Deon hari ini tidak ada jadwal mengajar, dikhususkan untuk mengurus perusahaannya. Pria tampan ini adalah direktur dari sebuah perusahaan yang sudah mulai besar dan punya nama. Awal mulanya ini adalah perusahaan milik ayah Deon setelah meninggal diurus oleh paman dan bibinya. Barulah setelah kembali dari new york, dia merebutnya kembali.
Deon kecil dulu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya taunya sekolah dan bermain. sehari-harinya bolak balik ke rumah paman dan ke rumah Endang. Malangnya dia mendapatkan trauma akibat kehilangan keluarga intinya. Atas kejadian itu dia sering menyendiri dan tidak percaya pada orang lain.
Begitu pedihnya Deon saat mendengar obrolan orang dewasa yang membicarakannya. Walaupun masih kecil, dia juga punya perasaan yang harus dijaga.
[“Hei itu anak kecil yatim piatu yang keluarganya masuk berita karena kerampokan dan hampir semuanya meninggal, ya. Dia beruntung masih hidup.”]
[“Enak ya dia mewarisi semua harta ayahnya dong.”]
[“Kasihan ih anak sekecil itu yatim piatu.”]
Perkataan-perkataan orang dewasa mengenai Deon berhasil membuat hati anak itu terluka. Dia bukan anak yang ingin dikasihani, hanya ingin cinta dan kasih sayang yang tulus.
Deon si yatim piatu dirampok secara tidak langsung oleh paman dan bibinya. Berkedok mengurus Deon dari SD hingga SMP demi mendapatkan uang asuransi kematian dan uang bulanan dari perusahaan. Hanya satu asuransi yang sulit didapatkan yakni asuransi milik Deon yang akan cair pada saat anak itu akan masuk kuliah.
Tak ada yang tulus menjadi wali Deon, semuanya mendekat karena silau dengan harta orang tua Deon. Sampai satu per satu aset orang tua Deon habis dijual karena pamannya itu banyak hutang dan hidupnya bergaya hedon.
Mereka pun meninggalkan Deon yang baru duduk di bangku SMA karena ketahuan oleh Deon menghabiskan banyak uang milik ayahnya. Pamannya tega menyelundupkan uang untuk pendidikan dan masa depan Deon. Deon juga saat itu sudah mulai dewasa dan mempelajari tentang aset dan bagaimana mengurus keuangan. Karena belum punya bekal apapun, terpaksa Deon memendam rasa benci pada paman dan bibinya, pergi untuk berjuang sendiri.
Hanya Endang satu-satunya orang yang setia memberi cinta sebesar cinta orang tuanya untuk Deon. Endang menampung Deon di rumahnya, merawat Deon seperti anak sendiri. Sampai akhirnya Deon lulus SMA dan mendapat beasiswa penuh di sebuah Universitas Negeri. Ia memutuskan untuk pindah, keluar dari rumah Endang.
Enam tahun berlalu dengan cepat, Deon sudah dewasa. Ia berhasil menuntut hak atas perusahaan keluarganya yang dulu direnggut paksa oleh paman dan bibinya.
*
Meski aku tinggal sendiri di dunia.
Meski semua orang hanya memanfaatkanku saja.
Semangatku tidak akan goyah.
Nyatanya dari sepuluh orang, ada satu orang yang tulus dan peduli padaku.
Nyatanya walau ku hidup yatim piatu, aku bisa berdiri dan berpijak hingga hari ini.
Tuhan memang telah menuliskan jalan hidup umatnya masing-masing.
Ada yang senang dulu dan kemudian mengalami masa susah.
Ada juga yang sepertiku, senang dulu, diberikan cobaan agar mengalami kesusahan lalu merasa senang kembali.
Saat kudapatkan kebahagiaan, rasanya tidak lengkap jika aku belum membahagiakan orang yang paling berjasa di hidupku.
Karena itu aku mencari kembali orang yang paling berjasa atas hidupku.
Saat kutemui dia, dia tidak meminta apa-apa, dia hanya menitipkan putrinya saja.
*Deon Delano*
*
Seorang pria bertubuh tinggi besar dan perutnya buncit tengah duduk di bangku ruangannya. Jika bukan belas kasihan dari keponakan yang sudah ia tipu, dia mungkin saat ini tidak punya pekerjaan. Mantan narapidana sepertinya tidak akan mudah dapat pekerjaan. Bermodalkan kata-kata manis, dia berhasil membujuk keponakannya.
“Deon …. Tolong om. Om sulit dapat pekerjaan.” Perkataan ini dibarengi ekspresi yang menyedihkan. Jurus ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan hati Deon. Dia sengaja merendah untuk meroket lagi.
“Maaf, Om. Om pernah menghianati aku, jadi aku tidak percaya lagi ke Om.” Deon sulit mempercayai orang jika sudah pernah dibuat sakit hati.
Mendengar keponakannya yang sudah tidak percaya padanya lagi Arman pun jadi panik, keringat bercucuran dari kepalanya dan debaran jantungnya pun bertambah cepat. Usaha Arman kali ini tidak boleh gagal. “Nanti Nadia dan tante Nina makan apa dong. Sudah lama mereka om tinggalkan. Om tidak punya penghasilan, Deon.” Dia baru saja bebas dari penjara beberapa hari yang lalu. Deon tidak tega memenjarakannya lama-lama, omnya ini hanya mendekam satu tahun di dalam jeruji besi, hanya untuk memberikannya pelajaran saja agar tidak berperilaku buruk lagi.
“Sulit untuk om cari pekerjaan karena status om adalah napi.” Arman bahkan berakting mengeluarkan air mata buaya.
“Hmmm ….” Mana tega Deon kalau mengatasnamakan anak dan istri lalu keluhan Arman yang sulit dapat pekerjaan. Biarpun sangat kecewa, Deon masih punya hati.
“Jadi OB atau apapun om mau asal bisa nafkahi anak dan istri.” Arman kembali memohon sampai-sampai dia bersujud di kaki Deon. Pria ini bergumam dalam hati, ‘Mungkin sekarang aku tengah berada di bawahmu anak kecil. Nanti akan tiba saatnya aku akan mengambil semuanya lagi.’
“Ya sudah. Jadi HRD saja di kantor Deon sesuai jurusan pendidikan om dulu.” Berkat Deon Arman kembali mendapatkan pekerjaan.
Pria ini tengah menunggu karyawan baru yang akan menandatangani kontrak kerja. Saat karyawan itu tiba, dia malah mengobrolkan tentang hal lain.
“Ah …. Kamu Tata mantan pacarnya Deon bukan?” tanya Arman pada seorang gadis yang berpenampilan sangat modis. Dia tahu hal ini karena saat keluar dari penjara, dia memeriksa sosial media milik Deon, Deon masih belum menghapus foto-foto bersama mantan pacarnya, itu saja yang mengunggah Tata bukan Deon sendiri, pria itu mana sempat main instagraman.
“Deon Delano?” tanya Tata sambil mengingat Deon mantan pacarnya. Dia heran kenapa HRD ini mengenal pria yang hanya satu bulan ia pacari itu. Tata tidak kuat dengan sikap dingin Deon, dia terus yang nyosor-nyosor.
“Iya.” Arman mengangguk-angguk yakin.
“Kok Bapak bisa tahu?” Tata pun sedikit mencurigainya. Mungkinkah HRD ini orang jahat yang sedang mengintai kehidupan pribadinya atau Deon.
“Saya Omnya.” Karena mengakui identitasnya siapa, Tata pun sedikit lega.
“Oh Omnya.” Tapi dia heran kenapa Omnya Deon bekerja sebagai bawahan, bukannya jadi CEO atau staf lain yang pangkatnya lebih tinggi.
‘Kok bukan jadi manager, sekretaris, staff keuangan, ini malah jadi HRDnya sih, heran.’ Tata freelance model ini baru keluar kuliah dan cari pekerjaan, kebetulan dia langsung diterima di perusahaan milik mantan pacarnya ini.
“Saya kira keponakan saya itu gay. Ternyata dia menyukai lawan jenis juga.” Dia tahu Deon sama sekali tidak tertarik pada perempuan.
“Emmh …. Kami pacaran hanya sebulan Pak.” Tata tak ingin mengingat luka lama, tapi terpaksa Arman menyeretnya lagi mengingat ia punya pacar yang begitu cuek seperti Deon. Tata sedikit hati karena Deon sama sekali tidak memberikan dia perhatian, sibuk dengan dunianya sendiri. Ya meski Tata dapat uang jajan dari Deon, tapi dia juga ingin merasakan malam minggu jalan-jalan, diapelin dan diajak makan duluan.
“Kenapa putus, padahal kamu cantik, lho.” Arman melihat wajah Tata begitu intens.
“Tidak cocok, Pak.” Alasan Tata ini saja, tak mau bahas karena bersifat privasi.
“Hmmm masa cantik begini tidak cocok. Apa mungkin keponakan saya ini memang sukanya laki-laki. Saya dengar kabar Andreas dan Riko sering menginap. Jangan-jangan mereka-” Arman malah menggiring ke opini jelek.
“Hmm …. Kita malah membicarakan bos kita di perusahaan ini, Pak. Saya tidak enak karena baru hari ini masuk.” Tata datang ke sini kan untuk tanda tangan kontrak kerja lalu segera bertugas jadi petugas di divisi marketing online.
“Bisa minta tolong jelaskan tugas, tempat kerja dan tim saya?” Daripada berghibah dia fokus pada tujuannya saja.
“Ah baiklah.”
Om Arman Delano tadinya jurusan business administration jadi dia ditempatkan sebagai HRD saja. Hari ini kebetulan sekali dia bertemu dengan mantan kekasih Deon, mungkin saja suatu saat dia akan memanfaatkannya.
“Deon …. Deon. Apa ya kelemahan kamu, coba nanti Om tes.” seringai iblis pun terukir dari wajah pria berkepala lima ini.
Pria paruh baya ini pun mengangkat telepon yang masuk pada ponselnya. “Halo, Pak.” Suara seorang pria terdengar menyapanya.
“Kamu akhirnya telepon juga.” Arman senang mendengar suaranya.
“Segera lakukan tugasmu, ya.” Tampaknya dia punya rencana jahat untuk Deon.
Di ruangannya Deon tengah memeriksa berkas yang sudah menumpuk. Pria ini kedatangan asisten pribadinya.
“Pak Deon, sekarang kita ada meeting di luar.” Jadwal Deon hari ini cukup padat.
“Ayo!”
Pria dua puluh delapan tahun ini tengah melakukan meeting di salah satu restoran private yang ada di sebuah hotel.
“Terima kasih sudah bekerja sama dengan perusahaan kami, Pak.” Deon dan kliennya saling berjabatan tangan.
“Sama-sama. Kami juga sangat berterima kasih.” Di ruangan yang cukup luas itu mereka makan menu masakan jepang bersama.
“Saya ingin memberikan tanda terima kasih untuk bapak.” Tampaknya klien ini ingin memberikan hadiah. Biasanya orang-orang bisnis terdekat Deon memberikan minuman anggur yang mahal, hadiah barang mewah atau bisa saja perempuan, tapi sering Deon tolak jika mereka menghadiahkan wanita penghibur.
“Tidak usah repot-repot.” Dia sendiri juga tidak tertarik memberikan hadiah balik.
“Anggap saja untuk hiburan.” Pria ini tetap kekeh.
“Silahkan masuk.” Dia menepukkan kedua telapak tangannya.
Beberapa pria tampan dan wanita cantik pun masuk, yang pria memakai pakaian dengan d**a terbuka, yang wanita mengenakan pakaian yang sangat sexy.
“Kami akan memberikan hiburan untuk Tuan-tuan.”
“Mari nikmatilah.” Partner bisnis Deon ini tampaknya ingin bersenang-senang juga.
Dua orang pria mendekati Deon dan dua orang wanita mendekati klien Deon dan asistennya. “Maaf saya bukan orang seperti itu.” Deon boro-boro tertarik, dia mengajak asistennya untuk pergi.
“Saya permisi.”
Pria berkemeja hitam pun menahan Deon. “Lho pak Dion, katanya anda suka hiburan yang seperti ini.”
“Kata siapa?” Dia jijik didekati pria penghibur yang menyukai sesama jenis.
“Lain kali cari tahu dulu kebenarannya.” Deon pun bersikap dingin.
“Ah maafkan kami.” Pria ini jadi merasa bersalah dan takut proyek mereka jadi gagal,
“Saya maafkan, lain kali jangan diulangi lagi.” Deon pun pergi meninggalkan atmosfer yang berubah jadi dingin.
“Cari tahu siapa yang menyebarkan isu negatif tentangku,” ujar Deon pada asistennya bernama Rizal.
Hari ini Milia dalam mode kepo tingkat dewa, alih-alih pergi ke perpustakaan atau membuka laptopnya untuk mencari bahan tugas, dia malah mondar mandir ke dekat ruangan dosen. Milia sama sekali tidak melihat keberadaan dosen killer Deon Delano.
Gadis ini penasaran apakah Deon sedang mengajar atau tidak, nyatanya berkeliling kampus yang begitu besar, dia sama sekali tidak melihat keberadaan cowok yang satu itu. Milia malah menemukan ruangan yang menarik perhatiannya.
Para gadis sedang berkumpul dalam satu ruangan yang tidak terlalu luas, Milia kira itu ruangan seni atau ruangan chiliders ternyata temboknya bertuliskan ruangan CiDoDe Club. Milia pun tertarik untuk masuk.
“Kakak-kakak ini ruangan ekstrakurikuler?” tanya Milia sambil melihat pakaian kaus yang mereka kenakan sama. Mereka tampaknya sudah punya kaus baru tanda kekompakan.
“Bukan.” Salah satu orang menjawab pertanyaan Milia.
“Lalu?” tanya Milia kepo, saat ospek dia tidak diperkenalkan ruangan ini.
“Komunitas pecinta dosen ganteng kita.” Milia jadi berpikir siapakah dosen yang memikat hati para gadis.
“Hahh …. Siapa dosen itu?” Dia juga mungkin nanti akan ikut-ikutan menyukainya.
“Tuh liat fotonya.” Mereka menunjuk ke arah dinding sebelah Milia berdiri.
Gadis itu pun menoleh karena ingin melihat fotonya. “Deon …. Hahh …. Deon sampai punya fansclub.”
‘Mati gak gue nih kalo mereka pada tau gue calon tunangannya. Bisa dijambak banyak cewek dong.’