10. Rasa ingin tahu.

1992 Words
Andai aku punya apa yang Deddy Corbuzier punya, Aku nggak mungkin sampai segila ini. ________________ Ada yang aneh, Andai aku bisa menafsirkannya tapi itu semua tak mungkin. Beberapa hari ini pikiranku terusik saja oleh satu nama, Satria. Dia itu siapa? Kenapa bisa mengganggu separah ini hingga ke akar-akarnya. Kadang aku merasa lebih dari aneh, tapi pada keingintahuan setelah mendengar semuanya dengan jelas. Meski teka-teki, meski harus terpecahakan, bisa tidak ya? Tiba-tiba pikiranku melayang jauh, tapi untuk apa perlu ikut campur urusan orang lain, bukankah terlalu penasaran? Jangan salahkan aku, tapi dia.      Sudah pukul satu dini hari sejak Elsa pulang dari acara itu empat jam yang lalu, meski ia tak benar-benar menikmatinya dan duduk di salah satu sofa bersama Mentari serta beberapa kliennya. Pikiran Elsa terus melayang pada fakta di mana laki-laki itu punya detail kehidupan yang tak mudah, dan semua itu benar-benar mengusik pikirannya hingga pulang, bahkan sudah pagi buat ia belum juga terlelap.      Sambil tiduran dengan posisi telungkup dan kepala diangkat, kesepuluh jemari Elsa sibuk menulis pada blog pribadinya di laptop. Hanya satu nama, dan orang itu sangat asing tapi kenapa bisa mengganggu pikirannya hingga Elsa tak dapat tidur. Apa dia merasa miris? Apa kisahnya seperti dalam n****+-n****+ yang pernah ia baca? Di mana anak akan memberontak ketika mencari perhatian dari keluarganya yang broken home, tapi Elsa merasa kehidupan Satria bukan sekadar broken home, lebih kepada dikendalikan bukan oleh dirinya sendiri.      Elsa menutup laptopnya, dia beranjak dan meletakan benda itu di atas nakas lalu kembali rebahan di atas tempat tidur seraya menarik selimut. Tiba-tiba sepenggal kalimat terlintas di pikirannya.      "Mending Papa cepat-cepat deh buang nama marga Danuarta dari nama belakang Satria, biar semua aman dan nggak keganggu sama kehadiran Satria."      "Jadi Satria masuk keluarga Danuarta? Bukannya itu keluarga kaya raya, kan? Tapi—" Elsa mengatupkan bibirnya, dialog-dialog berikutnya yang masih berdengung di kepala sudah cukup menegaskan kalau hubungan Satria dan keluarganya memang tidak baik-baik saja.      Elsa memilih memejamkan mata dan menyimpan semua rasa penasarannya lebih jauh untuk esok hari. ________________      Kepulan asap rokok masih terasa begitu nikmat setelah ia sesap, udara pagi mulai sedikit tercemar oleh mereka para penikmat rokok serta asap dari lalu-lalang kendaraan. Jika stres melanda, benda silindris itulah pengurangnya. Kini dia sudah memakai seragam sekolah lengkap, ia juga sudah keluar dari tempat kostnya sejak lima belas menit yang lalu. Kali ini Satria bertengger di atas motornya di dekat halte bus sambil terus mengepulkan asap dari bibir serta lubang hidungnya, dia menatap orang-orang yang lewat, terutama mereka para anak sekolah.      Matanya terus bergerak seolah sedang mengawasi sesuatu, pagi ini dia memang punya tujuan khusus sehingga mengharuskannya bagun lebih awal, dia mengincar sesuatu.      Hingga kedua sudut bibirnya tertarik dan membentuk sebuah lengkungan, sesuatu yang ia tunggu sejak pagi akhirnya muncul, sebuah mobil warna hitam dengan plat nomor yang sudah ia kenali itu akhirnya lewat. Seketika Satria melempar puntung rokok yang masih sisa setengah itu ke jalan, dia memakai helmnya dan menghidupkan mesin lalu melaju dengan kencang mengejar mobil sasarannya.      Dia benar-benar seperti berandalan jalan raya, Satria mengemudikan motornya begitu kencang hingga menyalip beberapa kendaraan tanpa rasa takut sedikit pun. Dia ingin mencapai mobil hitam itu, tak peduli pada mereka yang meneriaki dirinya dengan segala u*****n-u*****n karena telah seenaknya menyalip tanpa peduli keselamatan pengguna jalan yang lain.      Kini motor Satria berhasil mencapai mobil hitam itu, dia melajukan motornya dengan kecepatan yang mengimbangi laju mobil, posisi Satria tepat di sebelah kiri mobil. Tanpa rasa takut dia mengetuk kaca bagian belakang berkali-kali.      "Keluar lo! Keluar!" seru Satria memberi perintah kepada seseorang yang duduk pada kursi kedua.      Gadis itu terhenyak setelah tahu siapa yang mengetuk kaca mobilnya, membuat Marko dan Jojo menghentikan laju mobil dan menepi. Begitu juga dengan Satria yang ikut menepi di belakang mobil.      "Non Elsa kenal anak itu?" tanya Marko yang duduk di balik kemudi.      "Ng ...." Elsa menoleh ke belakang, dia benar-benar menangkap jelas sosok Satria dari dalam mobilnya, kini perasaan gelisah menggelayut di punggung.      "Ng ... iya, itu teman aku."      "Ada masalah, Non? Saya sama Jojo turun ya?" izin Marko yang sudah melepas seat beltnya.      "Jangan! Jangan! Biar aku aja yang turun, kalian berdua di sini aja, nggak akan ada apa-apa kok," cegah Elsa, rasa takut mendominasi dirinya saat ini.      "Tapi, Non. Nanti kalau itu anak bahaya gimana?" ujar Jojo cemas.      "Enggak kok, nggak akan," balas Elsa bohong, sejujurnya dia memang merinding. Gadis itu membuka pintu mobil dan turun, dia melihat jelas sosok Satria yang terbungkus helm berada di belakang mobilnya, meski ragu tapi Elsa memberanikan diri menghampiri Satria.      Kini jaraknya dengan Satria hanya beberapa jengkal, laki-laki itu tak berminat untuk turun dari motor, dia menaikkan kaca helmnya dan tampaklah sorot mata tajam Satria.      "Ada apa lo ketuk-ketuk kaca mobil gue, hm?" tanya Elsa langsung pada titik awal mula, ia melipat tangan di d**a agar terlihat santai meski sebenarnya tidak, apa ini semua tentang kejadian semalam?      Satria tersenyum miring dari balik helmnya, "Kenapa emang? Nggak boleh yah takut leccet, hm? Eh iya gue lupa, lo kan anak orang kaya jadi kebanyakan pada sombong," cibir Satria sarkas.     Mata Elsa mendelik, "Apa lo bilang? Bukannya lo juga anak orang ka—"      "Cepat naik!" perintah Satria, kali ini dia terdengar membentak, suara yang menyimpan amarah sejak lama.      "Naik? Buat apa naik motor lo, gue mau sekolah. Kalau nggak ada yang penting udahan, Jojo sama Marko udah nungguin gue," elak gadis itu, andai Satria tahu bahwa jantungnya berdetak lebih cepat setelah dibentak seperti itu, untunglah Elsa masih mampu menutupi rasa takutnya. Dia menoleh ke arah mobilnya, syukurlah antara Jojo atau pun Marko tak ada yang turun.      Elsa hendak melangkah pergi, ia ingin menyudahi perang batinnya yang berkecamuk sejak semalam, tapi tangan Satria lebih dulu mencegahnya dengan mencengkram pergelangan tangan gadis itu.      "Yang nyuruh lo pergi itu siapa, hm? Gue bilang cepat naik!" kelakar Satria seraya menatap punggung gadis itu.      Elsa balik badan, dia menepis tangan Satria. "Gue tanya buat apa naik motor lo? Gue mau sekolah, jadi jangan ganggu gue karena gue nggak akan mau bolos sama elo."      "Yang mau ngajak lo bolos itu siapa, hm? Gue cuma bilang naik sekarang, gue yang akan antar lo ke sekolah."      "Hah?" Elsa mengatupkan bibirnya seketika, ternyata ia cukup syok dan membuka bibir terlalu lebar. "Demi apa lo ngomong kayak gitu makhluk asing?"      "Gue tuh masih di bumi, lebih asing mana sama makhluk di film Monster Inc?"      "Ya terus tujuan lo apa nganter gue ke sekolah, kita ini nggak kenal lho."      Satria mengulurkan tangannya, "Kenalin, nama gue Satria Adrian. Namanya sih Satria tapi jelas seratus persen gue bukan titisan hero, paham?"      Elsa menahan tawanya, ternyata laki-laki yang sudah memicu ketegangan dalam dirinya juga mampu melumpuhkan semua itu, lucu juga. Gadis itu menatap tangan Satria yang mengambang, tak berniat membalasnya.      Kening Satria mengernyit, "Kok diam? Katanya belum kenal, maunya gimana, hm?"      Dengan ragu Elsa menjabat tangan Satria, "Elsa."      "Elsa aja? Nggak ada nama panjangnya gitu, apa Elsa frozen yah jangan-jangan atau El Rumi, anaknya Ahmad Dhani dong?"      Gadis itu memutar bola matanya, "Elsa Naomi Mizuki," jelas Elsa.      "Naomi Mizuki?" Satria tampak berpikir. "Itu nama orang Jepang, kan?"      "Iya, udah deh berhenti bahas yang nggak penting, gue itu mau sekolah. Lo juga, kan?"      "Niatnya sih enggak."      Elsa berdecak, dia mulai kesal dengan laki-laki itu. Rasanya Elsa ingin menjahit bibir Satria agar diam.      "Ya udah naik cepet, ntar gue ngomong sekalian anter lo ke sekolah. Nggak macem-macem, swear!" Satria mengangkat telunjuk serta jari tengahnya.      "Sebentar." Elsa menghampiri mobilnya yang masih berada di sisi jalan.      Laki-laki itu hanya memperhatikan Elsa yang tampak bicara dengan salah satu bodyguard-nya bahkan sampai memohon, hingga ia kembali dan memasang wajah bingung.      "Kenapa, nggak boleh?" tanya Satria to the point.      "Enggak, tapi ya udahlah lanjut aja. Lagian gue udah biasa kabur-kaburan dari mereka, yang penting lo bawa motornya kenceng ya?" ujar Elsa.      "Oke, naik cepat. Tuh udah dilihatin mulu dari spion."      Dengan ragu Elsa naik ke atas motor Satria dan meletakan tangannya pada bahu laki-laki itu, seketika motor Satria melaju kencang melewati mobil Elsa. Jelas saja Marko langsung tancap gas dan menyusul motor dengan pemilik yang seperti kesetanan itu.      "Gue tahu jalan terobosan biar sampai ke sekolah, sekalian gue mau ngomong. Kalo ngebut gini gue nggak punya waktu buat ngomong," ucap Satria seraya menatap Elsa lewat kaca spion, untunglah gadis itu mengikat rambutnya jadi tak terlalu berantakan.      "Ya udah terserah lo aja deh," balas Elsa sambil sesekali menoleh ke belakang, melihat mobilnya yang tertinggal jauh dari mereka.      Benar saja, motor yang dikemudikan oleh Satria berbelok ke sebuah gang kecil, di mana kebanyakan bangunan yang berdiri di sana adalah rumah kontrakan.      Motornya kini sudah memelan, dia kembali melirik Elsa yang tampak gelisah lewat kaca spion.      "Rambutnya nggak acak-acakan, kan?" tanya Satria memastikan.      Elsa terlihat menyentuh rambutnya yang diikat dengan ujung curly itu, "Nggak apa-apa kok, lagian rusak juga bodo amat," balasnya tak acuh.      Satria tersenyum miring, "Semalam apa yang lo lihat, hm?"      Deg!      Elsa tertegun mendengar pertanyaan itu, pada akhirnya semua memang tentang semalam. Dia bingung harus berkata apa kalau jadi saksi hidup di sana.      "Gue dengar—"      "Semuanya, hm?" potong Satria cepat.      "Maaf, gue berada di posisi yang sulit. Maafin gue, serius gue nggak ada niat buat nguping obrolan lo sama Papa lo, maafin gue," sesal Elsa, dia menunduk.      "Banyak amat maafnya, jadi lo benar dengar semuanya?"      "Iya."      "Terus habis itu?"      Elsa menengadah, "Apa?"      "Lo bakalan cerita-cerita gitu soal semalem ke orang-orang, iya?"      Elsa mengerutkan kening. "Buat apa gue bilang ke orang-orang?" Dia bertanya balik.      "Yang gue tahu tuh cewek suka ngegosip."      "Gosip? Maaf ya gue emang cewek, tapi bukan pecinta gosip juga. Mending gue diem sambil baca n****+ daripada gosipin makhluk asing kayak lo ini, jelas?"      "Benar?" tanya Satria tak yakin.      "Benar deh, swear. Lo pegang aja omongan gue ini, gue nggak akan bilang sama siapa-siapa kok."      "Bagus. Lo nggak mau tanya?"      "Tanya apa?"      "Ya udah kalau nggak tanya, itu lebih bagus lagi."      Motor Satria sudah keluar dari gang kecil itu ke jalan besar dan hampir mendekati sekolah Elsa, dia menepi di dekat trotoar dan terlihat segelintir murid SMA Yossida yang melangkah di sana.      Laki-laki itu melepas helm dan menyugar rambutnya. "Maaf gue turunin lo di sini, gue nggak mau aja sampai ada gosip yang macem-macem tentang lo sama gue," ujarnya.      Elsa lalu turun, "Nggak apa-apa kok, makasih udah dianter. Sekali lagi maafin gue soal malem itu, gue bener-bener nggak sengaja karena emang males di dalem sana."      "Kenapa males? Bukannya di dalam sana itu banyak cewek-cewek anak orang kaya yah, kayak lo ini," sinis Satria sambil meneliti penampilan Elsa dari ujung kaki hingga kepala, tak ada yang meragukan jika gadis itu benar-benar cantik.      "Males, itu satu kata yang udah mewakilkan kalo gue emang nggak betah di sana, paham?"      "Iya, paham. Ya udah sana ke sekolah, apa mau bolos bareng gue?" tawar Satria asal.      Kening Elsa mengernyit, "Bolos? Jadi lo beneran mau bolos?"      "Nanti deh gue pikir-pikir, ada manfaat nggak buat masuk sekolah hari ini." Satria mengenakan lagi helmnya lalu menghidupkan mesin. "Kalau lo jangan bolos ya, hati-hati, selamat pagi dan sampai jumpa lagi," pamit Satria lalu melaju ke jalanan dengan kencang.      Elsa hanya bisa menggeleng melihat tingkah nakal remaja yang baru dikenalnya beberapa hari itu, sekolah saja dia yang mengatur.      Gadis itu kini melangkah bersama beberapa siswi lain di trotoar, ia hanya berharap semoga tak ada gosip macam-macam nantinya bagi mereka yang melihatnya bercengkrama dengan Satria. _______________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD