Black Rose - 17

1476 Words
Calista POV Aku selesai membersihkan diri. Saat ini, aku masih berada di kediaman Edwin. Berjalan keluar dari kamar untuk mencari keberadaan kekasihku itu. Aku menoleh ke kanan, kemudian kiri. Menatap pintu bercat cokelat tua yang aku yakini adalah milik Edwin. Aku berjalan ke sana. Aku ingin mengajaknya makan di luar, sembari ia mengantarku pulang. Hanya tinggal tiga langkah sebelum aku sampai tepat di depan pintunya, tubuhku seakan membeku. Ada sebuah ruangan tak jauh dari kamar Edwin yang menyita perhatianku. Sepertinya, itu juga sebuah kamar. "Calista!" Aku tersentak saat sosok yang sedari tadi aku cari, kini berdiri tepat di hadapanku. "Kamu ini kayak habis lihat hantu saja. Ada apa?" canda Edwin. Aku menggeleng. "Aku nyariin kamu. Pengin ngajak kamu makan di luar sambil nganterin aku pulang," jawabku seadanya. Edwin mengangguk, kemudian mengusap puncak kepalanya. "Kamu sudah siap?" tanyanya. Aku kembali menganggukkan kepalaku. "Ya sudah, kamu ke bawah dulu, ya! Tunggu di ruang tamu. Aku akan mengambil dompet dan kunci mobilku di kamar," tambahnya. Lagi, aku mengangguk patuh. Setelah kekasihku itu berbalik badan, aku pun segera berjalan ke arah tangga yang letaknya tidak jauh di sini. Sesuai intruksinya, aku akan menunggunya di ruang tamu. Selang beberapa menit, aku lihat Edwin berjalan menghampiriku yang kini tengah duduk di salah satu sofa ruang tamu. Ternyata ia tak hanya mengambil kunci mobil dan dompet, tapi juga mengenakan jaket kulit. "Malam ini sangat dingin," ujarnya. Aku mengangguk setuju. "Tidak biasanya, ya, Jakarta sedingin ini," balasku. Edwin menarikku berdiri dengan lembut. Kemudian memakaikan salah satu jaket yang ia bawa di tubuh mungilku. Setelah itu, ia memperhatikan tubuhku dengan seksama, memutarnya beberapa kali, dan aku hanya menurut. "Hehehe..." kekehnya. "Kamu mentertawaiku?" tanyaku. "Lucu kan? Sangat kebesaran di tubuhmu. Apa kamu memang sekurus itu?" ejeknya. Aku mendengus kesal, "bukan aku yang terlalu kurus, tapi memang tubuhmu saja yang terlalu besar," Edwin kembali terkekeh kemudian memelukku, "kamu, makanlah yang banyak! Aku tidak mau tubuh mungil ini rentan terkena penyakit," Salah satu tanganku aku gunakan untuk menyentuh dadanya. Lalu, kepalaku mengangguk. "Hmm... kamu harus lebih sering memasakkan makanan enak untukku. Agar aku lebih sering makan," ujarku setengah bercanda. Edwin mengurai pelukan kami. Tapi, tidak sampai benar-benar terlepas. Tangannya bahkan masih mendekap tubuh mungilku. Aku mengangkat kepalaku hingga tatapan kami bertemu. Senyumnyaaaa..... bukankah itu sangat manis? Bagaimana bisa aku memiliki kekasih yang memiliki duality sepertinya? Terkadang ia tampak garang dan mengerikan. Tapi, jika sedang seperti ini, dia benar-benar tampak manis dan lembut. "Kamu menantangku?" tanyanya. Aku menyerit bingung. Menantang dalam hal apa? "Aku bisa saja memasakkan makanan untukmu setiap hari. Kalau perlu, urusan makanmu sehari-hari bisa jadi tanggung jawabku. Bagaimana?" Kini kedengarannya dia yang sedang menantangku. "Ck, merepotkan. Maksudku hanya satu atau dua kali dalam seminggu. Itu sudah lebih dari cukup untukku," balasku. Dia terdiam, namun matanya masih fokus menatap wajahku yang mungkin kini sudah semerah tomat. "Aku punya pelayan yang selalu memasakkan makanan untukku. Di kampusku juga ada kantin. Aku tidak akan kelaparan hanya karena tidak kamu masakkan," imbuhku. Takut-takut, dia masih akan ngotot memasakkanku setiap hari. Itu sangat merepotkan untuknya. Kasihan. 'Cup' Aku membulatkan mataku. Bukankah barusan ia mencium pipiku? Di jarak sedekat ini? Ia menciumku? Aku langsung kehabisan kata-kata. Dan tanpa melihat ke arah cermin pun, aku yakin wajahku kini pasti sudah semakin tidak terkondisikan. "Kamu masih saja malu padaku," lirihnya. Aku memilih menyembunyikan wajahku di dadanya. Gila! Aku benar-benar malu. "Kamu nyaman di sini?" tanyanya. Di mana maksudnya? Di dalam dekapannya? Aku mengangguk sembari memperdalam pelukanku. "Kalau aku sering mengajakmu ke sini, apa kamu akan menerimanya?" tanyanya lagi. Oh... sepertinya yang ia maksud adalah rumahnya. Percaya diri sekali aku ini. "Kamu tertawa? Kenapa?" kagetnya karena secara refleks aku tadi mentertawakan isi pikiranku sendiri. Aku menjauhkan tubuhku darinya. Membuat jarak sekitar satu langkah antara kami. "Kamu mau sering-sering mengajakku ke rumahmu?" tanyaku. Dia mengangguk ragu. Seakan tak bisa menebak, apa jawaban yang akan aku berikan. "Tentu saja aku mau!" seruku penuh semangat. Edwin tampak tersenyum senang mendengar jawabanku. Astaga, hanya dengan melihat senyumannya saja, kenapa jantungku bisa berdetak tak beraturan seperti ini? "Oh iya, sudah dua kali aku ke sini. Tapi aku tidak pernah melihat satupun keluargamu di sini. Ke mana mereka?" tanyaku. Bukannya menjawab, Edwin malah menyeritkan matanya. Memang ada yang salah dengan pertanyaanku? Satu-satunya hal yang aku tahu, Edwin memiliki seorang tante yang amat ia kasihi, dan Beliau sudah meninggal. Lalu, di mana orang tua dan saudaranya yang lain? Aku baru ingat, bahkan Papa juga tidak pernah membahasnya. "Apa sangat sulit untuk dijawab?" tanyaku. Ia menggeleng. "Maksud kamu, kedua orang tuaku?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk. Memang apa lagi? Istrinya? Kan aku yang akan menjadi istrinya di masa depan. "Yup. Dan saudaramu yang lain, mungkin," ralatku. "Kedua orang tuaku sudah meninggal," terangnya. Aku tersentak.  Aku tidak tahu kalau ternyata orang tuanya sudah meninggal. Aku jadi merasa tidak enak menanyakan hal itu padanya tadi. "Ma- maaf," lirihku. Edwin terkekeh kemudian mengusap pipiku lembut, menenangkan. "Hey, memangnya kamu salah apa? Kamu kan cuma bertanya. Lagi pula kamu berhak mengetahui kenyataannya. Aku malah senang kamu mau mencoba mengenalku lebih dalam," ujarnya. Aku tersenyum mendengar kata-katanya. "Lalu saudara?" tanyaku lagi. Dasar mulut sialan! Tapi memang aku tidak bisa menahan rasa ingin tahuku. Aku benar-benar ingin tahu lebih jauh tentang kekasihku ini. "Aku tidak punya itu. Bisa dibilang, aku ditakdirkan menjadi anak tunggal," jawabnya. Aku mengangguk paham. Sesaat setelah itu, Edwin menggandeng tanganku menuju halaman rumahnya. Kami naik ke mobil, dan ia pun mulai menyalakan mesinnya. Masih ada satu hal yang mengganjal dan ingin aku tanyakan. "Lalu kerabat?" tanyaku. Edwin menoleh ke arahku. Tidak mungkin kan dia tidak memilikinya? Setiap orang pasti punya kerabat. Setidaknya, orang tuanya pasti punya keluarga, kan? "Tidak ada," jawabnya santai.  Tidak mungkin. Aku rasa, ada yang aneh. Aku berusaha memutar otak untuk mencari pertanyaan lebih lanjut. Tapi, dia sudah lebih dulu angkat suara. "Aku hanyalah anak angkat. Ayah angkatku Galang Atmaja, dan ibu angkatku Larasati Dewi. Mereka tidak punya anak meski sudah dua belas tahun menikah, jadi mereka mengangkatku yang saat itu hidup di panti asuhan. Saat diangkat oleh mereka, usiaku masih sepuluh tahun. Dan keluarga mereka, sebenarnya menolak keberadaanku. Jadi setelah kedua orang tuaku meninggal, kerabat mereka itu sama sekali tidak mau mengunjungiku," terang Edwin panjang lebar. "Ak- aku baru tahu," ucapku tergagap. "Tujuh tahun pasca mereka mengadopsiku, kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan pesawat. Jadi aku kembali menjadi anak yatim piatu untuk kedua kalinya diusia tujuh belas tahun. Aku tidak mungkin kembali ke panti di usia itu. Sedangkan kerabat orang tua angkatku, tidak ada yang mau merawatku. Sementara kerabat kandungku, aku sudah putus komunikasi dengan mereka semua. Jadi mau tidak mau aku harus belajar mandiri. Untungnya, saat itu Papa punya perusahaan kecil yang bisa membiayaiku kuliah. Saat itu aku juga harus mulai belajar mengembangkan usaha Papa. Sampai akhirnya, aku menjadi seperti yang kamu lihat sekarang," imbuh Edwin sembari melembar senyum hangatnya padaku. Benarkah, semengerikan itu masa mudanya? Ia bahkan sama sekali tidak mempunyai keluarga, meski ia sudah diadopsi oleh sepasang suami istri setelah orang tua kandungnya meninggal? Aku berhambur ke pelukan Edwin sembari terisak. Aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan kesedihanku. Ternyata, di balik sosok sekuat Edwin, ia menyimpan luka yang teramat dalam. Dan aku baru mengetahuinya saat ini. Bisa dikatakan, ia selalu menderita hampir seumur hidupnya. Ia pasti merasa sangat kesepian. "Tidak apa-apa. Aku sekarang sudah baik-baik saja. Terlebih setelah aku mengenal kamu, dan menjadikanmu kekasihku walau awalnya harus secara paksa. Kamu tahu kan, dari dulu aku tidak punya waktu untuk belajar memahami dan mengungkapkan perasaanku pada seorang perempuan? Kamu adalah yang pertama, Calista," ujarnya. Kini aku mengerti, kenapa ia melakukan hal menyebalkan itu dulu. Aku sudah benar-benar mengerti. Dan aku bersyukur, di antara miliyaran manusia di muka bumi ini, ia memilihku. Seorang gadis biasa berusia dua puluh tahun yang bahkan tidak bisa menerimanya di awal pertemuan kami. "Kamu sudah tahu cukup banyak hal tentangku, bukan? Untuk itu, jangan sekalipun kamu punya pikiran untuk meninggalkanku! Jangan biarkan aku merasakan sakitnya kehilangan untuk kesekian kalinya ya, Calista," pintanya. Aku mengangguk tanpa ragu. Bagaimana bisa aku meninggalnya? Aku bahkan sangat mencintainya. Dan aku pun tak sanggup membayangkan jika suatu hari harus hidup tanpanya.  Aku membutuhkan Edwin, sama seperti dia membutuhkanku. Aku mencintai Edwin, sama seperti dia mencintaiku. Mulai hari ini, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan mengubah segala luka dan penderitaan Edwin dengan rasa bahagia, hingga ia lupa caranya menangis. Aku akan selalu berada di sisinya sampai aku mati, apapun yang terjadi nantinya. *** Bersambung .... Bagaimana bab ini? Nyaris tidak ada misterinya. Dan sekarang Calista juga sudah mengetahui latar belakang Edwin. Lantas, akankah semudah itu bagi mereka untuk bahagia? Akan ada ujian apa lagi yang harus mereka hadapi setelah ini? Bagaimana, masih mau bermain puzzle ini denganku? Jangan lupa tinggalkan jejak agar dapat notif ketika ceritanya update! Jangan lupa pula untuk memasukkan cerita ini ke pustaka agar mudah kalian temukan. Terima kasih sudah berkunjung :) Spoiler next part: Bertemu Bapak Irawan Nugraha yang terhormat. Apakah benar, Beliau pelaku teror yang didapat Calista?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD