Black Rose - 16

1426 Words
Author POV *** Edwin melirik ke arah dimana kekasihnya berada. Ternyata, gadisnya itu sudah terlelap dengan layar laptop yang masih menyala, memperdengarkan lagu penutup dari film yang ia tonton bersama dengan Kenny. Selanjutnya, Edwin menoleh ke arah Kenny. Dan pemuda itu juga tengah memperhatikannya. "Sebenarnya saya mau manggil Anda buat minta izin membenarkan posisi tidur Calista," ujar Kenny memulai pembicaraan.  Edwin tak menjawab. Ia bangkit kemudian menghampiri kekasihnya dan membenarkan posisi tidurnya. "Kamu boleh pergi kalau urusan kalian sudah selesai," usirnya. "Lalu Calista?" Edwin menyerit. Memang apa hubungannya dengan Calista? "Maksud saya, saya bisa mengantarnya pulang kalau Anda sibuk. Saya-" Edwin tersenyum miring, "kamu ke sini naik apa?" "Taksi online. Awalnya saya berniat baik ojek online untuk pulangnya. Tapi kalau ada Calista, saya bisa-" "Sudah benar kamu naik ojek online saja. Biar bagaimanapun, kamu masih seorang mahasiswa yang belum memiliki penghasilan sendiri, kan? Belajarlah untuk berhemat. Toh kamu laki-laki. Tidak masalah jika harus berpanas-panasan naik ojek online," potong Edwin sembari tersenyum meremehkan. Kenny tersinggung mendengar ucapan Edwin. Tentu saja. Bagaimana tidak, Edwin sendiri jelas-jelas menyinggung perbedaan kasta mereka secara tersirat. "Karena Anda kaya dan Anda punya mobil, makanya Anda bisa berkata begitu?" tanya Kenny to the point. "Tentu saja. Tidak salah kan kalau saya membanggakan kesuksesan saya ini di depan anak muda sepertimu? Siapa tahu kamu akan termotivasi untuk menjadi kuat sepertiku," balas Edwin santai. Rasanya, ingin sekali Kenny menerjang laki-laki bermulut tajam di hadapannya itu. Tapi, melihat Calista tampak begitu lelap dalam tidurnya, mana mungkin tega ia mengusiknya dengan keributan yang ia buat? "Pulanglah! Besok kamu harus kuliah, bukan? Urusan Calista, kamu tidak perlu khawatir. Aku bisa menjaganya lebih dari yang kamu lakukan," usir Edwin. Lagi, Kenny merasa Edwin tengah menyindirnya. Kali ini masalah yang semalam saat Calista pingsan. Kenny tidak terkejut sama sekali jika laki-laki di hadapannya sudah tahu kejadian itu. Toh Hendri dan Calista pasti memang sudah memberitahunya. "Semoga saya tidak kecewa sudah mempercayakan Calista pada Anda. Kalau begitu, saya pamit pulang," pamit Kenny. Ia mengalah. Toh apa yang Edwin katakan memang benar. Laki-laki itu jelas bisa menjaga Calista jauh lebih baik darinya. Jadi, untuk apa dia di sini? Setelah itu, Kenny mengambil tasnya, kemudian berjalan keluar dari ruang kerja Edwin. Selepas kepergian Kenny, Edwin mendekat dan bersimpuh di samping Calista. Ia kembali memperbaiki posisi leher Calista yang tampak kurang nyaman, kemudian mengusap pipinya sembari tersenyum. "Tidurlah yang nyenyak! Semoga kamu mimpi indah," lirihnya sebelum bangkit berdiri dan segera kembali ke meja kerjanya. Masih ada beberapa pekerjaan yang harus Edwin selesaikan sebelum pukul empat. Ia harus segera menyelesaikan semuanya hingga ia bisa cepat membawa Calista pulang. * Calista mengejapkan matanya. Terakhir seingatnya ia tertidur saat menonton film dengan Kenny di ruang kerja Edwin. Tapi kini, posisinya sudah tiduran di sebuah kasur yang empuk. Dari aromanya saja, Calista yakin jika ini bukan kamarnya. Setelah berhasil menyesuaikan matanya dengan cahaya yang masuk, Calista segera menyapukan pandangannya ke semua penjuru ruangan. Ia tak asing dengan tempat ini. 'Cklek' "Sudah bangun?" tanya seseorang yang baru saja muncul dari balik pintu. Calista tersenyum. Ternyata ia berada di rumah Edwin. Ia menepuk kasur di sampingnya, meminta Edwin untuk duduk di sana. Secara tiba-tiba, Calista memeluk tubuh tegap Edwin. Bahkan laki-laki itu juga dibuat terkejut karenanya. "Are you okay? Apa kamu merasa tidak enak badan atau semacamnya?" tanya Edwin. "Aku hanya sedang ingin memeluk pacarku," jawab Calista sembari menyembunyikan wajahnya lebih dalam. Perlahan, Calista mengurai pelukannya. Ia membiarkan jari-jari Edwin yang tengah bermain-main di wajahnya. "Kamu sangat cantik," puji Edwin yang membuat pipi Calista kembali bersemu. "Kamu tidak mau tanya, apakah tidurku nyenyak atau tidak?" tanya Calista. Edwin terkekeh, "tanpa bertanya pun aku sudah tahu jawabannya." "Apa?" tanya Calista. "Kamu bahkan sempat mendengkur saat di ruang kerjaku. Membuatku sempat khawatir karena mengira kamu sedang bermimpi buruk," balas Edwin. 'Benarkah?' Lagi, pipi Calista kembali bersemu merah menahan malu. Membuat Edwin tertawa gemas dan mencubit pipi gembul gadisnya itu. "Tidak perlu malu. Aku sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Mengetahui kamu bisa tidur dengan nyenyak saja, aku sudah senang," ujar Edwin yang membuat Calista semakin bersemu. "Oh iya, soal mimpi, semalam aku kembali bermimpi tentang white lily," ungkap Calista. Ia bahkan baru ingat dengan jelas mengenai mimpinya semalam. Edwin menyerit, "white lily?" ulang Edwin. Calista mengangguk membenarkan. "Bukankah dulu aku pernah cerita tentang mimpi semacam itu padamu?" tanya Calista. "Ya, aku mengingatnya. Aku juga tidak merasa asing, jadi aku rasa memang kamu pernah menceritakannya," terang Edwin. "Nah, semalam, seakan lanjutan dari mimpi-mimpi sebelumnya. Atau setidaknya, masih berhubungan dengan dua mimpiku sebelumnya," jelas Calista. Edwin kembali menyerit. Ia memperhatikan lamat-lamat mata gadisnya itu. Apakah gadisnya itu serius dengan ucapannya? Bukan sekadar khayalannya saja? "Kalau aku bercerita, apa kamu akan mempercayainya?" tanya Calista. "Mendengar mimpimu bukan hal yang buruk untukku. Jadi ceritakanlah!" ujar Edwin sembari merapikan anak rambut Calista yang berantakan. Calista pun mulai menceritakan mimpinya. Mulai dari penggambaran fisik gadis di mimpinya, yang mirip dengan sosok White Lily di mimpi-mimpinya sebelumnya, awal mula gadis itu tampak menunggu kekasihnya sendirian, hingga tentang sepasang sapu tangan buatan White Lily itu. "Sapu tangan?" kaget Edwin. "Ya. Kenapa?" bingung Calista. "Tidak, lanjutkan!" Edwin kembali mempersilakan. "Kamu tahu, di sapu tangan itu ada gambar bunga lili berwarna putih, dan dua huruf yang sayangnya tidak bisa aku lihat dengan jelas," terang Calista. "Kamu yakin tidak bisa melihat dua huruf itu?" tanya Edwin. "Tidak bisa. Kenapa? Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan tentang itu?" tanya Calista balik. "Aku hanya merasa aneh, kenapa kamu tidak bisa melihat wajah keduanya dan dua huruf itu," jawab Edwin seadanya. "Ya. Aku juga bingung. Kenapa harus dua hal yang sepertinya menjadi kunci dari misteri ini yang harus tak dapat aku lihat?" monolog Calista. Edwin mengangguk setuju. Sepertinya benar, jika Calista mengatakan bahwa wajah dan dua huruf itu merupakan kunci dari misteri mimpi Calista. "Kamu benar-benar tidak bisa melihat hurufnya? Siapa tahu, mimpimu itu benar-benar berhubungan dengan teror mawar hitam itu. Jika benar, setidaknya kita bisa mendapat petunjuk dari sana," tanya Edwin lagi. "Aku tidak yakin, tetapi, sepertinya salah satunya adalah huruf 'A', sama seperti liontin di kalung White Lily. Lalu satu huruf lainnya, amat sangat tidak jelas. Aku benar-benar tidak bisa menebaknya. Mungkin antara 'H', 'K', 'M', 'N'? Entahlah," terang Calista. Edwin terdiam. Suasana menjadi hening ketika dua insan itu sibuk dengan pikiran masing-masing. "Mungkinkah itu huruf 'N'? Jika benar, aku akan merujuk ke satu nama," ujar Edwin. "Siapa?" tanya Calista tidak sabaran. "Aku tidak yakin. Tapi, mungkinkah itu 'Nugraha'? Maksudku, tidak menutup kemungkinan jika yang dimaksud adalah Irawan Nugraha, bukan? Dia tersangka utama kita sejauh ini, atas semua teror-teror mawar hitam gila itu," terang Edwin. Calista tampak berpikir. Ia ragu. Setahunya, kata Hendra, Irawan Nugraha biasa dipanggil Awan. AWAN! "Awan? Atau 'A' nya adalah Awan? Bukankah Pak Irawan Nugraha biasa dipanggil Awan? Itu yang Papa bilang," seru Calista. Edwin mengangguk. Kecurigaan mereka terhadap sosok Irawan Nugraha pun semakin besar. Hanya nama laki-laki itu lah yang langsung masuk ke pikiran mereka jika membahas tentang teror mawar hitam mengerikan itu. "Entah itu 'A', atau 'N', aku rasa kita patut mencurigai Irawan Nugraha, kalau memang mimpimu itu berhubungan dengan teror yang kamu dapatkan," ujar Edwin. Calista mengangguk setuju. "Sepertinya malam nanti kita harus membicarakan masalah ini pada Pak Hendra," ucap Edwin. "Termasuk soal mimpiku yang semakin aneh itu? Apa menurutmu Papa akan percaya? Tidak! Aku takut Papa malah akan menganggapku gila karena tekanan teror itu," tolak Calista tegas. "Tapi dia ayahmu. Dia berhak tahu," ujar Edwin. "Tolonglah, untuk hal ini cukup kita saja yang tahu, ya? Aku benar-benar takut Papa tidak akan mempercayaiku. Aku bisa mempercayaimu, kan?" kata Calista dengan ekspresi memelas andalannya. Edwin menghela napas panjang. Tampaknya, laki-laki bimbang dengan langkah apa yang harus ia ambil. "Tolonglah! Mimpiku itu sangat sulit untuk dipahami orang lain. Termasuk kedua orang tuaku," imbuh Calista. "Jika aku merahasiakannya, apa kamu mau berjanji tetap akan menceritakan semuanya padaku?" tanya Edwin. Calista mengangguk. Bukan masalah. Ia bisa melakukannya. Toh tanpa Edwin memintanya pun, ia akan tetap melakukannya. Karena memang ia butuh tempat berbagi. Dan ia rasa, Edwin lah orang yang paling tepat untuk itu. Ia percaya pada Edwin. Selain ia yakin Edwin bisa melindunginya, ia juga percaya, suatu hari nanti Edwin akan berhasil membongkar siapa sebenarnya dalang di balik teror yang ia alami akhir-akhir ini. *** Bersambung .... Bagaimana? Aku rasa makin ke sini bahasanya makin baku, ya? Tapi aku rasa memang untuk cerita yang cenderung serius seperti ini, cocoknya pakai bahasa yang baku. Kira-kira, teror apa lagi yang akan Calista dapatkan dalam waktu dekat? Masih bersediakah kalian bermain puzzle bersamaku? Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa ramaikan kolom komentar dan berteman denganku di sosmed (ig riskandria06 dan sss Andriani Riska) :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD