Milia masih pusing dengan pengertian hipotesa dan pengujian hipotesa, dan perrumuskan hipotesa lalu kawan-kawannya semalam. Jika kuliah jurusan Ekonomi sesulit ini, dia akan ambil jurusan lain misalnya bahasa inggris, indonesia atau yang lainnya. Entah otak jeniusnya pergi kemana, sepertinya ketebas angin kalau sudah bertemu Deon apalagi dimarahi. Rasanya gurih-gurih nyoi!
Ini kerjain tugas apa bikin bahan untuk mengajar kuliah, pokoknya tugas Milia banyak bener sampai buat kepalanya pusing tujuh keliling.
Anak gadis yang satu ini sudah bangun pagi-pagi, sengaja takut telat lagi. Semalam padahal dia cuma tidur sebentar, itu juga bawaannya gak tenang bund. Pagi ini tuh ada kelasnya dosen ganteng yang super duper killer, calon lakinya pula. Dari rumah udah pucet duluan. Milia berangkat juga gak sarapan.
“Kok tumben pagi bener, Mil?” tanya Endang yang sedang mencari di mana mentega, dia mau buat nasi goreng untuk sarapannya bersama Milia. Eh yang mau dibikinin sarapan malah udah siap dan tinggal berangkat. Milia tengah mencari di mana keberadaan sepatu teplek miliknya yang berwarna coklat, cocok banget dengan atasannya yang menggunakan kemeja putih dan celana warna coklat.
Milia pokoknya imut banget udah mah badannya mungil, keliatan banget anak ABG-nya, sayang mukanya aja yang kayak gak semangat. “Kuliah pagi, Nyak. Laki pilihan Enyak yang baiknya pake banget alias kebalikannya kan kasih tugas banyak bener, 50 halaman harus Mili print dulu, nih.” Rasanya ini pundak Milia berat banget mau dibawa masuk kuliah.
Yaudah berarti Endang bikin nasi gorengnya satu porsi aja, dia mau siap-siap jualan di toko milik orang lain, Endang jadi karyawan biasa aja, kadang ambil job cuci baju tetangga juga, ya mirip laundry. “Wawww …. Semangat, Mil. Kali aja dapet nilai A, jangan D ya, malu-maluin. Masa lakinya dosen, calon bininya bego!” Nyebut kata begonya itu lho, nadanya tinggi banget, mana mood Milia lagi gak bae, lagi sentimen karena kurang tidur.
“Buga-bego, asal ngomong aja. Mili itu pinter!” Mili gas lagi si enyak.
“Serah lu. Mau makan dulu kagak nih?” Endang cuma memperlihatkan sayuran yang sudah ia potong bersama sosis rasa keju kesukaan Milia, kalau nasinya kan belum di goreng.
“Gak napsu. Bye, Nyak.” Anak ini lupa buat salim, dia cuma melambaikan tangan doang setelah mengenakan sepatu. Duh gak sopa ini, kena batunya gak ya guys? Yang sopan itu saat berangkat ke mana-mana ya salim sama orang tua dulu.
Milia langsung dijemput Yayuk naik sepeda motor beat warna hitam. Motor ini sudah menemani Yayuk dari sejak SMA kelas satu, selalu Milia yang dia bonceng atau gak gantian. Milia bisa bisa nyetir motor juga diajarkan oleh Yayuk. Ya diantara teman grup yang lain, yang paling klop dan sefrekuensi ini Yayuk, yang lainnya rawan kasih SS-an grup ke orang-orang. Dari sepuluh teman mungkin tidak ada satupun orang yang tulus pada kita. Milia saja banyak teman bahkan geng, tapi yang benar-benar sahabat itu Yayuk.
Mereka berhenti di salah satu warnet yang terlihat di luarnya tidak terlalu ramai motor, saat mereka masuk ternyata banyak orang. Berarti satu motor sepertinya membawa teman yang mau print tugas juga.
“Bang-bang. Mau print, Bang.” Milia yang menghampiri abang-abangnya duluan. Yayuk kan butuh proses mengunci motor dulu, mencantolkan helm dulu, garcepan Milia yang duduk di belakang, tinggal turun langsung masuk.
“Gak liat itu, Dek?” tanya abang yang punya warnet mengenakan kaus berwarna hitam sehitam kulitnya. Padahal jadi pegawai warnet lho, tapi kulit hitamnya begitu melekat gak putih-putih.
“Apa?” Milia bingung. Dia pun lirik ke kanan dan ke kiri.
“Antri. Nih ambil no antriannya!” Pria itu menyerahkan kotak yang berisi nomor antrian, tampaknya ini warnet laku sekali karena letaknya dekat kampus, mahasiswa yang di rumahnya tidak punya alat print berbondong-bondong ke mari untuk mencetak tugas kuliah.
“Yahh …. Ini udah antrian ke berapa?” tanya Milia sambil meraih kotaknya. Masa iya dia harus antri, kan takut telat. Kalau pindah ke warnet lain juga belum tentu tidak antri.
“Lima. Adek no sepuluh, berarti antri lima orang lagi.” Lima orang itu lumayan lama lho. Kalau seorang print 20 lebar itu setara 10 menit, kalau yang lebih banyak ya lebih lama. Belum lagi terkadang ada mahasiswa yang belum merapikan filenya dan minta dirapikan oleh petugas print. O iya, tambah waktu jilidnya juga, ya. Jilid satu tugas itu lima menit, kalau banyak ya lumayan juga.
“Oke.” Milia ambil nomor antrian dan setelahnya kembali menghampiri Yayuk.
“Yuk, lo mau antri aja di sini? Ini antriannya lumayan banyak, lho.” Milia menunjukkan nomor antriannya pada Yayuk.
Yayuk terkejut melihat angkanya dan banyaknya orang-orang yang antri di dalam. Ini bisa saja antrian dalam satu nomor itu dua atau tiga orang yang antri. Milia dan Yayuk saja berdua dalam satu nomor. “Ada lagi tempat lain gak, ya? Antriannya lama bener, nanti telat lo kena marah lagi.”
“Coba cari lagi aja deh.” Milia pun menaruh nomor antriannya lagi dan menarik tangan Yayuk.
Yang mengemudi kini Milia karena takut Yayuk kecapean. Gadis ini melihat ke kanan dan Yayuk ke arah kiri, barangkali warnetnya kelewatan.
“Eh sama antri juga. Balik aja lagi deh.” Ada satu tempat juga di sisi kiri jalan yang ternyata lebih ramai. Yang ini bahkan antrinya luar dalam.
Milia memutar balik arah haluan motor dan kembali ke tempat tadi. “Buset antrinya makin banyak. Nomor antriannya gak lo balikin kan Mil?” tanya Yayuk khawatir.
Eh sayangnya Milia kan tadi tidak pikir panjang, dia menyimpan nomor antrian dengan perasaan yang percaya diri bahwa akan dapat warnet yang sepi dan lebih murah, ternyata malah tidak.
“Gimana ini, tadi gue malah balikin, Yuk.” Milia menggigit bibir bawahnya sambil mengeluarkan keringat dingin, dia lirik jam yang ada di tangannya, mata kuliah Deon setengah jam lagi. Untung tadi berangkat lebih awal, tapi waktunya cukup tidak ya dengan antrian banyak seperti ini.
“Waduh …. Sana ambil lagi!”
Akhirnya mereka dapat nomor 13, ternyata banyak orang-orang yang antar jemput jadi kelihatan banyak yang antri. Masih mending sih cuma nambah tiga antrian, tapi Milia jelas was-was, kalau telat kasihan Yayuk juga ikut telat.
“Lo tidur berapa jam?” tanya Yayuk sambil memperhatikan raut wajah Milia yang semakin suram, melas banget kayak anak gak di kasih makan dua hari.
“Tiga jam doang.” Milia pun memejamkan matanya sambil duduk di sebelah Yayuk.
“Gilee ….” Yayuk sih tidur lima jam karena tugasnya sedikit.
“Sini tidur dulu di bahu gue.” Yayuk tawarkan bahunya agar Milia bisa bersandar.
“Duh so sweet banget sih, Yuk.” Milia bisa tidur sebentar berkat Yayuk.
“Mayan tidur sebentar juga, Mil. Daripada nunggu antrian melekan. Tar gue bangunin.” Biar Yayuk yang awasi antriannya.
Ternyata masih ada waktu dan mang warnetnya bergerak cepat, tadi Yayuk ngomel-ngomel biar amang-amangnya gak lelet.
“Mil-Mil.” Dia panggil Milia sambil menepuk-nepuk tangannya.
“Eh ….” Milia hampir saja menjatuhkan air liurnya, dia telan kembali salivanya dan mengedip-ngedipkan matanya.
“Bangun. Giliran kita, nih.” Yayuk pun mengeluarkan flashdisknya.
“Alhamdulillah.” Milia juga melakukan hal yang sama..
“Bang tolong print file yang ada di sini.” Milia menyerahkan flashdisk warna hitam garis pink yang bisa menampung tugas dan file lain sebanyak 30GB. Tangannya di ulurkan agak panjang karena jarak dari dia berdiri ke monitor dan pegawai warnet ini jauh.
“Duh sempit banget ya mau liatnya.” Dia takut salah cetak.
“Nama filenya aja yang mana, Dek?” tanya pria berbadan kecil seperti mie itu.
“Tugas dosen killer.” Milia menamainya ini, kalau tidak salah ya. Dia masih kantuk duh, sekarang saja kucek-kucek kelopak matanya yang terasa berat banget.
“Oke. Gak usah dirapihin lagi kan?” tanyanya sambil mencolokkan flashdisk milik Milia ke CPU. Kalau harus dirapikan kan memakan waktu cukup lama lagi, kalau tinggal print saja cepat.
Yayuk pun ikut menyerahkan tugasnya. “Kalo saya di sini namanya tugas statistik, Bang.”
“Oke!”
Dengan keringat yang membasahi seluruh tubuh, kemeja yang dipakai Milia dan Yayuk juga sampai basah. Rambut pun jadi ikut-ikutan lengket. Debaran d**a keduanya pun sangat kencang. Lima menit lagi, ya lima menit kelas Deon akan segera dimulai. Milia dan Yayuk baru sampai di parkiran. “Alamak …. Cukup tidak dari parkiran ke kelas dengan waktu lima menit?” tanya Milia sambil mencantolkan helmnya ke bagasi motor Yayuk.
“Cukupin aja. Ayo lariiii ….!” ajak Yayuk kali ini garcep.
Gara-gara antri dan malah ingin pindah lain hati, eh maksudnya pindah warnet kan jadinya makan waktu lebih banyak.
Dua anak gadis ini berlari kencang sambil memandang gedung kelas mereka berada. “Ayo semangat!” Mereka saling menyemangati.
Ini tali sepatu Milia cari gara-gara deh. Malah lepas segala. “Ya Allah. Waktunya mepet ini.”
“Mau gue bantuin?” tanya Yayuk sambil ngos-ngosan, dia berniat membantu tapi takut telat juga.
“Gak usah Sana duluan!” Milia mendorong Yayuk agar terus berlari.
Gadis ini memilih tidak mengikat tali sepatunya saja. Tali berwarna putih itu ia raih dan selipkan ke bagian samping sepatu, berharap tidak akan keluar dan membuat dia terjatuh.
Tinggal satu menit lagi dan Milia sudah melihat Yayuk sudah masuk, ada Deon juga yang sudah berdiri macan patung pancoran.
Nyatanya tali sepatu ini malah keluar dan membuat kaki Milia yang satu lagi terjerat dan dia pun kehilangan keseimbangannya.
“Aaaaaa …..” Milia pejamkan matanya rapat-rapat. Lho kok tubuhnya tidak terasa membentur apapun, tapi miring sih? Lalu tidak ada rasa sakit sama sekali.
Saat Milia membuka matanya lebar-lebar. Ternyata ada bahu seseorang yang menyangga kepalanya dan ada dua tangan yang menyangga tubuhnya agar tidak terjatuh. Pose mereka mirip orang berpelukan. Lho kok rasanya juga nyaman banget, sampai Milia pengen pelukan ini agak lamaan dikit.
Milia penasaran yang menolongnya ini siapa, perasaan tadi yang ada di depan kelas itu adalah Deon. Saat Milia bangun, dia melihat kedua tangan kekar yang nyatanya itu milik Deon. Oh my God, berarti Deon yang menyelamatkan Milia saat gadis ini mau terjatuh. Berarti mereka berpelukan di depan kelas. Milia auto takut banyak cewek-cewek menyerang dia setelah ini. Bukannya mengucapkan terima kasih, kata ini malah yang keluar dari mulutnya. “Aku belum telat kan?”
Kening Deon jadi berkerut. Dia pun melirik tubuh Milia karena takut ada bagian yang lecet, ternyata baik-baik saja. Usahanya menyelamatkan Milia berhasil. Tadi Deon panik melihat tali sepatu Milia yang lepas dan gadis itu terlihat akan terjatuh. Deon buru-buru berlari menyusul dan menyelamatkan Milia. Untung tubuhnya kuat sehingga Milia pun berhasil selamat.
“A- a- aku boleh masuk, ya, Pak?”