Terkadang,
Sebuah kata kebohongan justru,
Memicu kebaikan untuk diri sendiri.
_________________
Elsa duduk di tribun penonton bersebelahan dengan Lova, kali ini Lova begitu bersemangat karena Affan juga tim inti basket SMA Yossida, jadi mana mungkin dia tak memberi semangat pada kekasihnya itu. Kedua tim sama-sama belum terlihat, mungkin saja mereka tengah melakukan persiapan di ruang ganti.
Tribun penonton sebelah utara diisi oleh penghuni SMA Yossida sedangkan selatan begitu didominasi oleh SMA Tamtama dengan kehebohan mereka sendiri, tak sesepi supporter dari Yossida.
Sorak-sorai paling ramai juga terdengar dari supporter Tamtama, mereka benar-benar memberi dukungan penuh untuk tim basket sekolahnya.
"Lov, temenin yuk," ucap Lova menatap gadis di sebelahnya.
"Temenin ke mana, El?"
"Ke toilet, gue pengin pipis deh."
Lova mengecek jam di tangannya, "Aduh, El sebentar lagi pertandingan mau dimulai nih pasti Affan bentar lagi ke sini, nanti kalau nggak ada gue dia bisa-bisa nyari sampai ke rumah segala, lebay banget dia," ujar Lova menolak halus.
"Ng ... nggak segitunya juga kali, ya udah gue sendirian aja nggak apa-apa deh, tapi tolong jaga kursi gue ya jangan sampai ada yang tempatin," pesan gadis berambut pirang itu.
"Iya, iya. Malah nanti gue kasih tulisan milik Elsa biar semuanya jelas."
"Lebay lo," balas Elsa seraya mencubit hidung Lova. "Gue keluar dulu ya, beneran lho jangan sampai ada yang dudukin."
"Iya Elsa cantik."
Elsa beranjak dan melangkah seorang diri keluar dari tribun, dia keluar dari ruangan besar itu dan mendapati keadaan di luar mulai sepi, pasti kebanyakan orang sudah masuk ke dalam.
Dengan santai Elsa terus melangkah menghampiri toilet yang entah berada di mana, dia baru pertama kali datang ke tempat itu dan terasa asing.
Dari kejauhan matanya menangkap sekitar lima orang siswa dari Tamtama yang asyik merokok sambil duduk di atas kursi kayu panjang, dua di antaranya berdiri bersandar pada tembok.
Keraguan muncul dalam benak Elsa, tapi dia terus melangkah karena sudah tak bisa menahan rasa ingin kencingnya.
Makin dekat, jantungnya berdetak lebih cepat. Jika ada yang menemani pasti dia takkan setakut itu, tapi Elsa sendirian dan memilih menunduk.
Salah satu remaja yang bersandar di dinding menginterupsi lainnya ketika melihat gadis itu. Dua orang yang sedang duduk beranjak dan menghadang langkah Elsa.
"Mau ke mana, hm?" tanya salah satu dari mereka seraya meneliti penampilan Elsa dari ujung kaki hingga kepala.
"Cantik-cantik sendirian," cibir lainnya.
Dengan ragu Elsa menengadah, menatap mereka satu persatu.
Salah satunya menunjuk Elsa sambil berpikir, "Ah iya, gue tahu. Dia itu Elsa, model dari SMA Yossida."
"Lo tahu dari mana?" tanya siswa lain yang masih duduk seraya menyesap rokoknya.
"Mama gue tuh punya banyak majalah yang kebanyakan isinya gambar dia, kalau nggak salah Elsa Naomi."
"Gila! Si Tristan suka baca majalah!" cibir lainnya kemudian mereka menertawai Tristan.
"Bacot lo semua, diem!" bentak Tristan menatap mereka.
Elsa menghela napas melihat mereka semua, dia bisa menyimpulkan bahwa mereka bukan anak baik-baik terutama dari cara berpakaian mereka seperti Satria itu, memang kebanyakan anak SMA Tamtama berpakaian sesuka hati tanpa aturan.
"Maaf, gue harus ke toilet," ucap Elsa kikuk, suaranya baru terdengar.
"Apa? Ngapain, hm? Sini aja sama kita-kita, jarang nongkrong sama model cantik kayak lo," sahut Tristan seraya tersenyum miring, terlihat begitu meremehkan Elsa.
"Benar tuh benar, sebentar aja kok siapa tahu ketagihan," timpal sebelahnya.
"Maaf, tapi gue nggak kenal sama lo semua. Dan sekarang gue bener-bener butuh toilet," pinta gadis itu.
"Ngapain di toilet? Di sini juga bisa, malah nanti kita bantuin," ucap Tristan begitu sarkas.
Elsa menatap sekitar, keadaan begitu sepi. Dia merasa sangat terjebak, mendengar celotehan tak sopan mereka membuatnya muak. Gadis itu memilih balik badan, tapi sial dua siswa yang bersandar di tembok bergerak menghampirinya lalu menghadang jalan Elsa, dia makin terjebak dikelilingi oleh para berandalan Tamtama.
"Mau kalian apa!" bentak Elsa yang mulai naik pitam.
Beberapa dari mereka tertawa seperti menghina, peluh mulai menetes dari dahi Elsa. Dia bingung harus berbuat apa, ingin berteriak tapi keadaan begitu sepi. Yang bisa Elsa lakukan hanya berdoa dan meminta perlindungan pada Tuhan, semoga ada Malaikat yang datang dan membawanya terbang keluar dari sana.
"Kita senang-senang sebentar deh, nanti gue lepas," kelakar Tristan.
Elsa balik badan, Tristan mulai melangkah mendekatinya. Jelas gadis itu melangkah mundur agar tak bisa diraih, tapi sayang tubuhnya menabrak siswa lain di belakangnya.
"Hey!" seru siswa itu, dia terbahak telah ditabrak Elsa.
Gadis itu melangkah ke arah lain, tapi mereka semua justru kian menghimpit ruang geraknya.
"Pergi nggak lo semua! Atau gue akan—"
"Gue akan apa!" potong Tristan, tiba-tiba dia menarik tangan Elsa ke dekatnya dan merangkul bahu gadis itu. Jelas Elsa langsung menepisnya.
"Lepasin!" Elsa berusaha melepas cengkraman tangan Tristan pada pergelangan tangannya tapi terlalu sulit karena cukup erat, teman-teman Tristan tertawa, seolah mereka menonton pertunjukan.
"Mana bisa lepas, gue baru akan lepasin lo setelah lo mau turutin mau gue. Sebentar aja kok nggak sakit." Senyum Tristan lebih mirip seringaian setan di mata Elsa.
"Ayo, sebentar aja. Di mana mau lo, hm? Toilet, yuk gue anter."
Plak!
Elsa yang sudah tak kuat menahan emosinya mendaratkan telapak tangan di wajah siswa itu, napasnya terengah bersamaan amarah yang tercetak jelas. Semua teman-teman Tristan hanya diam sambil menikmati momen itu.
"Lo pikir gue apa!" bentak Elsa, dia masih berusaha melepas cengkraman Tristan, terasa seperti dilem.
Bukan hanya Elsa yang bisa marah, Tristan lebih dari itu. Tangannya yang tak mencengkram Elsa mengepal kuat, dia menatap gadis itu dengan alis bertaut, rahang yang mengatup, tatapan elang seperti singa yang hendak menerkam mangsanya.
"Dasar cewek nggak tahu diri! Di mana-mana tuh cewek mau sama gue! Nggak ada yang berani tampar gue!"
Plak!
Elsa tak pernah menyangka dia akan mendapat balasan tamparan di wajahnya begitu keras, ditampar oleh Mentari sudah biasa, tapi kali ini oleh seorang laki-laki dan bahkan tidak ia kenal bisa seberani itu.
Tangan Elsa menyentuh sebelah wajahnya yang terasa panas, tanpa ia minta air matanya meluruh deras. Dia merasa begitu terhina atas perlakuan mereka.
"Nangis kan lo, gue bilang juga apa. Turutin mau gue dan semua akan baik-baik aja, itu yang akan lo terima kalau berani sama gue! Gue anak orang kaya, bisa dapetin cewek kayak apapun, lo cuma model dan bukan artis terkenal jadi jangan macem-macem sama gue!"
Elsa menatap tajam ke arah Tristan, terlihat jelas wajahnya yang sembab. "Karena gue bukan salah satu dari cewek murahan yang mau sama lo!" kelakar gadis itu dengan berani.
"Lo berani jawab gue!" Tangan Tristan kembali terangkat, bersiap akan memukul gadis itu lagi, Elsa langsung menunduk ketakutan.
Bugh!
Sebuah bola basket melayang menyentuh kepala bagian belakang Tristan cukup keras hingga ia melepaskan tangan Elsa.
Tristan menyentuh belakang kepalanya yang terasa sakit, dia meraih bola basket di dekat kakinya lalu menatap teman-temannya.
"Siapa yang lempar gue pakai ini!" tanyanya meminta kejelasan.
"Itu di belakang lo." Tunjuk salah satu teman Tristan.
Tristan balik badan, dia mendapati Satria yang sudah berdiri bersama tim basketnya, menatap mereka semua dengan alis bertaut.
"Maksud lo apa lempar-lempar pakai ini, setan!" pekik Tristan, dia melempar bola ke arah Satria dengan kesal, tapi mudah ditangkap laki-laki itu.
"Lo ngapain ganggu cewek sekolah lain, hm? Kayak nggak ada cewek sekolah sendiri," cibir Satria, dia menatap punggung gadis itu.
Elsa seperti familiar dengan suara itu, dia menoleh, menunjukan wajah sembabnya dengan mata kemerahan. Satria terhenyak melihat pemandangan mengerikan itu, dia menghampiri Elsa dan menariknya menjauh dari Tristan.
"Elsa! Lo diapain sama dia!"
Gadis itu menunduk, "Tampar," sahutnya dengan suara yang parau.
"Tampar?" Satria memperjelasnya, dia geram dan menghampiri Tristan lalu menarik kerah laki-laki itu.
"Maksud lo apa tampar dia!" bentaknya seraya menunjuk Elsa.
Bukannya takut justru Tristan tersenyum simpul, dia menepis tangan Satria begitu saja.
"Santai aja dong, Sat. Dia mangsa gue, kenapa emangnya kok lo nggak terima, hm?" Dagu Tristan terangkat, menunjukan kesombongannya. Dia terlalu menganggap Elsa gadis murahan yang mudah didapat.
"Mikir lo, anjing! Dia pacar gue!" Semua orang tercengang mendengar pengakuan laki-laki itu, terutama Elsa sontak menengadah.
Satria menghampiri Elsa, dia meraih tangan gadis itu lalu berbisik.
"Apapun yang gue bilang ke Tristan, lo jawab aja iya atau paling enggak ngangguk. Oke? Ini semua demi keselamatan lo, dia lebih b******n dari gue," ucapnya lirih di dekat telinga Elsa, gadis itu menatap Satria sekilas lalu mengangguk setuju.
Lebih b******n? Jadi Satria begitu menyadari jika dirinya adalah seorang b******n? Syukurlah.
"Pacar?" ulang Tristan, ia dan teman-temannya terbahak mendengar perkataan Satria. Mereka tak yakin akan hal itu.
"Sejak kapan lo punya pacar, hm? Apalagi sekelas sama cewek blasteran kayak dia!" Tristan menunjuk Elsa. "Lo itu jomblo akut, jangan-jangan ada yang aneh sama lo, Sat," imbuhnya.
Teman-teman Tristan kembali terkekeh geli, Satria menoleh, bertatapan dengan Elsa seraya menggeleng pelan, ia hanya ingin Elsa tahu bahwa dia laki-laki normal. Gadis itu tersenyum kaku, terasa begitu kaku oleh air mata yang sudah membasahi wajah.
"Jangan nangis lagi," bisik Satria.
Satria melepas genggamannya pada Elsa, dia menghampiri Tristan lalu memukul wajahnya dua kali dan menendang perutnya hingga laki-laki itu tersungkur. Beruntung Faisal bergerak menarik Satria agar mundur, teman-teman Tristan juga membantu laki-laki itu untuk beranjak.
"Udah, Sat. Udah sesama anak Tamtama jangan berantem," cegah Faisal, berusaha menenangkan Satria seraya menariknya mundur.
"Heh! Maju sini lagi lo! Benar apa kata Faisal, ngapain lo pukulin teman lo sendiri yang sama-sama b*****t! Cuma karena cewek kayak dia!" kelakar Tristan yang masih saja mengumpat meski wajahnya sudah kebiruan.
"Apa lo bilang!" Satria hendak menghampiri Tristan tapi ditarik mundur oleh Faisal dan anak lainnya.
"Lo itu cupu! Berani-beraninya pukul teman sendiri cuma karena cewek kayak begituan!" balas Tristan masih tak mau mengalah.
"Udahlah, ayo kita masuk aja. Jangan berantem di sini," ujar salah satu teman Tristan.
"Biar! Biar orang-orang tahu siapa gue sebenarnya!" Tak peduli lagi apa yang diucapkan oleh Tristan, teman-temannya tetap menarik laki-laki itu pergi dari hadapan Satria serta anak tim basket lainnya.
"Tunggu aja lo bakal mati nanti!" ancam Satria yang tetap tidak terima atas penghinaan laki-laki itu pada Elsa.
Kini sosok Tristan dan teman-temannya sudah menghilang masuk ke dalam Gor, tinggal Satria dan tim basket lainnya. Dia menatap mereka bergantian.
"Kalian masuk aja dulu, gue mau ngomong sama dia sebentar," perintah Satria pada teman-temannya.
Mereka mencoba paham situasi dan meninggalkan Elsa serta Satria saja. Gadis itu masih menunduk, Satria menariknya agar duduk di kursi kayu panjang.
Ketika Elsa sudah duduk, Satria berjongkok di depannya seraya menyentuh sisi kursi dan menatap wajah sendu gadis itu.
"Lo nggak apa-apa? Maaf tadi soal—"
"Nggak ada yang baik-baik aja setelah ditampar cowok b******k kayak dia," balas Elsa terdengar serak, hampir tercekat.
Satria menelan saliva, begitu miris dengan nasib gadis di depannya.
"Gue nggak pernah begitu rendahnya di depan orang lain apalagi cowok, dan dia ngehina gue begitu dalam. Gue salah apa?" Elsa menatap Satria, air matanya kembali meluruh, merasakan sakit hati yang teramat.
Satria menghela napasnya, "Tristan emang anaknya kayak gitu, dia suka rendahin cewek-cewek apalagi bekas pacarnya. Udah jangan nangis lagi."
Elsa mengusap air matanya, meski masih saja meluruh. "Gue mau pulang."
"Pulang?" ulang Satria.
"Iya, pulang. Gue nggak mau lebih lama di tempat ini, apalagi kalau lihat lagi wajah teman lo yang menjijikan itu. Gue nggak cuma ditampar tapi dilecehin juga, gue mau pulang!" tandas Elsa lalu beranjak, melangkah meninggalkan Satria begitu saja.
Dilecehin? Bakal abis lo sama gue, Tristan! Batin Satria yang kian kesal dengan tingkah Tristan, kedua tangannya sudah mengepal. Dia beranjak dan berlari menghampiri gadis itu, tapi Elsa sudah cukup jauh.
________________