebahagiaan. Ya udah, mending sekarang buat sarapan. Mau aku yang masak seperti kemarin, apa gimana?" tawar Danesh sambil mengusap jemari Kenes.
"Aku aja yang masak. Sekali-kali belajar jadi istri yang baik," jawab Kenes sambil melipat mukena dan menaruhnya di tempat biasa.
"Aku temenin." Danesh ikut melepas baju kokonya dan menaruh di belakang pintu.
Mereka berdua berjalan ke dapur dengan beriringan.
Kenes langsung sibuk menyiapkan bahan-bahan apa yang akan dimasak. Kebetulan di lemari pendingin ada beberapa wortel dan sawi juga bakso. Menu hari ini mungkin sayur capcai dan telur dadar.
Danesh duduk di kursi dekat lemari pendingin. Matanya terus menatap pemandangan yang menurutnya indah. Ia bisa melihat ekspresi Kenes saat memotong sayur dan mengulek bumbu. Semuanya menjadi perubahan wajah yang menurutnya lucu.
Hatinya tergerak untuk membantunya. Namun, ingin dengan cara yang berbeda. Perlahan, Danesh mendekat dan memeluk Kenes dari belakang. Ia tidak lupa menyandarkan dagunya di pundak sang istri.
Kenes terkejut dengan sikap sang suami yang tiba-tiba memeluknya.
"Mas, lepasin! Ngapain pakai meluk-meluk segala! Enggak bisa konsen masak ini!" protes Kenes yang mulai terganggu.
Danesh masih tetap dengan sikap konyolnya.
"Sambil nunggu menu utama selesai, ada hidangan pembukanya enggak?" tanya Danesh.
"Ish! Ini di rumah bukan di restoran bintang enam, Mas!" Kenes mulai benar-benar tak bisa berpikir kalau Danesh punya sisi seperti sekarang.
"Aku punya sesuatu sebagai hidangan pembuka," bisik Danesh lembut tapi terdengar menggoda.
Kenes diam tidak menanggapi. Tangannya sibuk memindah sayur dari wajan ke wadah. Masak sambil ditungguin kayak anak TK ternyata bisa cepat selesai. Telur dadar pun sudah duduk di piring dengan cantik.
Kenes membawa sayur capcai dan telur dadar ke meja makan dengan posisi Danesh masih memeluknya dari belakang. Ketika akan meletakkan piring di meja makan, Danesh melepaskan pelukan dan beralih ke hadapan sang istri.
Mata Kenes mendelik melihat tingkah Danesh.
"Mau apalagi? Kenapa ngalangin mau naruh piring ke meja sih? Minggir dulu, Mas!" titah Kenes dengan wajah mulai kesal.
"Mau minta hidangan pembuka," jawab Danesh.
Kenes mengernyitkan dahinya. Kenapa ia masih meminta hidangan pembuka. Belum sempat menjawab, sesuatu yang hangat dan manis mendarat di atas bibirnya. Meski sempat terkejut, Kenes akhirnya memilih memejamkan kedua matanya.
Danesh yang merasa Kenes melunak langsung mengambil alih kedua piring dan meletakkannya di meja dengan caranya dan hati-hati. Hidangan pembuka habis setelah Danesh berhasil meletakkan piring di meja makan.
"Gimana? Hidangan pembukanya, manis, kan?" Danesh bertanya dengan tatapan yang penuh cinta.
Kenes yang baru membuka kedua matanya hanya bisa menelan salivanya sendiri dengan kasar. Ia tidak tahu lagi harus merespons seperti apa atas tingkah prianya.
Hatinya baru menyadari satu hal. Sejak semalam ia selalu menerima setiap sentuhan sang pria dengan hati yang menyerahkan diri dan pasrah. Bahkan terkesan menerima dan menikmati.
"Ah, apakah ini awal dari caranya yang lembut untuk meminta haknya? Kenapa aku jadi gugup dan takut?"
-----***-----
Bersambung