Black Rose - 15

1385 Words
Bosan. Siapa yang tidak bosan jika terkurung di sebuah ruangan asing selama berjam-jam? Terlebih, satu-satunya manusia selain diriku di ruangan ini hanya laki-laki menyebalkan itu, Edwin, kekasihku. "Apa pekerjaanmu belum selesai?" tanyaku. Sebenarnya, sudah berkali-kali aku menanyakan hal yang sama. Dan aku harap, jawabannya kali ini akan berbeda dari yang sebelumnya ia katakan. "Belum," jawab Edwin. Ah... ternyata masih sama. Aku benar-benar bosan. Bahkan teman-temanku sedang kuliah, tidak ada yang bisa menemaniku chat-an. Yup. Hari ini aku izin tidak berangkat kuliah. Sebenarnya bukan mauku. Tapi keinginan Edwin dan kedua orang tuaku karena mereka masih khawatir dengan kondisiku pasca pingsan semalam. Awalnya aku ingin tidur seharian di kamarku. Atau mungkin menonton film? Sepertinya cukup menyenangkan. Tapi kedua orang tuaku ada urusan yang mengharuskan mereka pergi hingga sore. Dan ketiganya kompak tidak mengizinkan aku di rumah sendirian- ralat, maksudnya, hanya dengan beberapa pegawai di rumahku. Dan berakhirlah aku di sini. Di ruangan yang luasnya hampir dua kali lipat kamarku, ruang kerja milik kekasihku. Namun bodohnya aku yang tidak membawa laptop. Sehingga aku hanya bisa memainkan beberapa game di ponselku sampai aku bosan sendiri. "Bukankah di depan tadi ada mini market? Boleh aku ke sana sebentar?" tanyaku meminta izin. Setidaknya, aku hanya ingin mencari suasana baru. "Sendiri?" tanya Edwin. Aku mengangguk. Lagi pula mini market itu benar-benar dekat dari gedung ini. "Tidak," imbuhnya. Aku memasang senyum paksaku. Menahan gejolak emosi yang rasanya tak mampu aku bendung lagi. "Lalu aku harus apa? Duduk diam sendirian di sini sambil menunggumu selesai bekerja?" kesalku. "Kamu bisa keliling ruanganku. Membaca apa saja, atau, kamu mau sesuatu? Aku bisa meminta sekretarisku mencarikannya untukmu," terang Edwin sembari tersenyum. Aku hanya menatapnya datar. "Mau apa? Sebutkan saja! Aku pastikan sekretarisku bisa membawakan apapun yang kamu mau," tambah Edwin sembari bersiap mengetik list pesananku. "Bolehkah aku membelinya sendiri? Sekretarismu boleh ikut kalau memang itu harus," pintaku. "Dia perempuan," ujar Edwin. Aku menyerit, "ya terus?" bingungku. "Dia tidak bisa melindungimu. Kamu hanya boleh pergi denganku untuk sementara waktu, sampai kami berhasil menemukan pelaku teror itu," ujar Edwin. Aku memutar bola mataku malas. Bukankah itu artinya akan lama? Memang kapan mereka bisa menemukan pelaku teror itu? "Aku cuma mau jalan-jalan sebentar," rengekku. "Sepulang dari sini aku akan mengajakmu jalan-jalan. Pikirkan saja tempatnya! Dan aku akan membawamu ke sana," ujar Edwin. 'Krrrruuukkk' "Perutku bahkan sudah berbunyi, aku butuh makan. Sebentar lagi jam makan siang," ujarku memelas. "Tenang saja. Aku sudah memesankan makanan untuk kita. Sekretarisku akan segera membawakannya ke sini," balas Edwin. Aku mendengus kesal. Kenapa susah sekali untuk aku keluar sih? Dia seakan sudah menyiapkan semuanya, termasuk jawaban atas alasan-alasanku untuk keluar dari ruangan ini. Dan benar saja, sekitar lima menit kemudian, sekretarisnya datang membawakan dua kantong makanan untuk kami. Ada beberapa snack juga. Aku segera menghampirinya, mulai memakannya tanpa perlu repot-repot menunggu laki-laki menyebalkan yang masih fokus pada layar laptop di depannya itu. "Kamu tidak menungguku?" tanya Edwin padaku. Aku menelan makananku dengan santai sebelum menjawabnya. "Apa itu perlu?" balasku. Aku sengaja menunjukkan sisi menjengkelkanku agar dia kesal, sama seperti yang aku rasakan saat ini. "Hahahaha..." Dan dia tertawa? Bukankah seharusnya dia kesal mendengar jawabanku? "Ya, kamu benar. Bahkan tadi niatnya aku baru saja ingin mempersilakanmu makan duluan karena aku masih harus menyelesaikan satu file ini," ujarnya santai. Aku mendengus. Gagal sudah rencanaku untuk membuatnya kesal.  Tapi, rasanya tidak enak juga jika aku makan sendirian. Terlebih, di tempatnya, dan ia juga yang membeli makanan ini. "Apa tidak bisa kamu makan ini dulu? Kan pekerjaanmu itu bisa dilanjutkan nanti lagi setelah makan siang," ujarku. Edwin tampak melihat ke arah arlojinya sebentar, sebelum akhirnya kembali fokus padaku. "Sepertinya tidak bisa. Satu file ini harus segera aku kirim sebelum jam satu," terang Edwin.  Aku kesal mendengar jawabannya. Bukankah dia bos besar dan sangat berkuasa? Kenapa harus begitu patuh hingga menunda jam makan siangnya? "Apa kamu selalu seperti ini?" tanyaku lagi. "Seperti ini bagaimana?" Ia menanyaiku balik, dengan tatapan yang masih fokus pada layar laptopnya. "Mengabaikan jam makan siangmu hanya demi pekerjaan," balasku. Tangannya tampak berhenti bergerak. Lalu beberapa saat kemudian, ia menoleh ke arahku sembari tersenyum. "Apa kekasihku ini sedang mengkhawatirkan kesehatanku? Wow, kemajuan yang cukup bagus," ujarnya santai. "Jangan terlalu percaya diri! Aku hanya tidak menyangka saja, orang dengan posisi sepertimu masih harus bekerja keras dan mentaati peraturan hingga mengundur jam makannya," terangku malas. Ku dengar kekasihku itu tertawa. Ia sedang mentertawakanku? Entahlah. Aku juga malas memikirkannya. Setelah cukup lama menunggu jawabannya, aku dikagetkan dengan laki-laki itu yang tiba-tiba bangkit dan berjalan ke arahku. "Sudah selesai, Tuan Sok Sibuk?" sindirku. Dia mengangguk, lalu duduk tepat di hadapanku. "Semua pekerjaan yang harus aku selesaikan sebelum jam satu sudah aku kerjakan. Pekerjaan untuk selesai jam makan siang, tentu saja belum aku kerjakan sama sekali," jawabnya sembari menunjukkan deretan giginya padaku. "Jadi aku harus terkurung di sini sampai sore?" kagetku. Gila saja jika ia sampai membenarkan pertanyaanku. Tapi... lihat! Dia menganggukkan kepalanya. "Kamu bercanda, kan? Aku tidak bohong saat mengatakan bahwa aku bosan," keluhku. "Maka dari itu aku minta sekretarisku untuk membawakan camilan untukmu. Selain itu, kamu butuh apa? Biar dia carikan apa yang kamu butuhkan," terangnya santai. "Apa boleh aku meminta laptop? Setidaknya aku bisa menonton film atau apapun itu," pintaku. "Tentu. Mau yang merk apa? Biar-" "Maksudku, laptopku di rumah. Dan jika sekretarismu itu sibuk, aku bisa mengambilnya sendiri kok," potongku cepat. Sebelum ucapannya semakin melantur dan benar-benar membelikan laptop baru untukku. "Oh, oke. Sepertinya aku akan lebih suka jika pekerjamu yang mengantarnya ke sini. Kamu bisa menghubungi mereka? Atau aku saja yang meminta mereka membawakannya ke sini?" tanya Edwin. "Kamu saja! Aku sedang sibuk," balasku sembari kembali memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutku. Setelah itu, kami tak berbicara satu sama lain lagi hingga makan siang usai. Edwin kembali ke meja kerjanya, sementara aku kembali bermalas-malasan di sofa panjang yang ada di ruangannya. Aku memperhatikan wajah rupawan di balik layar laptop itu. Benar-benar menawan. Jika aku pikir-pikir, bukankah berpacaran dengan laki-laki sempurna sepertinya adalah sebuah anugerah untukku? Munafik sekali aku yang dulu. Yang secara tegas menolaknya tanpa mau mengenalnya lebih dalam. Karena nyatanya, semakin aku mengenalnya, aku semakin terpikat olehnya. "Apa wajahku setampan itu?" tanya Edwin membuyarkan lamunanku. Aku pun mengalihkan perhatianku ke arah ponsel yang sedari tadi aku abaikan. Tak berselang lama, terdengar ketikan pintu yang membuatku terpenjat kaget dan langsung menegakkan badanku. "Masuk!" suruh Edwin tanpa mengalihkan tatapannya dari laptopnya. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Menghadirkan sosok yang sangat aku kenal. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke arahnya, lalu memeluknya. "Aaaaaaa aku senang kamu datang," girangku. Kenny, laki-laki di hadapanku itu lantas mengurai pelukan kami. Ia mengangkat tas laptopku lebih tinggi hingga aku menyadari, apa yang membawanya kemari. "Tadi aku bertemu dengan pelayanmu, katanya dia mau mengantar laptopmu ke sini. Jadi aku menggantikannya. Menaiki taksi yang ia pesan untuk bisa datang kemari," terang Kenny. "Bagaimana keadaanmu? Apa ada yang serius?" tanyanya. Aku menggeleng. Aku paham ke mana arah pembicaraannya. Ia pasti mengkhawatirkanku pasca kejadian semalam. Ah... aku tidak peduli apapun alasannya. Pokoknya langsung saja aku menarik tangannya ke arah sofa. Kami duduk bersebelahan, kemudian aku mulai membuka laptopku dan menyalakannya. "Apa ini tidak apa-apa?" tanya Kenny ragu. Oh ayolah! Apanya yang akan menjadi 'apa-apa'? Aneh sekali kelakuan sahabatku satu ini. "Kamu tidak lupa, kan, di mana kita saat ini?" Dia seperti memberiku kode untuk mengikuti arah pandangannya. Dan refleks, aku pun melakukannya. O o... Aku baru tersadar ketika melihat tatapan tajam yang terarah padaku dan Kenny. Bisa-bisanya aku lupa kalau saat ini tengah berada di wilayah kekuasan laki-laki yang tidak menyukai kedekatanku dengan Kenny itu. "Bisakah kamu bergeser dan setidaknya memberi jarak dua kursi dengan kekasihku, Kenny?" tanya Edwin dengan nada dingin. "Oh? Tentu saja bisa. Iya, kan Ken? Geseran sana!" usirku sembari mendorong Kenny kuat agar dia menjauh dariku. Kenny menurut. Ia benar-benar mengosongkan dua kursi yang menjadi pemisah denganku. Setelah melihat Edwin sudah kembali fokus pada laptopnya, aku menghela napas panjang. Seperti niatku sebelumnya, aku segera mencari film yang belum pernah aku tonton. Sesekali aku berbicara dengan Kenny untuk meminta pendapatnya, dengan suara kecil tentunya. *** Bersambung.... Karena genre utama cerita ini misteri, aku tidak akan memaksanya memasukkan kisah cinta segitiga yang rumit di sini. Kisah percintaan yang aku masukkan hanya yang sekiranya diperlukan. Bagaumana? Masih bersedia bermain puzzle denganku? Jangan lupa masukkan cerita ini ke pustaka kalian, dan bubuhkan komentar di setiap chapter agar mendapat notifikasi saat ceritanya up :) Terima kasih sudah mampir :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD