Milia mengibas-ngibaskan tangannya, bukan karena kepanasan saja karena main lari-larian, ternyata dia juga kepanasan habis lihat sesuatu. Kedua netra Milia yang beriris coklat itu dapat melihat dengan jelas betapa tampannya Deon dari dekat, benar-benar dekat. Mungkin kini semua gadis ingin berada di posisi Milia. Gadis beruntung yang diselamatkan dosen ganteng idaman para gadis satu kampus UI.
Mata Deon yang sipit tapi memiliki binar yang tajam, bulu-bulunya hitam dan terlihat halus, alisnya tebal dan rapi. Hidung Deon mancung dan memiliki lubang yang tidak terlalu besar. Bentuk wajahnya terlihat seperti model sekali, kulitnya pun maskulin. Lebih parahnya lagi dadanya itu pelukable banget.
Deon tidak langsung masuk tadi saat sudah menyelamatkan Milia. Pria itu menghela napasnya lega karena berhasil menyelamatkan Milia. Dia berdiri mematung beberapa detik hanya untuk mengatur debaran dadanya yang tiba-tiba saja seperti tabuhan drum. Untuk pertama kalinya jantung Deon seperti ini, rasanya tidak karuan, sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan pipi Deon saja memerah.
Milia dan Deon, keduanya sama-sama mengalami hal yang sama. Debaran d**a kencang, mata tidak fokus, napas harus diatur dulu, melangkahkan kaki pun ragu-ragu. Deon malu karena dia harus profesional dalam mengajar. Setelah mengatur moodnya yang tiba-tiba saja tidak stabil, dia akhirnya bisa kembali bertingkah normal. Pria yang satu itu tadi terkesima melihat Milia sungguh dekat. Wajah gadis itu mungil semungil bibirnya yang indah, hidungnya mancung dan ukurannya tidak terlalu besar. Mata Milia sipit dengan bingkai iris coklat, bulunya lentik dan alisnya juga tipis, pantas Milia mengenakan pensil alis.
Pria tinggi semampai ini pun duduk sambil mengambil kertas absen, dia memanggil satu persatu mahasiswanya.
Milia melamun selama beberapa detik karena dia benar-benar terkesima saling pandang bersama Deon tadi hingga Yayuk menepuk pundaknya.
“Mil ….” Yayuk ini berteriak lumayan kencang lho di dekat telinga Milia.
“Mill ….” Bisa budek lama-lama kalau telinga Milia normal. Sepertinya tatapan Deon membawa efek samping cukup buruk, membuat anak orang bengong kelamaan.
“Itu lo diabsen, Mil!” Yayuk tepuk pundak Milia lagi sampai gadis itu sadar.
“Eh iya. Saya, hadir!” Milia angkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
Milia tarik lagi lengannya saat Deon memanggil nama mahasiswa lain.
“Lo masih waras, kan, Mil?” tanya Yayuk sambil berbisik di dekat telinga Milia, dia perhatikan pipi Milia ini merah seperti tomat yang sudah matang. Sayang pertanyaan Yayuk sama sekali tidak dijawab.
“Kenapa bengongnya lama banget sampe diabsen aja gak nyaut?” tanya Yayuk. Kalau ini sepertinya bakal dapet respon dari Milia.
“Ng- nggak kenapa-napa.” Milia buru-buru menggelengkan kepalanya sambil memegang pipinya yang terasa panas.
“Alah lu paling jadi nervous kan gara-gara si dosen ganteng itu?” tanya Yayuk sambil menunjuk Deon. Pria itu tengah melonggarkan dasinya.
“Kok bisa jatoh sih?” Yayuk lupa keadaan Milia saat berlari tadi. Dia sempat suudzon, memikirkan Milia curi-curi kesempatan.
“Lo lupa tali sepatu gue ini belum diiket?” Milia buru-buru membela diri, jika disuruh memilih, mana mau dia jatuh terus diselamatkan Deon.
“Eh iya ya.” Barulah Yayuk sadar. Dia beristighfar dalam hati sudah berburuk sangka pada sahabatnya sendiri.
Deon melirik mahasiswanya banyak sekali yang tengah mengobrol, padahal di kelasnya tidak boleh mengobrol saat dia mengajar. Bagaimana tidak banyak yang berghibah, orang Milia dan Deon sudah menggemparkan jagad raya. Banyak yang cemburu Milia diselamatkan Deon, banyak juga yang membicarakan Milia yang tidak-tidak.
“Ehmm …. Dikelas saya dilarang membuat acara dalam acara, ya!” Kalau Deon tidak menyindir seperti ini mungkin ghibahannya akan berlangsung lama.
“Tuh Yuk, gak boleh ajak ngobrol.” Milia kira sindiran ini untuknya dan Yayuk, padahal untuk gadis-gadis lain.
“Tugas yang saya suruh kerjakan kemarin lusa mohon dikumpulkan.” Deon akan beraksi menunjukan keahliannya dalam ketelitian.
“Silahkan tumpuk di atas meja saya.” Dia menunjuk mejanya yang tidak terlalu penuh dengan barang, hanya ada pulpen, spidol, laptop dan buku saja.
“Saya akan bahas satu persatu sekarang.” Dia meraih buku paling atas.
“Waw ….. Boleh saya bertanya, Pak?” Satu orang mahasiswa mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
“Silahkan.” Deon suka jika ada murid yang aktif bertanya.
“Satu tugas mahasiswa itu saya kira lebih dari dua puluh lembar, akankah bisa selesai kita bahas dalam dua jam mata kuliah ini dan sekali pertemuan? Mahasiswa di sini kan kurang lebih ada dua puluh lima orang.”
“Bisa. Saya bisa memeriksa ini semua dengan teliti dan cepat.” Ini sih mudah bagi Deon yang di New York bisa mengerjakan banyak tugas kuliah sekaligus jadi joki tugas mahasiswa lain.
“Waw.” Mahasiswa yang tadi bertanya itu mengacungkan jempolnya.
“Saya mulai dengan yang pertama milik ….” Deon buka setiap lembarnya. Ada kurang lebih lima menit dia mengamati.
“Masih banyak typo atau salah ketik. Lalu rangkuman yang anda buat ini ada yang copas, tidak dengan bahasa anda sendiri. Saya bisa tahu mana bahasa buku dan mana bahasa yang anda buat sendiri.”
“Daebakkk …..” Mahasiswa yang disebut namanya sedikit malu sedangkan mahasiswa lain malah mengacungkan jempol.
“Nilai anda C untuk tugas harian ini.” Deon langsung memberikan nilai.
Deon memeriksa dan membahas serta memberikan nilai lagi ke beberapa mahasiswa. “Kebanyakan mahasiswa melakukan copy paste makanya rangkuman bisa setebal-tebal ini.” Deon acungkan tugas entah milik siapa.
“Padahal jika dibuat lebih rinci itu bisa sepuluh lembar saja.” Jelas dia sih sudah S2 pasti jago soal beginian, sekelas kampus di new york pasti lulusannya bukan ecek-ecek.
“Saya periksa yang terakhir milik dua orang yang telat, ya!” Kini yang terakhir dia mau periksa milik Zayn dan Milia.
Ada sepuluh menit Deon membaca milik Zayn karena lumayan tebal. Pria ini pun berkomentar. “Milik Zayn ini juga ada typo. Rangkumannya cukup lengkap dan singkat. Saya rasa ini bisa diberi nilai B.” Dari sekian banyak mahasiswa tidak ada yang dapat nilai A, nilai B juga hanya beberapa orang saja termasuk Zayn.
“Yang terakhir milik Milia.” Milia yang mendengarnya pun deg-degan. Zayn kan dapat B, dia nyontek ke Zayn berarti kurang lebih dapat B juga dong, kan satu server.
Deon mengerutkan keningnya. Dia tidak perlu waktu lama membaca milik Milia, padahal paling tebal.
“Apa-apaan ini? Typo bertebaran. Banyak yang cuma kopas. Tulisannya juga tidak rapi.” Tidak rapi pakai banget, padahal Milia sudah mengedit sampai rapi banget lengkap dengan layout agar terlihat manis.
“Oh my God. Ini hasil copas semua dan belum sama sekali di rapikan.” Deon banting tugas milik Milia yang semula di tangannya ke atas meja.
“Kamu dapat nilai D.” Nilai Milia yang paling buruk, yang lain dapat C lho.
“Hah …..” Seumur-umur Milia tidak pernah dapat nilai sejelek ini, biasanya juga B, seringnya dapat nilai A, iyalah orang dia pinter. Nyesek banget rasanya Bund. Milia malu semalu-malunya cuma sendirian dapet nilai D, mana ini nilai pemberian calon imamnya pula, sungguh memalukan.
“Silahkan kalian ambil kembali.” Deon moodnya ancur banget setelah melihat tugas Milia, secara tidak langsung berasa dilecehkan karena tugasnya ini dianggap hanya main-main saja.
Buset abang Deon ini dingin sekali sikapnya, kapan jadi bersahaja? Kapan-kapan dan yang pasti pada cewek yang beruntung aja.
Milia berjalan dengan perasaan kecewa, dia pun mengambil tugasnya sambil bertanya, “Pak serius nilai saya D?” Berharap bisa diberikan kelonggaran, perasaan udah kerjain rapi, tapi kok D? Omaygat, kalau ada perbaikan pengen langsung dia lakukan.
“Serius. Kamu meragukan penilaian saya?” tanya Deon ketus disertai tatapan yang tajam dan meremehkan Milia, dia kira calon istrinya ini pintar, ternyata oh ternyata sungguh membanggokan.
“Ti- ti tidak, Pak.”