11. Akrab.

1875 Words
Kamu benar, Aku tak berhak menilai orang lain dari covernya, Sampulmu kusam tapi isinya penuh tawa. ________________       Elsa melangkah bersama Lova setelah keluar dari kelas, sore ini seluruh penghuni SMA Yossida harus datang ke Gor Rajawali untuk mendukung tim basket SMA mereka yang akan melawan tim basket SMA Tamtama. Beruntungnya sore ini tak ada jadwal pemotretan dan ia diizinkan oleh Mentari meski hanya tiga puluh menitan saja untuk melihat pertandingan itu, setidaknya Elsa merasa dia punya waktu untuk berkumpul dengan teman-temannya, menjadi seorang siswi yang wajar.      Keduanya terlihat asyik mengobrol sambil sesekali tertawa, terlihat Bagas yang baru keluar dari kelas dan diikuti oleh Widia yang juga baru keluar dari kelas IPS, gadis itu mengekor di belakangnya dengan raut murung.      "Elsa!" panggil Bagas, suaranya menggema di koridor lantai tiga.      Elsa dan Lova menoleh, mereka menghentikan langkah seraya menunggu Bagas yang menghampiri.     "Kenapa, Gas?" tanya Elsa datar.      "Lo mau lihat pertandingan basket, kan?"      Elsa mengangguk, dia menatap pemandangan di belakang Bagas sekilas. Terlihat Widia melipat tangan di d**a seraya menatap mereka tajam.      "Kenapa tuh sama mantan elo," celetuk Lova sengaja.      Bagas menoleh, lalu kembali pada Elsa. "Bodo, lo ke sana bareng gue ya, El. Mau, kan?" tawar Bagas.      Elsa terdiam, dia saling tatap dengan Lova. Tak biasanya Bagas begitu sampai menawarkan diri, biasanya dia pergi dengan teman-temannya. Setelah dipikir-pikir mungkin alasan semua itu adalah gadis yang berdiri agak jauh di belakang Bagas, yang menatap mereka horor seperti hendak menelan bulat-bulat.     Elsa menatap Bagas, dia mengangguk kaku. "Ng ... ya udah deh boleh, lagian si Lova juga bakal sama Affan," balas Elsa kikuk.     "Oke, nanti gue yang bilang ke Marko sama Jojo kalau lo bakal sama gue dan pulangnya gue yang anter, Tante Mentari bakal setuju, kan?"      Gadis itu kembali mengangguk. Mereka kini melangkah bersama menuju lantai dasar.      Lova dan Affan lebih dulu meluncur ke jalanan bersama motor lain, mereka terlihat seperti konvoi geng motor anak SMA yang mendominasi jalanan sore ini.      Elsa baru saja naik ke atas motor Bagas, dia meletakan kedua tangannya pada bahu laki-laki itu dan barulah motor melaju menghampiri motor lainnya yang lebih dulu bergerak dengan kecepatan yang sama.      Suasana di Gor Rajawali juga mulai ramai oleh mereka para pendukung Tim basket SMA Tamtama, tapi para pemain belum tampak muncul di area parkir Gor.      Beberapa orang juga membawa kertas berisikan kata-kata penyemangat untuk tim sekolah mereka, ada juga yang membawa terompet layaknya penonton tim sepak bola. Kali ini adalah pertandingan pertama yang dilakoni Satria, pasalnya selama dia bersekolah di Tamtama belum pernah sampai ikut perlombaan meskipun kemampuan basket yang ia miliki begitu apik.      Terlihat beberapa supporter dari tim Yossida datang berbondong-bondong bersama motor yang mereka naiki, termasuk Elsa dan Bagas yang kini masuk ke area parkir Gor. Begitu ramai ketika dua sekolah yang tak pernah bertemu itu kini sama-sama berada dalam satu tempat.      Satria juga baru datang bersama rombongan tim basketnya. Hanya Faisal yang juga ikut menjadi anggota basket, terlihat kehebohan yang ditampilkan oleh Melki ketika ia dibonceng oleh Satria. Laki-laki berambut ikal itu mengenakan slayer merah yang melingkar di kepalanya, polesan cat merah putih pada kedua pipi serta kacamata hitam. Beberapa orang tertawa melihat penampilan berbeda di wajah Melki, tapi itulah dia, tidak peduli bagaimana orang akan mencacinya.      Elsa baru saja turun dari motor, dia merapikan rambutnya yang terurai karena tak memakai helm tadi, diikuti dengan Bagas yang tiba-tiba ikut membenarkan rambut Elsa tanpa izin lebih dulu.      Gadis itu kaku, dia menatap manik Bagas tanpa membalasnya.      "Ng ... nggak usah, Gas. Gue bisa sendiri kok," ujar Elsa kikuk, dia tersenyum kecut.      "Nggak apa-apa, biar cantiknya nggak luntur," balas Bagas, barulah dia melepas helmnya dan meletakan benda pelindung kepala itu di atas tangki motor.      Tanpa Elsa sadari sepasang mata sedang memperhatikannya dari sebrang.      "Ya udah, Gas. Gue mau ke Lova dulu, tadi lihat dia udah jalan duluan masuk ke Gor. Takutnya nggak kebagian tempat duduk, lo lihat rame banget, kan?"      Bagas menatap area sekitarnya, "Ya udah, hati-hati ya. Nanti pulangnya gue chat biar kita bisa pulang bareng lagi," pesannya.      "Iya, duluan ya, Gas." Elsa beringsut pergi dari sana, melangkah seorang diri di tengah ramainya area parkir, dia menutup mulut serta hidung dengan telapak tangannya karena mencium aroma keringat yang menguar.      "Naomi!" seru seseorang.     Baru saja Elsa menapaki tangga pertama untuk mencapai pintu Gor, dia harus berhenti. Lalu menoleh, mendapati Satria yang sudah berada di dekatnya, gadis itu menurunkan tangannya.      "Nama gue tuh Elsa, bukan Naomi," protesnya.     "Apa yang salah? Naomi itu bagian nama panjang elo, kan? Atau gue panggil Mizuki aja?"      "Aneh." Elsa memilih melanjutkan langkahnya, Satria enggan menjauh dan menyamai langkah Elsa, memasukkan kedua tangan pada saku celana.      Elsa menoleh, "Lo ngikutin gue?" asumsinya.      "Enggak tuh, kan sama mau ke dalam Gor, betul?"      Elsa mengangguk pelan.      "Jadi lo udah jadian sama mantan selingkuhannya si Widia?" celetuk Satria asal.      Kening Elsa mengernyit, "Selingkuhan lo bilang? Bagas itu cuma korban dari sikap playgirl-nya Widia, dan lo jangan asal bilang. Gue nggak suka karena Bagas juga teman gue," tegurnya.      "Serius nih ngebela."      Elsa menghentikan langkahnya begitu juga dengan Satria, gadis itu menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.      "Mau lo apa sih! Jadi ngajak ngobrol cuma mau narik emosi gue? Mending nggak usah ngomong!" ketus Elsa, dia kesal dengan Satria.      "Lho, kenapa harus marah? Gue kan cuma tanya lo jadian sama itu cowok? Kenapa harus emosi."      "Gue nggak akan emosi kalau lo tanya pakai bahasa yang baik, Bagas itu teman gue. Jelas?"      Satria mengangguk paham, "Jelas kok jelas, kayak gitu baru jawaban."      Elsa berdecak, "Ya udah sana lo pergi, ngapain masih di situ sih."      "Kan lagi ngobrol sama elo, perlu bayar emang? Pakai pulsa apa paket internet nih?"      "Go Satria go! Go Satria go! Go Satria go!"      Semua orang menoleh ke arah sumber suara, sekitar delapan orang siswi Tamtama baru datang dengan hebohnya setelah turun dari sebuah mobil pick-up warna hitam, terlihat jelas seperti apa penampilan seksi mereka meski mengenakan seragam OSIS. Potongan rok ketat di atas lutut, seragam juga ketat menunjukan lekuk tubuh mereka, beberapa gadis memiliki rambut ombre dengan berbagai macam warna, mereka semua mengikat kening dengan tali warna merah, membawa masing-masing kertas bertuliskan GO SATRIA! dan beberapa kata lain untuk menyemangati laki-laki itu.      Mendadak tawa Elsa pecah tanpa bisa ia tahan, dia menutup bibirnya dengan telapak tangan.      Kening Satria mengernyit, "Apanya yang lucu sih?"      "Itu, mereka semua. Mirip deh mirip," ucap Elsa di sela tawanya yang renyah.      "Mirip apa?"      "Mereka semua pasti selingkuhan lo, kan? Gila banyak banget, emang nggak capek urusnya?"      "Selingkuhan? Selingkuhin siapa? Gue pacar aja nggak punya," sahut Satria begitu polos.     Seketika Elsa menyudahi tawanya, dia menatap Satria dari ujung kaki hingga kepala. Jika dikatakan tampan, Satria tampan di atas rata-rata, tapi kenapa?      "Jomblo?" Elsa menunjuk Satria. "Ya jelaslah lo jomblo, mau aja bonceng sana-sini, yang mau jadiin lo pacar udah sakit hati duluan sebelum mulai," cibir gadis itu.      "Heh! Nggak usah ngatain gue kalau lo juga jomblo!" hina Satria tak mau kalah.      "But i'm so happy, terserah lo ngomong apa. Punya pacar itu bukan hal yang wajib kali," ujar Elsa seraya melipat tangan di d**a.      "Ya udah nggak usah ngatain orang, lagian yang mau jadi cowok lo jelas bakal mikir dua kali."      Elsa mengerutkan kening, "Kenapa gitu?"      "Gue udah pernah bilang, lo sayang kalau diajak jalan-jalan nanti lecet, pantesnya bawa pulang trus dipajang gitu."      "Hah? Gue ini manusia kali bukan mannequien seperti apa yang pernah lo bilang!"      "Beneran kalau lo itu orang?" tanya Satria ragu.      "Ya iyalah, apaan menurut lo, hm? Barbie."      Satria mengangguk setuju.      "Bukan, gue ini manusia. Serius deh."      "Boleh dicek?"      "Caranya?"      Tiba-tiba Satria menjepit hidung Elsa dengan kedua jemarinya, tapi langsung ditepis oleh gadis itu karena ia susah bernapas.      "Lo itu ngapain sih! Mau matiin gue!" bentaknya kesal.      "Enggak gitu, eh manusia beneran bisa napas. Siapa tahu lo cuma robot dari Jepang gitu."      "Satria!" seru seorang gadis dari salah satu supporter di antara delapan siswi tadi. Gadis itu berambut lurus panjang dengan ujung ombre warna hijau, dia berlari menghampiri Satria.      "Itu pacarnya nyamperin," cibir Elsa senang.      Satria hanya meliriknya lewat ekor mata, hingga gadis itu tiba di depan mereka.      "Satria!" seru Alea kegirangan.      Dia menatap Satria dan Elsa bergantian, lalu menunjuk gadis itu.      "Lo anak Yossida, kan? Dan gue kayak familiar gitu sama muka elo, tapi siapa ya?" Gadis itu mengetukan jari pada dagunya.      "Siapa?" tanya Elsa memastikan.      "Ah iya, lo itu Elsa yang model Majalah itu, kan? Iya deh lo pasti Elsa." Gadis itu meneliti Elsa. "Ternyata lo emang benar-benar cantik yah."      Elsa tersenyum kecut, "Makasih."      "Jadi dia model?" ucap Satria seraya menatap Alea.      "Iya, lo emang baru tahu? Pantes sih, cowok kan jarang buka-buka majalah."      "Nggak usah dipertegas juga, urusan gue model apa bukan itu nggak penting," sela Elsa.      "Pantes cantik," celetuk Satria seraya membuang wajah.      Gadis itu menghela napas, "Gue udah bilang nggak usah dibahas."      "Jadi kalian berdua saling kenal? Apa jangan-jangan." Alea menyipitkan mata menatap Satria. "Ini cewek lo, Sat?"      "Hah! Bukan!" seru Satria dan Elsa bersamaan, mereka kini saling tatap.      "Dia itu nggak cocok dijadiin pacar, cocoknya jadi hiasan dinding. Ntar lecet lagi," cibir laki-laki itu.      "Ah masa, Elsa bukannya nggak punya pacar, kan? Setiap gosip-gosip juga nggak ada Elsa, tapi serius lucu juga sih tiba-tiba lo kenal sama bangkotan Tamtama ini," cibir Alea, dia melirik Satria lewat ekor mata dan sengaja menekan kalimat terakhirnya.      "Gue nggak sengaja kok ketemu sama dia," sahut Elsa.      "Kadang yang nggak disengaja itu justru berlajut sampai jadi sesuatu lho."      "Apaan?" balas Elsa dan Satria bersamaan.      "Bisa nggak jangan ikut ngomong yang sama, kan mulut kita beda," tegur Elsa kesal.      "Tuh kan, kalian sepemikiran. Jangan-jangan?"       "Elsa!" seru Bagas seraya melangkah menapaki tangga untuk mencapai gadis itu.      Ketiganya menoleh, ada tatapan tidak suka yang Bagas tunjukan pada Satria.      "Kenapa lo masih di sini? Tadi katanya mau cepat masuk biar kebagian tempat duduk, atau ada yang gangguin lo," ucap Bagas, dia melirik Satria lewat ekor mata.      "Nggak kok, cuma ngobrol sama mereka berdua," balas Elsa terlihat santai.      "Oh, lain kali jangan bicara sama orang asing, El," pinta Bagas.      "Nggak, gue ke dalem ya semua."      "Bareng." Sengaja Bagas meraih tangan kanan Elsa dan menariknya pergi di depan mata Satria.      Sesekali Elsa menoleh ke belakang, melihat laki-laki itu yang ternyata masih saja menatapnya hingga dia berbelok masuk ke dalam area Gor.      "Lo suka sama dia?" tanya Alea.      "Nggak tahu, atau mungkin belum."       "Ah, lumayan tuh barang antik. Blasteran lagi, eh tapikan lo itu nggak jelas. Nggak usah ngarep juga." Alea menertawai ucapannya sendiri, dia beringsut kembali pada teman-temannya. ________________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD